by Cristian Rahadiansyah 21 October, 2015
Ambisi Baru Porto: Pusat Budaya di Barat Eropa
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Ulet Ifansasti
Untuk pertama kalinya, saya terkunci di luar pintu hotel. Saya mengetuk, melongok, lalu kembali mengetuk seperti anak yang dihukum akibat pulang larut, namun tetap tak ada jawaban. Hotel saya sebenarnya tergolong mewah, bahkan tergabung dalam asosiasi Small Luxury Hotels of the World. Bagaimana mungkin hotel semewah ini memberlakukan jam malam? Apalagi saya sedang berada di Porto, kota terbesar kedua di Portugal, salah satu kota paling modern di Eropa.
Di Porto, seperti yang saya temukan kemudian, kata “besar” dan “modern” agaknya punya definisi yang berbeda.
Saya mendarat pada musim dingin, tatkala ombak menggulung tinggi dan peselancar berdatangan. Bagi saya, Portugal adalah tanah yang asing, walau negeri ini sebenarnya memiliki tali riwayat yang panjang dengan Indonesia. Lima abad silam, Portugal menjadi imperium Eropa pertama yang membuka jalur perniagaan rempah dengan Nusantara. Jejaknya tak cuma berupa benteng-benteng tua, tapi merembes ke khazanah bahasa. Banyak term bahasa kita diserap dari bahasa Portugis. Tanjidor berasal dari kata tangedor, kereta dari carreta, Minggu dari Domingo. Portugal adalah tanah asing yang begitu dekat di lidah kita. Tapi, apa sebenarnya alasan turis datang ke Porto? Sebuah kota yang teronggok di perbatasan barat Eropa, sekitar 16 jam penerbangan dari Jakarta.
“Porto adalah kota terhebat,” kata Ricardo, pria flamboyan yang membantu saya menemukan tempat-tempat terbaik di kota ini.
“Lebih hebat dari Lisbon, Paris, atau London?” tanya saya penuh ragu.
“Mungkin lebih hebat dari seluruh kota di jagat raya,” jawabnya yakin.
Apa yang dirasakan Ricardo tengah menggejala. Kepada siapa pun saya bertanya, orang-orang menjawab optimistis tentang kembalinya kejayaan kota penghasil wine ini. Porto, kota industri di utara Portugal, sebenarnya sempat lesu setelah banyak pabriknya gulung tikar. Tapi kota ini punya mental yang tangguh. Berkali-kali jatuh, berkali-kali pula ia bangkit. Kali ini resepnya bernama pariwisata, sektor yang berkembang paling pesat dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya terpaku mengandalkan bisnis wine dan tekstil, Porto kini menatap ke luar, ke dunia. Turisme bagaikan pelumas bagi mesin ekonominya. Turisme membuka lapangan kerja terbanyak. Turisme adalah masa depan kota.
“Saat melakukan survei sekitar tiga tahun lalu, Porto tidak menawarkan banyak hal, tapi kota ini kemudian berubah,” tutur Marco Ferreira, pengusaha asal Póvoa de Varzim, yang baru saja membuka sebuah restoran seafood di Porto. “Awalnya turis datang hanya untuk tur wine. Tapi sekarang Porto menyuguhkan beragam hal baru. Peluang-peluang bisnis pun tercipta,” kata Marco lagi.
Porto yang tadinya ditinggalkan, Porto yang terancam menjadi kota pensiunan, kini menggeliat penuh gairah layaknya seorang remaja yang sedang puber. Kata-kata Ricardo kembali terngiang: Porto kota terhebat. Dia mungkin tidak berbicara tentang lanskap kota yang menawan, melainkan kegigihan warganya untuk kembali bangkit, lagi dan lagi.
Sabtu pagi, saya menyambangi kawasan Kota Tua, mencoba berkenalan dengan masa lalu sebuah negeri yang dulu mengutus kapal-kapalnya ke Nusantara. Kapal kayu yang kemudian melebur dengan kapal Bugis dan melahirkan spesies hibrida bernama pinisi.
Di Kota Tua, pagi dibuka dengan ibadah. Sé do Porto, katedral yang dibangun pada abad ke-12, sedang menggelar misa yang khidmat di sebuah aula yang megah. Altarnya dilapisi emas. Pilar-pilarnya jangkung seakan hendak menjangkau langit. Rumah ibadah di masa silam, baik gereja maupun masjid, kerap dicetak gigantik melebihi kebutuhan manusia.
Di samping katedral, sebuah benteng menatap wibawa ke arah Sungai Douro yang mengalir di batas kota. Sosok benteng ini tak lagi utuh. Pada dindingnya, kafe-kafe melekat seperti lumut yang menggerayangi tembok. Di kolongnya, kereta listrik lalu-lalang. Benteng ini tak lagi curiga mengawasi pendatang, tapi justru memanggil-manggil mereka.
Menjelang tengah hari, turis menguasai jalan-jalan. Bus wisata hilir mudik di jalan batu, bersaing dengan bajaj yang gesit, serta trem sepuh yang merayap lambat seolah tak peduli waktu. Kehadiran turis telah memicu kelahiran moda-moda baru. Pemkot mengguyurkan dana $1,4 miliar untuk membenahi transportasi umum. Pada 2002, sistem kereta “Metro” diresmikan. Empat tahun silam, gondola dibentangkan di bantaran sungai.
Di luar semua ornamen modern itu, Kota Tua tetaplah sebuah petilasan. Tempat ini senantiasa memanggil kisah-kisah yang jauh dan telah berlalu. Kita ingat, Ferdinand Magellan, petualang Eropa pertama yang membelah bumi, pernah tinggal di sini. Kita mungkin juga ingat, Gustave Eiffel merancang sebuah jembatan di sini satu dekade sebelum mendirikan menara ikonisnya di Paris. Di Kota Tua, wisata dan ziarah kerap bermakna serupa.
“Pariwisata adalah bisnis yang tumbuh paling subur di Porto,” ujar Maria, wanita yang memandu saya menyelami Kota Tua. Tapi, dengan cara apa turisme berkembang? Kota Tua saja tak pernah cukup untuk memikat dunia, apalagi untuk menyembuhkan krisis.
Beranjak dari Kota Tua yang menyurutkan waktu, saya tiba di museum yang berbicara masa kini—Serralves. Museum ini dirancang oleh putra kebanggaan Porto, Alvaro Siza. Sebagian ruangan-nya mirip ilusi optikal: menyempit, membentang, penuh jebakan tiga dimensi. Kata penjaga museum, Alvaro hendak merefleksikan bentuk lahan perkebunan yang ditempati museum.
Saya datang di Minggu yang riuh kala museum dibuka gratis. Keluarga-keluarga berdatangan. Anak-anak berseliweran. Museum ini lebih mirip mal di akhir pekan. Di sejumlah media, museum yang berdiri di kompleks perumahan ini dipuji karena berhasil memicu demam wisata ke museum.
Hari ini, Serralves tengah memamerkan karya-karya menggugah Monika Sosnowska. Perupa Polandia ini berupaya berkomunikasi dengan tubuh museum. Dia memasang koridor sempit yang dipecah oleh 12 pintu yang dijejerkan rapat, hingga memaksa orang saling bersabar saat melaluinya. Di ruang yang lain, Monika menciptakan retakan di plafon dan menyerak batu di lantai, seakan museum ini baru saja diguncang gempa.
Serralves tak ada rujukannya dalam sejarah kota. Inilah museum pertama dan terbesar di Porto yang didedikasikan bagi seni kontemporer. Tapi, untuk apa sebuah kota penghasil wine mendirikan museum seni kontemporer?
Porto memang berubah. Dalam 15 tahun terakhir, kota ini menggencarkan proyek-proyek kebudayaan dengan mengerek galeri, perpustakaan, museum, juga gedung orkestra. Warganya yakin, itulah solusi terbaik untuk menjawab problem zaman. Porto bukanlah kota yang terpaku menatap masa lalunya. Warga sadar, tantangan hidup tak bisa diselesaikan oleh kisah-kisah ekspedisi Magellan atau Vasco da Gama. Rempah tak lagi mengalir dari Goa, Malaka, atau Maluku. Kebun-kebun anggur memang masih memproduksi wine, tapi wine tak sanggup mengatasi gelombang migrasi dan resesi. Porto harus meracik formula baru guna menjawab problem mutakhir, dan pada “pariwisata berbasis budaya” kota ini sekarang menumpukan harapan. Menggelontorkan jutaan dolar untuk mendirikan museum seni memang terkesan berlebihan, tapi itu harga yang mesti dibayar untuk membuka pintu ke masa depan. Ambisius? Mungkin. Progresif? Pasti.
Dari proses itu pula kita melihat magnet-magnet baru. Mahkamah berusia 250 tahun kini ditempati oleh Portuguese Center of Photography. Taman Palácio de Cristal dari abad ke-19 dihuni oleh perpustakaan Almeida Garrett. Yang paling menakjubkan tentu saja gedung orkestra Casa da Música. Bentuknya mirip origami raksasa. Interiornya dilapisi panel-panel aluminium, membuat kita merasa sedang mengendarai piring terbang.
Casa da Música menempati lahan yang dulu dihuni stasiun tua. Keputusan membuldoser stasiun awalnya disayangkan warga, apalagi penggantinya adalah gedung ajaib yang tampak kontras dengan toko-toko uzur di sekitarnya. Tapi Porto telah berkomitmen untuk menulis lembaran baru. Untuk melangkah maju, sejarah kadang menjadi beban yang harus diturunkan dari pundak.
Casa da Música kini menggemakan citra baru Porto sebagai pusat budaya di Eropa Barat. Gedung seharga €100 juta ini bagaikan dingklik yang memungkinkan Porto berdiri sama tinggi dengan London yang memiliki Royal Albert Hall atau Sydney dengan Opera House-nya. Porto tak punya taman rekreasi berisi bianglala raksasa, tapi kota ini punya ruang apik yang merayakan kreativitas seni. Porto yang “besar” dan “modern.” Porto kota terhebat, kata Ricardo teman baru saya.
Melancarkan proyek-proyek kebudayaan jugalah keputusan yang masuk akal bagi Porto. Budaya telah menjadi bagian integral kota ini sejak lama. “Oporto,” tulis Marion Kaplan dalam The Portuguese: The Land and its People, “adalah sebuah kota yang telah mengilhami pengorbanan-pengorbanan yang luhur, prosa yang bergairah, puisi yang lirih, lukisan yang liris, sikap politik impian, serta aksi revolusioner.”
Kaplan memakai kata “Oporto,” nama klasik kota ini. Bukunya yang terbit pada 1991 itu masih dipandang sebagai primbon terbaik untuk berkenalan dengan Portugal. “Tokoh-tokoh budaya Portugis yang brilian lahir di Oporto, lalu hidup, mati dan meninggalkan hati mereka di kota ini,” tulisnya lagi.
langit musim dingin terhampar polos seperti seprai . Di tepian horizon, sinar mentari memantul-mantul di atas Samudra Atlantik. Dari balik jendela mobil, saya menebar pandangan dan menangkap Porto yang tengah merekah. Crane menjulang semampai di atap kota, berdiri canggung di antara menara gereja yang terus berdenting. Rumah-rumah tua dipermak. Hotel dan restoran bermunculan. Hari-hari dipenuhi senyum dan tawa.
Kembalinya kejayaan kota memungkinkan Porto meraih kembali segala yang telah hilang: buruh, pendatang, gairah hidup. “Porto berkembang pesat. Kota ini menghadirkan peluang bagi saya untuk mengembangkan karir,” ujar Ricardo Costa, koki yang sempat merantau ke London, lalu mudik untuk memimpin sebuah restoran di tubir sungai. Setahun setelah dibuka, restorannya sukses menyabet satu bintang Michelin.
Wangi kesuksesan bertiup kian jauh saat Porto didaulat sebagai Ibu Kota Budaya Eropa pada 2001. Puncaknya saat kota ini dinobatkan sebagai Destinasi Terbaik Eropa 2012 dan 2014. Porto kini berdiri sejajar dengan kota-kota tetangganya. Ia bukan lagi gadis cantik yang sibuk menuangkan wine ke cangkir tamu; ia kini berdansa bersama mereka.
Udara beku membekukan jari-jari. Kulit saya retak seperti tanah yang dibakar kemarau. Saat hari beranjak siang, saya mendarat di Ribeira, bantaran sungai yang dulu rawan copet, tapi kemudian berubah menjadi sentra kafe. Orang-orang bersantai memandangi sungai kalem tempat perahu-perahu tertambat menanti turis. Rabelo, perahu pengangkut barel wine, kini bersalin fungsi menjadi atraksi wisata layaknya gondola di Venesia. Turisme agak-nya telah memberikan warga setempat, juga para pencopet, sumber nafkah alternatif.
Ribeira jugalah distrik yang paling fotogenik di Porto. Potretnya selalu muncul saat kata “Porto” diketik di Google. Novelis José Saramago pernah menggambarkan keindahannya dalam Journey to Portugal. “Oporto,” tulisnya, “dalam aspek tertentu, pada dasarnya sebuah lanskap yang dapat dilihat melalui lekukan sungai, di mana si pelancong bisa menyerap udara segar dan menikmati ilusi bahwa Ribeira mewakili Oporto secara keseluruhan.”
Di Café Santiago, saya menikmati makan siang bersama Maria dan Ricardo. Tiba di muka kafe, antrean manusia mengular hingga trotoar. Semuanya hendak mencicipi francesinha, kombinasi roti berisi daging babi, telur, dan keju, ditambah tumpukan kentang goreng di sekelilingnya. Awalnya santapan kaum nelayan, francesinha berubah menjadi menu ikonis Porto, dan Café Santiago adalah tempat terpopuler yang menjajakannya.
“Orang Porto sangat bangga dengan kotanya,” Maria membuka obrolan saat kami menanti francesinha. “Orang Lisbon juga suka dengan kota mereka, tapi sebatas sebagai tempat hidup dan bekerja. Di Porto, ada fanatisme. Warganya merasa inilah kota terbaik di Portugal.”
“Tapi ini memang kota terbaik,” Ricardo menyela. Super Bock, bir nasional Porto, sudah tersaji di meja, tapi francesinha belum kunjung datang. Diskusi makin panas dan buih-buih dingin bir tak kuasa meredamnya.
Jika ada satu hal yang menyatukan emosi warga Porto, jawabannya pastilah Lisbon. Porto dan Lisbon sudah lama bermusuhan, terutama dalam urusan sepak bola, olahraga yang diimani layaknya agama di Portugal. Rivalitas kedua kota ini sangat akut hingga kadang terasa menggelikan. Di Porto, papan reklame McDonald’s dipaksa memakai latar warna hijau, karena merah adalah warna kostum klub Benfica asal Lisbon.
Entah apa akar sentimen sengit tersebut. Mungkin dendam sejarah. Hikayat Portugal dimulai di utara, di tepi Sungai Douro, tapi pada abad ke-13 ibu kota negara direlokasi ke Lisbon. Mungkin sentimen itu juga dipicu oleh persaingan “kelas”: antara Porto kota industri dan Lisbon pusat politik; antara kaum buruh dan golongan borjuis; antara orang yang merangkai hidup dan memujanya. Francesinha akhirnya mendarat di meja. Saus tebal dan pekat memenuhi mulut kami. Perdebatan, untuk sementara, reda.
Pagi berikutnya, saya kembali membelah kota. Layaknya mikrolet, mobil saya bermanuver lincah di jalan cupet yang penuh liku. Acap kali saya dihantui cemas. Portugal mencatatkan rekor buruk kematian akibat kecelakaan berkendara. Entah apakah ada korelasinya dengan tingkat konsumsi wine per kapitanya yang mencapai 42 liter per tahun (kira-kira lima botol wine per orang per bulan). “Hal terburuk di Porto,” ujar Ricardo lagi, “adalah saat kita sedang menenggak wine di jam makan siang, lalu tersadar harus kembali ke kantor.”
Wine tak terpisahkan dari alur hidup warga, dan Porto merupakan produsen wine paling terkenal di negeri ini—port wine. Wine jenis ini diproduksi di Lembah Douro, lalu diendapkan di barel-barel tua di pinggir sungai. Reputasinya senikmat rasanya. Tahun lalu, port wine dinobatkan sebagai wine terbaik sejagat oleh Wine Spectator.
Wine jugalah alasan penduduk Porto menghabiskan rata-rata tiga jam untuk makan, walau makanan mereka mungkin tak selalu berkelas. Warga kota ini dijuluki “tripeiros,” artinya pemakan jeroan. Kisahnya bermula pada abad ke-15 saat warga beramai-ramai menyumbangkan stok daging sebagai ransum pelaut yang hendak menyerbu Afrika, hingga mereka pun terpaksa mencari sumber “gizi” alternatif—jeroan. Saya sempat mencicipinya, dan rasanya janggal. Baru pertama kalinya saya memadukan babat dengan wine.
Di hari terakhir, saya menerima kejutan dari Ricardo: bertamu ke rumah paling suci bagi warga Porto—“Sarang Naga.” Minggu malam, puluhan ribu orang memadati Estádio do Dragão, mengelu-elukan klub kesayangan yang bertanding melawan klub guram dari kota tetangga. Gemuruh tepuk tangan merambat, menggetarkan malam, mengguncang tiap kursi.
“Indonesia suka sepak bola?” tanya Ricardo yang duduk di samping saya. “Sepak bola menyatukan Indonesia layaknya bendera dan lagu nasional,” jawab saya, berusaha terdengar dramatis.
Ricardo lalu melemparkan pertanyaan yang paling saya takuti: “Orang Indonesia pandai bermain sepak bola?”
“Agaknya kemampuan itu tidak ada dalam gen kami,” jawab saya memelas. “Meminta Indonesia menembus Piala Dunia seperti mengharapkan orang India menyabet emas di cabang renang Olimpiade.”
FC Porto berseragam biru-putih. Di dada kiri mereka terpampang emblem naga dengan slogan “invicta,” artinya “tak terkalahkan.” Dan malam ini sang naga memenuhi nubuatnya: Quaresma dan kawan-kawan menutup laga dengan kemenangan.
Saya keluar dari stadion bersama ribuan orang yang semringah. Suhu menyentuh 13 derajat, tapi euforia mereka berhasil menghangatkan tubuh. Malam ini, saya seperti berada di sebuah kota impian: kota yang dipenuhi museum, dihuni pencinta sepak bola, dikaruniai wine sedap berharga murah. Kini hanya satu harapan saya yang tersisa: pintu hotel belum dikunci.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Porto dilayani antara lain oleh Emirates (emirates.com), Singapore Airlines (singaporeair.com), serta Turkish Airlines (turkishairlines.com)—semuanya dengan transit dua hingga tiga kali.
Penginapan
Menempati gedung berusia hampir 70 tahun, Infante de Sagres (Praça D. Filipa de Lencastre, 62; 0351-22/339-8500; hotelinfantesagres.pt; mulai dari Rp2.030.000) memancarkan aura klasik di interiornya melalui lift berisi sofa, ruang telepon dengan pintu berukir, serta perapian logam. Properti anggota Small Luxury Hotels of the World ini berjarak hanya beberapa menit berjalan kaki dari Kota Tua dan toko buku legendaris Lello. Diklaim sebagai “wine hotel” pertama di Portugal, The Yeatman (Rua do Choupelo, Gaia; 0351-22/0133-100; the-yeatman-hotel.com; mulai dari Rp4.500.000) merupakan penginapan dengan koleksi wine lokal terlengkap: 26.000 botol dari 1.200 label. Hotel anggota Relais & Châteaux ini berdiri di tepi Sungai Douro, di antara gudang-gudang wine bersejarah, serta menawarkan panorama terbaik lanskap Porto dari balkon kamar.
Informasi
Untuk menjelajahi kota, gunakan sopir, sebab jalan-jalannya amatlah membingungkan. Biaya hidup di Porto relatif murah, bahkan jika dibandingkan dengan Jakarta. Secangkir kopi dan dua potong roti dibanderol €2,5. Untuk informasi seputar obyek wisata dan jadwal acara, kunjungi situs Tourism Portugal (visitportugal.com). Jika ingin menikmati tailor-made tour, hubungi Tours for You (toursforyou.pt).
Makan & Minum
• Book. Restoran yang mengusung “buku” sebagai tema desain, serta menyuguhkan aneka menu lokal dan Mediterania.
• Café Majestic. Tempat hangout berdesain Art Nouveau yang populer di kalangan kaum intelektual.
• Café Santiago. Selalu sesak di jam makan siang berkat kelezatan menu andalannya: francesinha, kombinasi roti, daging babi, telur, keju, dan serakan kentang goreng.
• Cantina 32. Restoran sederhana yang memadukan dengan apik desain urban kontemporer dan menu inovatif berharga terjangkau.
• Casa de Chá da Boa Nova. Restoran fotogenik yang didesain oleh arsitek lokal tersohor Alvaro Siza dan dipimpin oleh Rui Paula, juri MasterChef Portugal. Menyajikan tiga opsi paket menu dengan presentasi yang sangat imajinatif.
• Casa de Pasto da Palmeira. Tempat populer di kalangan warga yang menyuguhkan menu lokal bergaya tapas dengan rasa memukau dan harga yang masuk akal. Rua do Passeio Alegre; 0351-22/616-8244.
• Ostras & Coisas. Baru dibuka tahun ini, tapi langsung bersinar di kalangan pencinta seafood. Bahan andalannya: kepiting dan ikan lokal, serta udang dari Afrika. Rua da Fabrica 73; 0351-22/328-0527.
• Praia Homem do Leme. Restoran sederhana yang menawarkan menu-menu ikan favorit lokal. Lokasinya persis di tepi pantai. Av. Montevideu; 0351-22/6181-847.
• Ribeira. Kawasan rawan copet yang berubah menjadi sentra kafe alfresco, salah satunya Ponte Pensil, tempat hangout paling fotogenik.
• The Yeatman Restaurant. Kokinya, Ricardo Costa, memberi sentuhan modern pada menu tradisional. Menyabet satu bintang Michelin setahun setelah dibuka.
• Xico Queijo. Tapas bar generasi baru di sentra kehidupan malam. Kerap dijadikan wadah pemanasan sebelum ke bar-bar yang berbaris di sampingnya. Rua Galeria de Paris 79.
Wisata
• Casa da Música. Gedung mentereng yang dirancang oleh Rem Koolhaas dan menjadi rumah bagi grup Porto Symphony Orchestra. Restoran di puncaknya dilengkapi balkon terbuka yang menatap kota.
• Centro Comercial Bombarda. Mal yang didedikasikan bagi label lokal, misalnya Aguas Furtadas (dekorasi), Eugenia Cunha (handbag), dan Index Livraria (perlengkapan anak). Di dekatnya terdapat banyak galeri.
• FC Porto Museum. Salah satu museum sepak bola terbaik di dunia: interaktif, informatif, dan menghibur. Jauh lebih menarik dan atraktif dibandingkan Museum Real Madrid (baca ulasan lengkapnya di sini).
• Kota Tua. Ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia pada 1996. Beberapa monumen penting yang layak disambangi: Gereja Clérigos dan menara di sampingnya; Stasiun São Bento; serta Katedral Sé do Porto.
• Lello & Irmão. Toko buku yang menempati gedung neo-Gothic yang dikonstruksi pada 1906 dan dirancang oleh Xavier Esteves. Saat menetap di Porto, J.K. Rowling kerap mangkal di sini untuk menulis bab-bab awal novel Harry Potter (baca ulasan lengkapnya di sini). Rua das Carmelitas 144.
• River Cruise. Tur 50 menit menaiki kapal tanpa atap di Sungai Douro, yang membawa kita melewati tepian Kota Tua dan jembatan-jembatan bersejarah. Operatornya, Douro Azul, juga menawarkan tur helikopter dan pesiar menuju Salamanca, Spanyol.
• Serralves. Museum seni kontemporer yang menampung 14 ruang ekshibisi dan berdiri di lahan 17 hektare. Direkturnya, Suzanne Cotter, terlibat dalam proyek Guggenheim Abu Dhabi. Dibuka gratis tiap hari Minggu.
• Taylor’s. Produsen port wine legendaris yang didirikan pada 1692 dan bermarkas di tepi Sungai Douro. Hubungi Ana Margarida untuk menikmati tur informatif seputar sejarah dan varian port wine, termasuk mencicipi beberapa kreasi andalan perusahaannya.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2015 (“Napas Muda Kota Tua”).