by Yohanes Sandy 12 August, 2014
Museum Baru di Shanghai
Teks dan foto oleh Nick Walton
Pengusaha asal Indonesia membuka museum di Shanghai. Bagian dari evolusi seni di Cina daratan.
Di West Bund, persisnya di sebuah bekas hangar suram yang beratap melengkung, museum seni kontemporer Barat pertama di Shanghai diresmikan. Tapi bukan cuma reputasinya yang memikat perhatian publik. Museum swasta ini didirikan oleh pengusaha asal Indonesia, Budi Tek.
Yuz Museum menggebrak lanskap seni Shanghai yang selama ini lebih berkarakter konvensional. Museum kedua milik Budi Tek ini (yang pertama berada di Jakarta) sekaligus menegaskan West Bund Cultural Corridor, kawasan tempatnya berdiri, sebagai garda terdepan dalam evolusi West Bund sebagai jantung seni Shanghai. Konstruksinya memakan waktu enam tahun, dan sepertinya masih akan berlanjut.
Di dekat gerbangnya terpajang Olive Tree, pohon zaitun sepuh yang tumbuh di atas kubus tanah. Karya artis Italia Maurizio Cattelan ini dibatasi oleh bentangan tali beludru merah yang lazim terpasang di lembaga-lembaga kultural RRC. Merangsek lebih dalam, benda-benda yang steril dari pembatas tersebar di lahan pamer bernuansa putih seluas 9.000 meter persegi yang dirancang oleh arsitek asal Jepang, Sou Fujimoto.
Koleksi Tek beragam, mulai dari Tower Snake, menara reptil jangkung buatan Huang Yong Ping, hingga Custos Cavum, makhluk kinetik dengan kerumitan mesin jam tangan karya U-Ram Choe. Satu instalasi yang menuai perhatian semua pengunjung adalah Telle Mère Tel Fils dari Adel Abdessemed. Bentuknya dua pesawat panjang yang saling membelit layaknya ular. Fantasi dan realitas berkelindan saat menatapnya.
Juga menohok tapi kurang cocok untuk pengunjung belia adalah pameran mini bertema tembakau yang mencakup antara lain manuskrip perkamen yang terbuat dari daun tembakau, koleksi bungkus rokok, serta Tobacco Project, yakni “kulit macan” yang dirangkai dari 660 ribu batang rokok karya Bing Xu.
Lantai mezzanine dihuni beberapa karya tambahan, mayoritas berupa lukisan dan fotografi. Untuk mengaksesnya, tamu mesti mendaki tangga gelap dan menembus laser-laser merah dari instalasi canggih The Gate buatan Hui Li. Merayakan pembukaannya, hingga November, Yuz Museum menggelar pameran bertajuk Myth/History yang menampilkan 100 karya pilihan Profesor Wu Hung dari University of Chicago.
Koleksi absurd dan enigmatik tersebut berambisi menciptakan dialog antara mitos dan sejarah, dengan koleksi Yuz Foundation sebagai bahasa pengantarnya. Dalam sepucuk surat kepada pengunjung, Tek menggambarkan dirinya sebagai “keturunan Tionghoa patriotik di luar negeri.” Yuz Museum, katanya lagi, mengekspresikan rasa cintanya yang mendalam pada tanah leluhurnya dan Shanghai. Tapi dia tidak sendirian dalam menangkap geliat seni kota ini. Yuz adalah yang terbaru dari empat museum yang dilansir di Shanghai dalam empat tahun terakhir. Tiga lainnya adalah Long Museum, Power Station of Art, dan Rockbund Art Museum.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Ags 2014 (“Dobrak Lanskap”)