Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menengok Pariwisata Yordania

Teks dan foto oleh Fatris MF

Di tengah ketidakjelasan suhu politik dan keamanan di Jazirah Arab, Yordania malah menggencarkan promosi pariwisata. Saat halaman-halaman media massa dihantui tajuk terorisme, Yordania malah mengundang jurnalis dari penjuru bumi untuk berpelesiran. Dan ketika negara di sekelilingnya morat-marit dikoyak perang, Yordania malah hidup damai dan berpesta. Ada apa dengan Yordania?

Saya turut memenuhi undangan tersebut. Saya datang persis dua minggu setelah ISIS menayangkan video sadis pembakaran pilot Yordania, Muath Al-Kaseasbeh. Video yang membuat kita mual dan muak. Bandara Ratu Alia tampak sepi. Kebanyakan petugas hanya duduk santai. Antrean imigrasi pun tak sampai sepuluh orang—dan semuanya jurnalis yang diundang pemerintah.

Saya keluar bandara dan meluncur ke Amman, Ibu Kota Yordania yang aman. Tanah kuning dan tandus terhampar, sebagian kecil ditanami pohon zaitun. Rumput yang dimusuhi para petani Indonesia juga tidak saya temui. Dan rumput sebenarnya tak mampu tumbuh di tanah kering ini. Apa yang bisa diharapkan dari negara yang lebih dari separuh lahannya adalah gurun gersang?

Salah seorang turis usai berendam di lumpur hitam di tepi Laut Mati. Konon, lumpur itu memiliki khasiat medis.

“Wisata!” kata Ramzi Nawafleh, pemandu saya. “Tapi, sekarang mata dunia tertutup pada kami. Lihatlah Arab Saudi. Dunia memandangnya sebagai penghasil minyak. Tapi seandainya tidak ada minyak, mereka masih kaya. Berapa juta turis yang ke sana tiap tahunnya?”

Nayef Al-Fayez, Menteri Pariwisata Yordania, tentu paham akan pentingnya pariwisata. Dialah yang menggelar tur mahal yang saya ikuti ini. Wartawan dari empat penjuru mata angin didatangkan. Raja Abdullah II menggelontorkan jutaan dinar untuk mengumumkan kepada dunia: Yordania layak didatangi, Yordania tidak rusuh, datanglah ke Yordania! “Yordania adalah negara yang hangat, aman, dan ramah,” kata Al-Fayez.

Kiri-kanan: Seorang pengembala dengan untanya di Madaba; Petra, objek wisata ikonis Yordania dengan sejarah yang panjang.

Ratu Rania mengklaim bakal menjamin keamanan turis. “Turis adalah tamu,” kata ratu yang kecantikannya seperti gambaran di dongeng-dongeng itu. “Kunjungan ke negara asing bukan semata kesempatan untuk membuka mata terhadap tempat baru, tapi juga membuka pikiran terhadap orang baru.

Saya memulai tur saat penyiar radio membacakan berita kerusuhan di Palestina dan Suriah. Narasinya diselingi lagu berbahasa Arab yang dinyanyikan dengan suara mendayu-dayu. Di jantung Amman, jalan bersih tanpa macet terbentang. Al’amal Al Abdali, bulevar kota, ditumbuhi gedung yang berbaris rapi. Jalan Queen Noor pun begitu. Istana raja dijaga ketat oleh tentara, bersaing dengan Kedutaan Amerika yang dikawal oleh tank layaknya benteng dalam status siaga perang.

Arsitektur pusat kota Amman cukup modern meskipun terlihat gersang.

Amman sepertinya dirangkai dari konsep yang baku. Bahkan warna gedung dan rumah pun diatur oleh negara. Karena itulah kita tak akan menemukan bangunan bercat jambon, ungu, atau kuning. Di sini juga tak ada pengamen ataupun pengemis.

Restoran-restoran mengepulkan asap dan canda tawa. Di Restoran Al Qantarah, pria dan wanita sibuk mengisap shisha, menyantap mansaf (domba panggang) dan kebab, berfoto-foto dengan kamera yang dilekatkan di ujung tongkat. Makanan Yordania rata-rata serupa di mana pun: sayur, daging, roti, bubur gandum yang dinamai ‘um ‘ali.

Hidangan khas Timur Tengah di salah satu restoran di Yordania.

Amman mengoleksi beragam museum, mulai dari museum purbakala hingga museum mobil. Semuanya dikelola rapi. Saya singgah di The Royal Automobile Museum yang memajang mobil-mobil klasik dengan harga yang tak terkira, sebut saja 1940 Buick Convertible Coupe dan 1968 Rolls-Royce Phantom. Meski tua, tubuh mereka mengilat seperti baru keluar dari salon.

Museum kanak-kanak juga ada. Isinya beragam mainan dan tentu saja, anak-anak. Bocah-bocah di Yordania agresif. Mereka berlarian ke sana kemari, berteriak-teriak, tertawa-tawa—gambaran yang kontras dari foto-foto di koran The Gulf Today yang memuat wajah anak-anak di Suriah tengah mencari air bersih, atau wajah anak-anak di Irak yang terjebak di tenda pengungsian. Bukankah wajah anak-anak bisa menjadi indikator kedamaian sebuah negeri?

Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment

0.0/5