by Cristian Rahadiansyah 28 April, 2016
Mengarungi Maladewa dengan Kapal Pesiar
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Jerry Aurum
Di sana!” teriak segani. “Lompat sekarang. Sekarang!” Mengenakan sepatu katak dan masker, semua orang menceburkan diri. Selang beberapa detik, sesosok bayangan hitam menyeruak dari air keruh. Orang-orang berenang melawan gelombang untuk menghampirinya. Tapi tak lama, sebab sosok hitam itu lekas raib ke laut dalam.
Kembali ke speedboat, segani melayangkan pandangan ke lautan, berupaya melacak jejak di balik ombak. “Di sana!” lagi-lagi dia berteriak dan suasana pun buncah. Semua orang bergegas terjun ke air layaknya Pasukan Katak yang hendak menyergap penyusup. Sosok hitam itu kini lebih jelas terlihat. Panjangnya sekitar lima meter. Tubuhnya kelabu dengan motif polkadot. Perkasa, walau parasnya dungu: bibirnya tebal, kepalanya gepeng. Whale shark, ikan terbesar sejagat, bagaikan produk cinta segitiga antara paus, hiu, dan dalmatian. Sudah lama saya ingin melihatnya. Satwa yang lazim disebut “hiu tutul” ini bak sebuah anomali. Kendati satu rumpun dengan hiu, ia bukan penggemar daging, melainkan plankton. Entah kenapa badannya bisa mekar begitu besar.
Hari kian terik. Semua orang kembali ke speedboat, lalu meluncur ke sebuah yacht. Tiba di buritan, kelasi membagikan handuk dan minuman dingin, sementara saya beranjak ke restoran untuk menambal lapar. Ini hari yang menguras napas sekaligus mendebarkan. Hari yang tidak saya sangka bisa saya alami di Maladewa. Tapi ini sesungguhnya hari yang normal di atas Four Seasons Explorer.
Pulau berserakan seperti teratai di kolam tenang. Di tepinya, laut bergradasi pirus-biru, bagaikan giok yang luntur ke samudra. Sebagian pulau ditumbuhi pepohonan. Sebagian hanya berbentuk cincin karang tanpa sebidang tanah pun untuk dipijak. “Salah satu keajaiban dunia,” begitu Ibnu Battuta melukiskan tempat ini enam abad silam.
Ini kali pertama saya mengunjungi Maladewa, sebuah negeri yang bersinonim dengan “liburan romantis.” Mendengar namanya, benak kita pasti dipenuhi foto pulau yang dibingkai pasir putih dan barisan vila di laut dangkal. Maladewa bagaikan sebuah kata yang terjelaskan dengan sendirinya.
Tapi saya tidak datang untuk merayakan romantisme. Dalam ekspedisi berdurasi lima hari, saya akan mengarungi perairan di jantung Maladewa, bersauh di halaman pulau-pulau kecil, serta memanjakan diri dengan kemewahan sebuah hotel terapung. Tapi bukan cuma itu. Saya sebenarnya juga berniat mencari tahu: adakah tawaran lain Maladewa di luar resor-resor mewah? Mungkinkah negeri elok ini ditafsirkan berbeda?
Tubuhnya putih, menantang birunya laut. Fasadnya lancip, mengilat, seperti Lamborghini di atas air. Four Seasons Explorer, yacht yang melayani tur liveaboard, bagaikan sebuah antitesis. Ketika banyak orang menerjemahkan Maladewa sebagai surga relaksasi, Explorer justru mengajak kita mengetes hasrat petualangan. Berolahraga mengejar whale shark hanyalah salah satu atraksi utamanya.
Pesiar saya dimulai dari pelataran Pulau Landaa Giraavaru. Areef, Cruise Director, pria lokal yang jenaka, membuka tur dengan membeberkan aturan dasar di atas kapal. Aturan pertama sederhana: melepas alas kaki. Aturan kedua mudah dipahami: jangan melompat saat kapal sedang bergerak. Aturan ketiga cukup menghibur: waktu dimajukan sejam. “Supaya pagi dimulai lebih dini dan kita punya banyak waktu untuk beraktivitas,” ujarnya.
Pertama-tama, Explorer merayap ke selatan, menerjang ombak yang membuatnya limbung seperti orang mabuk. Dalam perjalanannya, yacht rancak ini senantiasa dibuntuti sebuah dhoni, bahtera tradisional Maladewa yang sudah dialihfungsikan menjadi dive boat. Haluannya dihiasi pemecah ombak yang melengkung seperti busur. Sekilas mirip perahu sandek khas Suku Mandar.
Eksterior Explorer tampak dingin dan berjarak, tapi interiornya bersahabat. Seluruh 25 krunya tangkas mempraktikkan prinsip servis Four Seasons yang sepertinya terilhami sabda Yesus: “Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.” Kru favorit saya tentu saja Vikrant, kelasi yang lihai menebak kapan saya membutuhkan kopi panas sebelum saya merasa membutuhkannya.
Lazimnya pesiar, semua penumpang akrab dan ramah: saling menyapa, bertukar nama, berbagi cerita. Hari ini, selain rombongan saya, Explorer mengangkut satu keluarga asal Amerika, pasangan asal Australia, serta Will, seorang kakek asal Rhode Island. Dari seluruh penumpang, turis Indonesia paling luwes beradaptasi. Ada banyak nama dan wajah yang familiar di kapal ini. Ruang kemudi di pimpin oleh Kapten Bambang, penyuluhan keselamatan diperagakan oleh Pak Indra, mesin dikontrol oleh Pak Imam. Maladewa rasa Nusantara.
Menjelang senja, usai lima jam dikocok ombak, Explorer tiba di pemberhentian pertamanya: Atol Rasdhoo. Penumpang berkumpul di buritan, lalu berpindah ke dhoni untuk kemudian menyelam. Penyelaman pertama cukup menguji stamina.
Awalnya kami disambut oleh beberapa ekor belut moray dan ratusan ikan. Beberapa menit kemudian, arus berembus deras dari dasar laut, memaksa kami berpegangan pada karang dengan posisi kepala di bawah dan kedua kaki melayang-layang seperti benang tertiup angin. Melelahkan, tapi inilah momen terbaik untuk melihat predator laut. Sekitar lima ekor hiu berpatroli di sekitar kami. Dua di antaranya lebih panjang dari tubuh saya.
“Maladewa nyaman untuk menyelam. Lautnya terawat,” jelas Will, saat saya melepas lelah dengan menyeruput segelas Saint-Thibeaud di dek. Meski sudah sepuh, Will hobi melaut dan memancing. Dia bahkan pernah mengikuti ekspedisi National Geographic dari Seychelles ke Sri Lanka. “Penyelam di sini juga tidak terlalu banyak, jadi bisa leluasa menikmati pemandangan.”
Dari Atol Rasdhoo, Explorer melompat dari satu pulau ke pulau lain. Acap kali kapal menikung tajam guna menghindari pulau-pulau pasir. Maladewa disusun oleh 1.200 pulau dengan hanya 200 di antaranya yang berpenghuni. Pulau-pulau inilah yang berkelompok dalam formasi yang disebut atol—satuan geografis yang kira-kira setara dengan provinsi di Indonesia. Uniknya, pulau-pulau di satu atol kadang tidak sepenuhnya terpisah. Suatu kali saya melihat empat pulau yang saling terkoneksi oleh lidah pasir sepanjang ratusan meter. “Para bujang kadang melintasi ‘jembatan pasir’ itu untuk menjangkau pulau lain dan mencari pacar,” jelas Areef, pria kelahiran Atol Ari.
Berhari-hari di lautan, saya kian menyadari Maladewa sesungguhnya konsep negara yang sulit dipahami. Di sini tidak ada sungai, tidak ada sawah, tidak ada gunung. Puncak tertingginya hanya menjulang 2,4 meter. Kecuali pasukan pengaman presiden, semua serdadunya berstatus angkatan laut.
Saya seperti membayangkan Kepulauan Seribu sebagai negara yang berdaulat. Tapi ini “Kepulauan Seribu” yang terpelihara. Mayoritas pulaunya steril dari sampah. Lautnya sehat. Salah satu atolnya sudah dinobatkan sebagai UNESCO Biosphere Reserve. Berlibur di negeri ini, turis juga diwajibkan membayar pajak konservasi bernama “green tax” sebesar $6 per hari.
Dibandingkan Raja Ampat dan Wakatobi, karang di sini kalah megah, tapi populasi satwa lautnya cukup mencengangkan. Dari tujuh kali menyelam, pada enam di antaranya saya berjumpa kawanan hiu—pemangsa yang menjadi salah satu tolok ukur kualitas ekosistem laut. “Negeri ini diuntungkan oleh posisi geografisnya,” jelas Ben, marine biologist yang dibawa Explorer sebagai sumber informasi ilmiah bagi penumpang. “Maladewa berjarak jauh dari banyak negara lain. Terlalu mahal untuk dihampiri pemburu hiu.”
Berkat alam yang lestari itulah roda pariwisata berputar. Lebih dari separuh devisa negeri ini mengalir dari kocek turis. Siapa sangka, Maladewa, kepulauan penghasil kelapa dan ikan, merupakan negara makmur dengan pendapatan per kapita $13.300, melampaui Indonesia dan Filipina.
Di atas Explorer, menyelam adalah aktivitas utama. Sepertinya tiada hari tanpa memanggul tangki, mengisap selang, menyelinap di antara ikan dan karang. Tapi kapal ini tidak didesain bagi penyelam ambisius yang mengejar target dive log. Explorer juga mengajak penumpangnya memancing, mendayung kayak, serta piknik di pulau kosong di mana kami dijamu begitu banyak makanan hingga sulit berjalan.
Satu kegiatan yang juga menarik adalah kunjungan ke desa—trip yang sulit dilakoni jika kita hanya menginap di resor. Sabtu sore, kapal melego jangkar di pelataran Pulau Dhigurah, kemudian penumpang diundang bertamu ke desa setempat.
Dari dermaga, saya merandai jalan pasir yang dipayungi nyiur, kemudian memasuki permukiman yang bersih dan teduh. Bau got tidak terendus, sebab semua saluran pembuangan melintang di bawah tanah. Barangkali pemandangan asri seperti ini pula yang dulu disaksikan oleh Ibnu Battuta.
“Jalan-jalan mereka, yang senantiasa resik karena rutin disapu, dipayungi pepohonan agar pejalan kaki merasa sedang berada di sebuah kebun,” tulis musafir asal Maroko itu dalam Rihla, jurnal yang memperkenalkan Maladewa kepada dunia.
Namun Dhigurah bukanlah petilasan yang membeku dalam catatan tua. Ia juga bukan desa penghasil santan yang dikisahkan Battuta. Alih-alih, Dhigurah adalah buah yang merekah dari pohon pariwisata. Perekonomiannya digerakkan oleh bisnis guesthouse, suvenir, juga restoran. Sebagian keluarga memiliki anak yang bekerja di resor, sementara kaum ibu menambal kas dengan menjual atap pelepah kelapa ke resor, sebab memang cuma resor yang masih setia memakainya. Di sekitar saya, semua rumah beratapkan seng dan disejukkan AC.
Godaan sektor pariwisata juga membuat profesi nelayan kehilangan peminat. Kaum pemuda malas menggasak ombak ketika uang mudah didapat dengan menyulap rumah menjadi penginapan. Dan dengan itu Maladewa pun berubah. Kehadiran guesthouse bertarif murah membuka pintu bagi masuknya turis ke kampung-kampung sekaligus menciptakan peluang bagi perjumpaan budaya beserta segala kejutannya.
“Jika ada iPhone baru seharga $1.000, orang di sini akan membelinya tanpa berpikir panjang,” ujar seorang pria yang saya temui di Bodu Huraa, pulau yang jauh lebih modern dari Dhigurah. “Lihat rumah itu,” katanya lagi sembari menunjuk sebuah rumah sederhana bercat jambon, “seluruh panel elektriknya memakai layar sentuh.”
Cahaya senja terakhir kian redup dari angkasa dan saya kembali ke Explorer untuk menikmati makan malam. Di geladak, meja-meja sudah ditata apik. Dengan iringan tembang-tembang padang pasir yang mendayu, pramusaji meletakkan mangkuk-mangkuk berisi asortimen menu Timur Tengah yang kaya bumbu. Galibnya menu yang kaya bumbu, rasanya lebih sedap dari tampilannya.
Explorer kini berlabuh di laut tenang. Mengisi menit-menit terakhir sebelum tidur, saya hinggap di kursi bar, sementara Vikrant, kelasi dengan kemampuan seorang peramal, berhasil menebak apa yang saya butuhkan saat ini: secangkir kopi panas.
Di kejauhan, pulau-pulau berbagi dingin. Bulan becermin pada riak lautan. Saya masih bisa menatap Dhigurah, membayangkan seperti apa kehidupan malam di sana. Saya kira inilah sumbangsih terbesar Explorer: membuka mata, memberi tafsir berbeda. Menaiki kapal ini, liburan di Maladewa tidak melulu berarti mengagumi lautan dengan punggung membelakangi daratan.
Pagi baru datang dan Explorer bergerak menuju pemberhentian terakhirnya. Tapi trip saya belum rampung. Saya ingin melihat wajah Maladewa tanpa segala keindahannya. Maladewa tanpa pariwisata.
Warga Maladewa peminum kopi atau teh?” tanya saya kepada Waseem, pria India yang sudah delapan tahun bekerja di negara ini. Bagi saya, preferensi minuman bisa menjelaskan watak suatu bangsa, menerangkan tabiatnya, termasuk sejarah garis perdagangannya. “Bukan keduanya,” jawab Waseem. “Mereka peminum Red Bull.” Negara macam apa yang hobi menenggak Red Bull? “Jika ingin melihat wajah asli Maladewa, pergilah ke Male,” saran Waseem, usai membaca wajah bingung saya.
Karena bandara berada di pulau yang terpisah dari ibu kota dan turis umumnya langsung digiring ke resor, Male pun menjadi kota yang sering diabaikan. Sejatinya, ia memang bukan kota wisata, terutama jika kita menerjemahkan wisata sebagai serangkaian objek yang harus dilahap sejak pagi hingga malam. Male cuma memiliki museum, masjid tua, dan taman kota. Di luar itu, tak banyak yang bisa dinikmati. Kecuali jika Anda sudi menggali lebih dalam.
Male adalah kota kaya warna yang selalu berada dalam tarik-menarik antara tertib dan kaos. Lazimnya ibu kota negara berkembang, Male merangkap sebagai pusat politik dan ekonomi. Dari sekitar 400.000 populasi Maladewa, lebih dari sepertiganya bermukim di sini. Beban yang berat tentunya bagi sebuah kota yang tuntas dikelilingi dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer. Kota ini cukup resik. Tidak ada aroma busuk. Sesuai standar Maladewa, semua got melintang di bawah tanah. Namun kota ini juga semrawut. Sepeda motor dan mobil berebut tempat di jalan cupet.
Secara umum, orang Maladewa senantiasa terlihat santai, tipikal warga kepulauan. Tapi, saat berada di kendaraan, mereka selalu terlihat tergesa-gesa. Itu sebabnya menyeberang jalan di sini menuntut sedikit rasa nekat. Male jugalah neon yang menggoda laron. Mereka yang ingin menapaki karier di profesi-profesi urban—bankir, arsitek, dosen—berkerumun di sini.
Mereka yang ingin memiliki gelar sarjana, menaiki taksi, menonton sepak bola, berkencan di bioskop, mencicipi piza atau hamburger, juga datang ke sini. “Itu sebabnya tanah kelewat mahal. Apartemen dua kamar tidur, tanpa mebel, bertarif $900 per bulan,” gerutu pemandu saya, Shaaman, pria asli Male.
Kota ini memiliki dua rumah sakit, satu universitas, tiga bioskop, 32 masjid, puluhan apartemen. Di Maladewa, kecuali masjid, semua itu hanya bisa ditemukan di Male. Pendidikan dan kesehatan gratis, tapi kebutuhan lainnya melambung. Sepeda motor bebek Honda dibanderol $3.500. Rokok $2,8 per bungkus. Makan di restoran kelas menengah menghabiskan $60, tanpa bir atau wine, karena alkohol diharamkan di seantero kota.
Belum lama, sejumlah media Barat menyoroti kebangkitan sayap konservatif di Maladewa, negara yang hanya mengakui Islam sebagai agama resmi. Tapi ajaran Islam sesungguhnya dipraktikkan cukup longgar di sini. Di Male, Jumat libur dan hari kerja dimulai di Ahad. Pasangan tanpa surat nikah dilarang bermalam di hotel. Mayoritas toko tutup pada waktu salat dan kehidupan malam tidak eksis sebab semua tempat wajib tutup pada pukul 22.
Kendati begitu, Facebook halal. Situs porno tidak diblokir. Cara remaja berpacaran, bisik pemandu saya, tidak berbeda dari kota-kota lain. Di Male juga ada lebih banyak wanita tanpa jilbab dibandingkan pulau-pulau lain. Dan jika Anda melihat banyak pria berjenggot lebat, itu tak selamanya merupakan simbol kesalehan. “Tidak ada hubungannya dengan sunah Rasul,” kata Shaaman yang juga berjenggot. “Saya hanya malas bercukur.”
“Jadi, Shaaman, kamu juga penggemar Red Bull?” tanya saya. Dia tertawa sinis, seperti merasa direndahkan, lalu menjawab: “Saya penikmat kopi. Kopi Italia.” Dan dia ngopi sembari mengudap kapur sirih.
PANDUAN
Rute
Ada banyak maskapai yang melayani rute ke Maladewa. Penerbangan dengan rute termudah dan tercepat dioperasikan oleh Singapore Airlines (singaporeair.com) dengan frekuensi dua kali per hari. Opsi lainnya adalah terbang dengan Singapore Airlines ke Singapura, kemudian melanjutkan perjalanan dengan SilkAir (silkair.com) yang juga memiliki dua penerbangan per hari ke Maladewa. Tiba di Male, Anda akan dibawa ke resor dengan menaiki speedboat atau pesawat amfibi. Penting diingat, pesawat amfibi hanya beroperasi pada siang hari.
Pesiar
Ekspedisi liveaboard bersama Four Seasons Explorer (fourseasons.com) ditawarkan dalam tiga opsi durasi: tiga malam (mulai dari $2.550), empat malam ($3.400), dan tujuh malam ($5.950). Yacht katamaran sepanjang 39 meter ini berkapasitas 22 penumpang, dengan fasilitas antara lain perpustakaan, dive center, restoran, area spa, serta bar. Selain menyelam, penumpang bisa snorkeling, kayaking, memancing, dan tur ke desa. Seluruh makanan, termasuk saat barbeku di pulau tak berpenghuni, sudah inklusif di dalam tarif. Four Seasons mengoleksi dua resor di Maladewa, dan Explorer memulai dan mengakhiri perjalanannya di salah satu resor tersebut. Four Seasons Kuda Huraa (North Male Atoll; mulai dari $900) memancarkan atmosfer yang akrab, sementara Four Seasons Landaa Giraavaru (Baa Atoll; mulai dari $1.100) mengombinasikan dengan apik desain urban dan sentuhan rustic. Di luar servisnya yang nyaris tanpa cela, kedua resor ini bersinar berkat komitmennya mendukung upaya konservasi melalui program transplantasi karang dan penelitian manta.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2016 (“Maladewa Tanpa Koma”)