by Claudio Agostoni 02 May, 2016
Operasi Rumah Hantu di Italia
Teks oleh Claudio Agostoni
Foto oleh Bruno Zanzottera
The wind blows round” adalah pepatah bangsa Occitan yang bermakna, “semua yang telah pergi pasti kembali.” Pepatah itu pula yang dipilih oleh sutradara Italia Giorgio Diritti sebagai judul filmnya yang mengisahkan perjuangan segelintir kaum lansia di sebuah desa pegunungan yang terus kehilangan warganya.
Fenomena pahit dalam film itu sebenarnya berlangsung di banyak tempat di Italia. Di banyak desa yang bertengger di lereng curam dan kota kecil yang bersarang di bukit terpencil, populasi manusia terus menyusut hingga akhirnya ludes. Realitas serupa melanda sentra-sentra peternakan di sepanjang Lembah Po dan pulau-pulau di Gugusan Venesia.
Pergerakan manusia telah menciptakan tanah-tanah yang telantar. Sebuah “abandonation.” Menggunakan Google Earth, sekitar 1.500 desa telantar berhasil dipetakan. Desa-desa ini tadinya sukar dilacak bahkan memakai sistem navigasi satelit tercanggih sekalipun. Proyek pemetaan mereka—disebut “Operasi Rumah Hantu”—bergulir selama tujuh tahun. Hasilnya adalah sebuah gambaran dampak dramatis urbanisasi dan migrasi di Italia.
Operasi Rumah Hantu juga menginventarisasi 1,26 juta rumah. Mayoritas berbentuk rumah petani atau pondokan yang berkerumun di kota-kota historis yang kini tak lagi bertuan. Data itu memperlihatkan betapa banyak desa telah raib, bersalin rupa menjadi hutan, tanpa menyisakan pelang, gapura, atau markah apa pun di atas peta. Mereka seakan musnah ditelan zaman. Desa-desa tersebut mungkin pernah diguncang gempa atau diterjang banjir, barangkali tenggelam akibat pembangunan waduk atau bendungan, atau murni terbengkalai akibat dilupakan warganya. Pastinya, bendera Italia tak lagi berkibar di sana.
Umat manusia menginvasi dan menduduki alam, kemudian menulis risalah dan merangkai peradaban di atas tanah tersebut. Sekarang, kita melihat banyak kasus di mana ikatan batin dan fisik antara penduduk dan tanah dudukannya telah terputus. Dalam abandonation, alam seolah membalas dendam: mengambil alih bumi. Kolonisasi berubah menjadi naturalisasi.
Karena tak lagi ditebangi, pohon-pohon tumbuh subur hingga melahirkan belantara yang lebat dan pekat. Proses itu berpengaruh pada perilaku satwa. Babi hutan misalnya, kian menjadi wabah. Sementara mamalia berkuku (ungulate) semacam rusa terus beranak-pinak.
Sejumlah penelitian ornitologi juga mencatat terjadinya tren peningkatan jenis burung hutan. Setelah manusia berhenti mengolah lahan pertanian dan peternakan, semua burung yang lazim berkembang biak dalam iklim agrikultur, misalnya burung murai dan kutilang, perlahan lenyap.
Sejatinya tak ada yang mubazir dari proses migrasi manusia. Ruang-ruang yang mereka tinggalkan diambil alih satwa. Menara lonceng menjadi ruang bersarang bagi burung-burung hutan. Jalan-jalan kota yang terkubur rumput tebal menjadi restoran prasmanan bagi satwa herbivora. Sementara pondok-pondok ringsek menjadi rumah masa depan bagi gerombolan anjing liar atau kawanan kelelawar.
Hasilnya adalah sebuah koeksistensi yang romantis antara dua dunia: struktur dan natur. Ada beragam alasan mengapa desa atau kota hantu bermunculan. Tapi jika kita usut akar masalahnya, pangkal penyebabnya tetaplah sama: manusia.
Bahkan ketika sebuah permukiman hancur oleh bencana alam, kita masih bisa melemparkan tanggung jawab pada kealpaan manusia dalam mengelola alam. Kasus ini bertaburan di Italia. Antropolog Vito Teti pernah menelurkan istilah “dual villages,” yakni permukiman yang didirikan di pesisir dengan menyadur konsep yang diterapkan selama berabad-abad di pegunungan. Tapi mayoritas permukiman baru semacam itu pun ditinggalkan karena memang tak lagi dibutuhkan.
Desa-desa tambang di timur laut Italia adalah contohnya, misalnya San Martino di South Tyrol. Bertengger di ketinggian 2.355 meter, San Martino selama hampir delapan abad berstatus desa tertinggi di Eropa. Usai ditelantarkan penghuninya pada Juni 1967, desa ini disulap menjadi museum terbuka yang menuturkan tradisi pertambangan lokal. Sebuah tempat yang menarik dikunjungi.
Contoh lainnya mungkin tak terlalu menarik: Vallucciole, museum bagi sejarah kebejatan manusia. Desa ini dihancurkan dan dibakar oleh serdadu Jerman pada April 1944. Para agresor membunuh 108 wanita, anak-anak, juga manula. Vallucciole adalah kasus sempurna di mana “kota hantu” berubah menjadi “kota mati.” Sekitar 70 tahun usai tragedi nahas itu, Vallucciole kembali bernyawa. Rumah-rumah petani mulai bermunculan.
San Martino, Vallucciole, dan banyak permukiman lainnya adalah segelintir contoh betapa desa dan kota hantu adalah aset masa silam yang bernilai. Merestorasi seluruh artefak itu jelas penting, dan biayanya pun tidak terlalu mahal. Sekadar contoh, seantero Valle Piola, desa yang terbengkalai sejak 1977, kini dijual dengan harga sekitar Rp8,5 miliar. Lalu, kenapa proyek restorasinya mandek?
Biaya rupanya bukan isu utama. Problem paling pelik justru terletak pada rumitnya proses restorasi dan birokrasi. Itulah sebabnya warga Italia tak tertarik membeli desa atau kota hantu. Mereka paham betul sulitnya mendapatkan izin restorasi dan memenuhi semua klausul regulasi. Proyek restorasi aset masa silam justru lebih memikat jutawan asal Prancis, Amerika, atau Norwegia—sebuah kenyataan yang mungkin berujung pada kesimpulan getir: penggalan-penggalan sejarah Italia akan berada di tangan orang asing.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2016 (“Hantu Masa Silam”)