Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjuangan Suku Mentawai Merawat Tradisi

Kiri-Kanan: Seorang turis berenang di Pantai Simakakang di Pulau Simakakang; Aman Lepon, seorang sikerei atau dukun, sekaligus pengawal hutan Mentawai.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli

Tidak, saya tidak mau menjadi sikerei. Tidak akan!” kata Lepon Salakkirat. Suara lelaki kecil belasan tahun ini memecah sunyi uma. Angin malam bertiup kencang, membuat tali-temali penuh tengkorak yang digantung di loteng bergerak dan bergesekan. Gesekan tulang yang membuat ngilu.

Aman Lepon, ayah Lepon, dan Aman Lau’lau’, kakeknya, tersenyum ringkih mendengar kalimat Lepon. Kedua lelaki ini mengalihkan tatapan ke luar beranda. Tiada yang terlihat selain kegelapan yang begitu pekat menyelimuti seluruh hutan di Dusun Butui. Hanya cericit suara jangkrik dan dengus binatang malam sesekali terdengar. Rimba Siberut bagai dilumuri tinta hitam.

Bintang bertebaran di langit, tapi malam tetap saja gulita. Aman Lau’lau’ menggaruk pinggangnya. Membuat jangat keriputnya meregang dan tato bermotif duri di lengannya saling bergesek. Ia dan Aman Lepon adalah dua orang sikerei—dukun penjinak bisa. Charles Lindsay dan Reimar Schefold dalam Mentawai Shaman menjulukinya keeper of the rain forest.

Kiri-kanan: Menu ikan sarden disajikan ke tamu uma di Dusun Butui; hutan menyediakan tempat hidup dan obat-obatan yang dibutuhkan warga untuk bertahan.

Mereka hidup di hutan, bertuhan pada alam roh dalam ajaran yang disebut Arat Sabulungan. Tuhan dalam kepercayaan orang Mentawai terbagi dalam trinitas: roh yang berada di hutan, sungai, dan langit. Ketiganya merupakan “makhluk” suci. Ketiganya tidak boleh dirusak. Buang hajat pun tidak mereka lakukan di sungai, sebab sungai adalah sumber kehidupan. Mengotori sungai berarti mengotori kehidupan.

Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, berburu, memakan sagu. Uma, kediaman mereka, didesain merujuk filosofi adat. Betapa hidup mereka terpaut dengan alam. “Lalu, kau mau jadi apa?” suara tua Aman Lau’lau’ terdengar lirih. “Siapa lelaki yang akan menjaga uma ini setelah ayahmu dan aku sudah tidak ada?” Suaranya menyelinap dari kejauhan, bagaikan suara Hideyoshi, seorang samurai sepuh dalam novel Taiko karya Eiji Yoshikawa yang terkenal itu. Hideyoshi menelan tangisnya sendiri begitu mengetahui anaknya enggan menjadi samurai. Ia sangsi pada keadaan dan masa depan, ketika kampung-kampung di Jepang porak-poranda dalam kecamuk perang antarklan.

Tetapi, bukankah perang klan di Mentawai sudah tidak adalagi? Dan tradisi pemenggalan kepala musuh telah dihapuskan?

Kiri-kanan: Bungalo bergaya uma di Kandui Villas; berselancar di Lance’s Right, spot terkenal di Pulau Sipora.

“Tidak ada paksaan untuk menjadi sikerei, anakku!” Aman Lau’lau’ berbisik. Suara parau yang keluar dari kerongkongan kering Aman Lau’lau’ membuat hati saya lena. Aman Lau’lau’ masih ingat, bagaimana dia harus menari di atas bara dan nyala api pada ritual penobatannya menjadi sikerei. Bagaimana pedihnya ketika sipatiti (semacam mpu pembuat tato) menusukkan jarum dan merajahkan arang ke kulitnya.

“Tato merupakan identitas bagi orang Mentawai,” kata Adi Rosa, pengamat tato lulusan Seni Rupa ITB. Pada tato tersimpan kisah dan identitas seseorang. Dari klan mana ia berasal, atau sehebat apa ia berburu, tecermin dari tato di tubuhnya. Tato yang membalut kepala hingga kaki mereka tak hanya sunggingan arang di dalam kulit semata, melainkan pancaran roh dari kehidupan seseorang, jelas Adi Rosa lagi.

Namun, sekarang, zaman modern telah begitu leluasa masuk tanpa bisa dihambat. Anak-anak suku telah dibawa arus modernisasi, menganut monoteis, berpakaian, bersekolah, mengenal tulisan, meminum Coca-Cola, memakai celana jin. Ada tembok tinggi modernitas yang tidak bisa diloncati usia. Bahkan, tambah Adi Rosa, sudah tidak ada lagi remaja Mentawai yang ingin tubuhnya ditato. “Apalagi mereka telah mencicipi pendidikan di luar Mentawai. Tato mereka anggap sebagai ketololan dan primitif.”

Aman Lepon berburu di tengah belantara.

“Saya ingin menjadi guru,” Lepon kembali bersuara. Kali ini tanpa keraguan. Beberapa perempuan di uma yang sibuk menyusui anak-anak mereka, mengulum senyum mendengar suara Lepon. Dalam diam, Aman Lepon dan Aman Lau’lau’ berjalan gontai menuju ruang belakang, lalu mengeluarkan salipa, tas dari kulit kayu berisi dedaunan, racun, dan arang. Mereka kemudian saling mengentakkan kaki ke lantai papan uma, membuat rumah besar ini terasa berayun dalam cahaya obor.

Ritme entakan yang kacau ini kian lama kian dinamis. Tangan mereka mengepak-ngepak, memantulkan bayangan patah-patah ke dinding uma. Dua orang lelaki lain berjalan tergesa ke ruang belakang, mengeluarkan gendang kecil dengan membran kulit ular, lalu menabuhnya.

Dalam trans, entakan kaki kedua lelaki itu makin tak terkendali. Ritme mistik para pemanggil roh yang menghantam lapis-lapis papan, menggetarkan seisi uma. Mata mereka nanar, seperti melihat petaka dari kejauhan. Kata-kata, mungkin rapalan mantra, menyeruak dinginnya malam. Entakan kaki kian kencang. Dedaunan yang membalut lengan dan kening memantulkan kilauan. Apa yang tengah terjadi, Aman?

Kiri-kanan: Gadis lokal di Pulau Siberut memperlihatkan aksesori tradisional berupa rangkaian bunga dan daun; kehidupan di bawah dermaga di Pulau Simakakang.

Pulau Siberut memiliki luas 4.480 kilometer persegi, tujuh kali luas Jakarta. Ia merupakan yang terbesar di antara tiga pulau tetangga dan puluhan pulau lain dalam gugusan Mentawai. Siberut adalah juga satu-satunya pulau di mana hutan masih tersisa di Mentawai. Ombak yang tinggi, badai dan angin kencang, hingga arus yang tak menentu kerap membuatnya terisolasi walau hanya terpisah jarak 150 kilometer dari Padang.

Orang-orang Eropa di masa lalu menyebutnya Poggies. Mereka datang ke kepulauan ini di pertengahan abad ke-18 dengan tujuan berdagang. Di sini tumbuh pala panjang, kayu merbau, juga sagu. Belanda ingin mendirikan koloni di pulau-pulau yang kebanyakan tidak berpenghuni, namun rencananya gagal karena hujan yang turun terus-menerus dan malaria yang mulai mewabah.

Kiri-kanan: Tengkorak monyet digantung berbaris layaknya pajangan di dalam uma; Aman Lepon mementaskan Tari Turuk Laggai.

Dalam The History of Sumatra, William Marsden menceritakan dengan tergesa-gesa tentang keadaan pulau-pulau yang berjejer di pantai barat Sumatera itu. Tentang orang-orangnya yang berkulit cokelat muda, bersenjatakan busur dan panah yang terbuat dari bambu sementara ujungnya terbuat dari perunggu. Agama mereka menyerupai agama orang Batak. Tetapi cara mereka menguburkan mayat menyerupai praktik orang Pasifik. Jenazah diletakkan di atas panggung, ditutupi daun, dibiarkan hancur dengan sendirinya.

Pria Eropa lain, John Christie, pada abad ke-19 melakukan beberapa kunjungan ke Kepulauan Mentawai. Dalam catatannya, gugusan ini disebut Mintaon. Dia datang untuk kepentingan ekspor kayu. Barangkali, sejak saat itu, kepulauan ini menjadi rebutan investor, pemerintah, LSM, dan masyarakat. Sejarah eksploitasi hutan Mentawai adalah sejarah yang tidak pendek. Belanda melakukannya, lalu pemerintah Republik.

Tiga pemuda Mentawai usai menampilkan tarian turuk laggai, tarian tradisional Mentawai.

Di pengujung 1945, pemerintah mencoba melancarkan program relokasi penduduk di Siberut, namun hasilnya jauh dari sukses. Pada 1975, warga lokal yang kerap dicap primitif dikelompokkan dalam sebuah perkampungan baru. Orang-orang Mentawai ditekan agar sudi meninggalkan uma. Tak berapa lama, pembalakan hutan merajalela. Kayu-kayu diangkut dengan kapal-kapal besar untuk memenuhi kebutuhan pabrik kertas dan tripleks di berbagai daerah. Di selatan Padang, sebuah pabrik kayu lapis pernah maju bermodalkan pasokan dari Mentawai. Ketika kayu di hutan menipis, pabrik itu gulung tikar beberapa tahun silam.

Program relokasi dan perkembangan teknologi membuat uma tak memiliki tempat lagi di tanah dan hati orang Mentawai. Hanya sebagian kecil bangunan yang masih bertahan. Hal ini mengakibatkan kebudayaan lokal terlihat samar.

Dalam cucuran keringat, kedua sikerei, Aman Lepon dan Aman Lau’lau’, terus menari. Tarian itu dinamakan Turuk Bilou, tarian dari monyet hitam yang berhabitat di hutan Siberut. Hutan yang pada 1981 ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer. Hutan yang diperebutkan oleh berbagai pihak.

Kiri-kanan: Seorang pemuda lokal bersiap menjajal ombak-ombak di Lance’s Right, Sipora; peselancar lokal menanti ombak di dekat Kandui Villas.

Di Taman Nasional Siberut, 60 persen mamalia diberi status endemis. Statistik yang membuat pulau yang berada di kawasan Cincin Api ini disejajarkan dengan Madagaskar dalam hal populasi primata endemisnya. Siamang kerdil bilou dan spesies langka monyet hitam-kuning yang lazim disebut simpai Mentawai oleh penduduk, merupakan sebagian kecil spesies primata yang menampilkan karakteristik primitif dan memikat beberapa peneliti evolusi. Kepulauan Mentawai diperkirakan patah dari Sumatera 500 ribu tahun silam. Pemisahan yang mengakibatkan flora dan faunanya begitu unik dan distingtif.

Lepon memandang tenang ke arah kakek dan ayahnya yang sedang menari. Saya melihat mereka dengan takjub. Menjadi sikerei memang tidak mudah. Dunia pariwisata menjadikan mereka obyek tontonan. Di satu sisi, kepentingan pariwisata meminta mereka untuk tetap lestari di hutan, hidup purba dengan berburu dan mengayak sagu. Namun, di sisi yang lain, mereka berada dalam gejolak masa transisi ke modernisasi. Modernitas mengajarkan tentang hak—hak untuk mengakses berpendidikan, untuk menikmati makanan higienis, untuk menatap masa depan yang dianggap lebih maju, termasuk hak untuk menjadi guru, sebagaimana yang dicita-citakan Lepon.

Kiri-kanan: Pedagang kelapa muda di Sipora; tumpukan papan selancar di pelataran Aloita Resort di Simakakang.

Pada 1980-an, gelombang besar pariwisata deras mengalir ke Mentawai, tepatnya ke Pulau Siberut, pulau yang dianggap masih memiliki hutan perawan dan tradisi tribal yang autentik dibandingkan pulau-pulau lain di Mentawai. Namun, sesungguhnya, pulau ini telah disatroni pelancong jauh lebih lama dari itu. Buku-buku panduan wisata berbahasa Belanda yang terbit di abad ke-19, telah menjadikan lawatan ke pulau ini bagian dari paket pelesir ke Sumatera. Orang-orang Eropa berdatangan ke Siberut guna melihat ombak yang bergulung tinggi, hutan perawan yang rindang, dan warga suku pedalaman dengan tato mereka yang kuno. “Dunia seakan dikejutkan oleh keberadaan mereka, juga tato mereka, sebagai suku yang memiliki tato tertua di dunia,” saya teringat kembali kata-kata Adi Rosa.

Kebudayaan di pedalaman kini telah memudar. Mereka tidak lagi lestari. Mereka telah modern. Bagaimana mungkin sebuah kebudayaan bisa dilestarikan sementara ia adalah entitas yang terus bergerak? Saya bergumam sendiri dalam gelap dan kantuk. Dalam uma, saya seperti terperangkap di masa lampau, tanpa aliran listrik dan sinyal seluler. Tidak ada yang dikerjakan selain bertukar cerita. Kedua sikerei duduk kembali di serambi dengan keringat yang telah mengering di badan.

Di Siberut, cuma beberapa uma yang masih kokoh berdiri dan berpenghuni. Sebagian hanya ditinggali ketika hendak menyambut grup-grup tur. Pada 1901, kaum misionaris Kristen mulai berdatangan ke Mentawai, disusul gelombang pendakwah Islam beberapa puluh tahun setelahnya. Dua agama langit ini saling bersaing merebut hati penduduk. “Di pulau Siberut, mereka membakar uma kami, simbol adat yang kami junjung tinggi!” kenang Minarse, perempuan yang mengaku sebagai anak seorang sikerei dari Sakudei.

Kiri-kanan: Spanduk Bob Marley di Kandui Villas; lobster disajikan dalam sesi makan malam di Aloita Resort.

Saya meninggalkan hutan Butui, keluar dari Dusun Ugai, menembus hujan di Desa Madobag, Siberut Selatan. Saya menghabiskan jam-jam yang melelahkan di atas perahu. Melewati rawa-rawa yang memantulkan langit sore, menyusuri Sungai Silaoinan dan sungai-sungai cokelat lain yang membelah-belah Siberut dan membentengi meandernya dengan bakau. Aman Lau’lau’ mengantar saya hingga sungai kecil yang melintang segaris dengan uma-nya. “Mereka adalah orang yang kuat, hidup dalam akar kebudayaan sendiri. Hanya saja, sekarang mereka telah kehilangan identitas itu, walau tidak sepenuhnya,” kata Pius, pastor dari keuskupan Italia.

Pius yang kerap disapa Pastor Pio oleh orang Mentawai ini berdomisili di Mentawai sejak 30 tahun silam. Dia membangun sekolah di beberapa titik di pedalaman dan juga mendirikan dua penginapan: Manai Koat Guest House di Siberut dan Manai Koat Resort di Simakakang. Puluhan resor lain bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Semuanya menawarkan tetirah di pulau-pulau kecil di Mentawai.

Dari Muara Siberut, saya menumpang kapal cepat dengan nama Sikerei. Sebegitu agungkah sirekei hingga ia disematkan pada nama kapal dinas bupati? Ingatan saya kembali ke Lepon. Langit pagi kian terang. Pulau-pulau tak berpenghuni silih berganti dilewati. Gulungan ombak besar tampak saling berkejaran.

Kiri-kanan: Panorama laut dari teras bar di Aloita Resort; kolam tepi pantai di Kandui Villas.

Sejak akhir 1990-an, Mentawai lebih banyak didatangi peselancar. Ombak dan alam bawah lautnya lebih menggiurkan dibandingkan kebudayaannya yang tampak telah pudar.  “Mentawai International Pro Surf Competition 2013” begitu tulis spanduk di Katiet, ketika Sikerei melepas jangkar. Dua spot di Mentawai, Lance’s Right dan Macaronis, masuk daftar 10 spot selancar terbaik di dunia, kata Desti Semi Nora, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Mentawai. Kepulauan ini memiliki 71 lokasi selancar dengan 49 titik yang dikategorikan eksklusif.

Selancar merupakan magnet dalam memacu arus turis. Karakter ombak yang bermacam-macam menjadi daya tarik bagi kaum pembawa papan. “Lebih dari 84 persen wisatawan Mentawai adalah peselancar,” tambah Desti.

Saya mengambang di laut Aloita Resort, melihat terumbu karang dan ikan-ikan yang berlarian dalam kelompok. Beberapa tahun lalu, di Pantai Jati, Tua Pejat, saya menyelam, dibawa hanyut oleh ikan warna-warni yang berenang di sela karang. Ada juga hiu yang awalnya membuat saya takut. Tapi, nelayan di sini bilang, tidak ada hiu Indonesia yang makan manusia. Saya jadi tenang bermain dengan predator laut itu. Alam bawah laut seperti sebuah alam lain yang damai.

Namun suara Lepon masih tetap tinggal, terngiang-ngiang di telinga saya. “Saya ingin menjadi guru!” Tetapi Lepon, tidakkah seorang sikerei adalah juga seorang guru—guru bagi kaumnya?

PANDUAN
Rute
Kabupaten Kepulauan Mentawai berjarak sekitar 150 kilometer dari Padang. Penerbangan ke sana dilayani oleh maskapai SMACK (Rp350.000-500.000) yang berangkat dari Bandara Minangkabau ke Pulau Sipora setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Speedboat (Rp6.000.000-7.000.000) yang bersandar di Muaro Padang juga melayani rute Padang-Siberut dan ke pulau lain di Mentawai.

Opsi lainnya adalah KM Ambu-Ambu (kelas eksekutif Rp400.000) yang berangkat dari Pelabuhan Bungus, 30 kilometer dari Padang, menuju berbagai pulau di Mentawai. Berikut jadwalnya: Padang-Sipora setiap Minggu pukul 20; Padang-Sikakap, Selasa pukul 20; Padang-Siberut, Kamis pukul 20. Penerbangan ke Padang dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Jakarta, Pekanbaru, dan Medan; serta Lion Air (lionair.co.id) dari Jakarta, Batam, dan Medan.

Penginapan
Di pulau privat Simakakang, kira-kira 15 menit perjalanan dengan boat dari Tua Pejat, Aloita Resort & Spa (Simakakang; 0759/320-354; aloitaresort.com; doubles mulai dari $125) menawarkan tujuh cottage dan sebuah family cottage. Di Siberut Selatan, Manai Koat Guest House (Maileppet, Siberut Selatan; 0812-7723-3629; manaikoatguesthouse.com; Rp300.000 per orang, inklusif makan tiga kali per hari) hadir dengan konsep rumah besar berisi delapan kamar dan sebuah restoran.

Didedikasikan bagi peselancar premium, Kandui Villas (Karambejat; 0812-664-0 941; kanduivillas.com; mulai dari $328 per orang) menawarkan fasilitas yang sangat lengkap untuk standar Mentawai, seperti infinity pool, spa, restoran, bar, galeri, hingga ruang biliar. Populer di kalangan peselancar, Macaronis Resort (Pulau Silabu; 0852-7471-0606; macaronisresort.com; mulai dari $1.597 per minggu) menawarkan akses mudah ke spot Macaronis yang diberkahi ombak konsisten.

Aktivitas
Di akhir milenium kedua, Mentawai menegaskan status barunya sebagai salah satu kiblat selancar internasional. Ombaknya tinggi, deras, dan konsisten. Resor-resor aneka kelas yang menarget kaum peselancar pun bermunculan. Keriuhan yang berlangsung di pantai berganti menjadi kesunyian saat kita memasuki kawasan pedalaman.

Di Siberut, pulau yangdibalut hutan, wargasuku pedalaman dansatwa endemis berbagiruang hidup yang rentandiinvasi pembalak.Warga suku menetapdi dalam uma, rumahpanggung berbahankayu. Jika ingin menemuimereka, sebaiknyamembawa pemanduyang mengerti adatlokal. Pemandu kepedalaman Siberutumumnya bisa ditemukandi penginapan,salah satunya ManaiKoat Guest House.

Waktu kunjungan ideal ke Mentawai adalah Mei hingga Agustus. Dari Desember hingga April, badai sering datang dan menutup jalur pelayaran kapal. Dari September hingga awal Januari, hujan sering turun dan  gelombang sulit diprediksi, sehingga transportasi ke beberapa lokasi kerap ditunda, kadang hingga dua minggu. Tips lainnya, pastikan Anda membawa obat antimalaria.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2013 (“Saturasi Negeri Sikerei”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5