by Fatris MF 24 October, 2013
Mencicipi Emas Hitam Gayo
Oleh Fatris MF
Foto oleh Yoppy Pieter
Dulu, saya memasuki Aceh dengan perasaan tak keruan melihat negeri ini porak-poranda diguncang gempa dan diterjang tsunami. Hanya ada puing, kesedihan, dan jasad yang berserakan. Dan bahkan di saat bencana, Aceh masih didera perang yang disebut operasi pemulihan keamanan; senjata masih meletus di sudut-sudut kampung. Hampir dua bulan lamanya saya menjadi relawan di Bumi Serambi Makah, dan semua catatan saya dipenuhi kisah sedih.
Sekarang, setelah delapan tahun, saya kembali datang. Kali ini bukan berstatus relawan, melainkan pelancong. Di terminal Bandara Sultan Iskandar Muda, saya disambut aroma kopi yang menguap dari kafe-kafe. Cuma inikah alasan saya kembali ke sini? Langkah telah tersorong, apa mau dikata. Saya menjadi turis di negeri yang baru berbahagia.
Saya mendarat di Gayo di waktu subuh dengan menumpang bus dari Banda Aceh, ibu kota provinsi yang terletak di lembah yang dikelilingi gunung-gunung tinggi. Tujuh jam lamanya bus membelah hutan kelam, mendaki lika-liku jalan yang mulus menuju pedalaman Nanggroe Aceh Darussalam—nama yang baru pada abad ke-20 disematkan untuk meliputi seantero bumi Aceh. Sebelumnya, nama ini digunakan terbatas untuk menandai wilayah Kuta Raja, ibu kota kerajaan lama, setidaknya demikian kata sejarawan ternama asal Prancis, Denys Lombard, dalam buku Kerajaan Aceh di zaman Iskandar Muda.
Berabad-abad sudah pesisir Aceh menjadi pusat pemberhentian sekaligus pusat perhatian, baik pesisir timur maupun pesisir baratnya. Dua wilayah pesisir ini selalu disinggung jika berbicara tentang kegemilangan Aceh di zaman perdagangan laut masih marak, di saat kota-kota pantai memainkan peran vital. Berjilid-jilid buku telah ditulis mengenai kedua wilayah pesisir ini. Pada 1345, Ibnu Battuta mendatangi dan memuja aroma pohon benzoin dan cengkihnya, serta kerajaan-kerajaannya yang perkasa dan kaya.
Sayangnya, sulit menemukan satu dokumentasi utuh mengenai wilayah pedalaman Aceh. Sebenarnya di abad ke-13 Marco Polo sempat berkunjung ke pedalaman Aceh, tepatnya ke Perlak, tapi ia mencatatnya dengan tergesa-gesa, penuh rasa takjub, sekaligus ketakutan akan para kanibal yang menyembah roh. Selama hampir setengah tahun berkelana di utara Sumatera ini, Marco Polo mencicipi anggur racikan penduduk lokal. Kopi belum sampai pada abad itu.
Pedalaman Aceh telah lama luput dari perhatian, tidak saja oleh mata penjelajah asing dan pelancong etnografis, tapi juga oleh pemerhati pariwisata di zaman kita kini. Dengan sudut mata pun bahkan tak dilirik. Termasuk daratan tinggi Gayo.
Pedalaman Aceh berabad-abad juga steril dari kekuasaan politik para sultan pesisir. William Marsden, pelancong Inggris sekaligus penulis buku History of Sumatra, tentang fenomena ini menulis: kekuasaan ke arah pedalaman tidak akan lebih dari 50 mil. Padahal, daerah interior Aceh ini dalam sejarah punya peran ekonomi signifikan: menghasilkan berbagai komoditas penting bagi kota-kota kesultanan.
Tomé Pires, pengelana yang diutus Portugis, dalam Suma Oriental mencatat: “Adapun tanah pedalaman menghasilkan daging, beras, dan anggur yang dibuat dengan cara mereka, juga bahan makanan lain; ada lada, tapi tidak banyak.” Kekuasaan para sultan memasuki daerah pedalaman baru pada tahap kedua dalam sejarah kesultanan Aceh, demikian kata Denys Lombard lagi.
Saya menyatroni Tanah Gayo, jantung daratan tinggi Aceh, persis seperti yang dikatakan sebuah sajak: “Pejalan yang melemparkan kompas dan mencabik-cabik peta!” Saya datang dengan meraba-raba, tanpa literatur yang memadai sebagai bekal mengenal daerah ini.
Di daratan tinggi Gayo, angin hampir tiap hari berkesiur, membawa dingin yang membekap tulang. Kadang berembus keras menampar-nampar dinding dan atap rumah, seperti gedoran pintu di malam buta. Kabut putih selepas subuh turun ke lekuk-lekuk lembah, menjalar sampai ke jendela rumah-rumah panggung bertubuh kayu. Hutan seperti merambat ke tiang-tiang rumah. Rumah-rumah tradisional berdinding papan yang berserakan di kaki dan pinggang Bukit Barisan. Rumah-rumah yang seolah menyembul dari masa silam.
Tanah Gayo terdiri dari tiga kabupaten yang luas, salah satunya Kabupaten Aceh Tengah. Ibu kotanya, Takengon, sangat berbeda dari kota-kota yang membentang di pesisir Aceh yang ramai dan sibuk. Takengon bertengger lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut dan dihuni bangunan-bangunan berwarna muram. Mengelilinginya dengan kendaraan menghabiskan waktu kurang dari satu jam.
Saya mendarat di Takengon ketika kabut menutupi jalan-jalan dan jendela bus kian buram. Pagi dimulai dengan lamban. Kota ini tidak menampakkan rutinitas yang padat. Pintu masuk hotel tempat saya menginap telah ditempeli label “dijual.” Ketika saya masuk, hanya satu kamar yang menampung tamu: kamar saya sendiri.
Takengon sedang dibalut kabut. Rumah-rumah menumpuk di sebuah cekungan dan hampir seluruhnya kompak menghadap ke sebuah danau di timur kota. Mereka menyebutnya Lut Tawar, laut yang tawar. Danau luas yang dikelilingi tebing-tebing hijau. Sebagian tebing itu setengah tandus dan berwarna abu-abu kecokelatan. Perpaduan warna cerah dan suram ini tampak menawan saat dipandang dari kejauhan.
Spanduk dan baliho kemeriahan Festival Danau Lut Tawar telah sobek oleh angin. Perlombaan perahu dayung, hingga tari didong yang sufistik, digelar bulan lalu. Lut Tawar bergairah ketika hari libur. Beberapa pengunjung dari daerah lain lazim berpelesir ke sini. Ketika hari libur, ada angkutan khusus untuk berwisata mengelilingi danau, menikmati keindahan airnya yang hijau dengan kabut yang berpendar di atasnya, dan pemandangan kebun kopi di sekeliling danau yang terlihat lebih menarik di musim panen.
Tepian danau ini sekarang hanya diisi oleh pemuda-pemuda yang kehilangan gairah atau kebingungan bagaimana mestinya mengisi petang, selain memancing ikan di samping keramba-keramba yang mulai menjamur. Sebuah perahu besar dengan mesin tempel berkarat tersandar di dermaga danau, seperti menunggu masa lapuk. “Ini untuk wisatawan asing mengelilingi danau, biasanya dulu digunakan,” kata Mahdi, pemuda yang kemudian membawa saya berkeliling Takengon.
Lut Tawar sepertinya tidak lagi masuk radar operator tur. Ia tertinggal begitu saja, atau mungkin sengaja ditinggalkan. Sampah berserakan di mana-mana. Pariwisata nyaris tidak menemukan bentuknya. Hotel-hotel sepi, resor absen. Padahal, Lut Tawar memiliki keindahan yang menjanjikan. Saya mencoba mengelilinginya dengan sampan kecil milik nelayan setempat. Perahu kecil ini bergoyang-goyang diayun riak danau.
Danau sunyi ini dikelilingi gundukan tanah yang ditanami pohon kopi. Ke mana pun mata diarahkan, pohon-pohon kopi tampak. Hanya sebagian kecil daratan yang ditanami padi. Wajar saja bila masyarakat setempat terpaksa membeli beras dari daerah lain. “Bayangkan, semua yang kami makan dan kami pakai, didatangkan dari daerah lain. Beras diangkut dari Banda Aceh, dan kelapa tidak satu pun tumbuh di sini. Bukankah itu menyedihkan?” kata Aman Tabrani sembari mengelus-elus kepala kuda.
Takengon, kota kecil peninggalan pemerintah kolonial yang baru dibangun pada abad ke-20, memang menyimpan banyak cerita sedih. Daerah Gayo yang baru ditundukkan pada 1903 melalui pertempuran berdarah, diperkirakan telah kehilangan paling tidak seperempat dari lelakinya pada periode itu. Setiap tempat mempunyai sejumlah pahlawan yang mati sahid, juga kenangan pahit tentang rumah-rumah yang dibakar, ternak yang dibantai, dan hukuman-hukuman denda yang harus dibayar ketika serdadu-serdadu Belanda lewat. Inilah gambaran dari Anthony Reid dalam The Blood of the People.
Setelah Dataran Tinggi Gayo ditaklukkan, Takengon dibangun menjadi kota transit perdagangan, khususnya untuk komoditas kopi. Lumbung-lumbung kopi kolonial pertama didirikan di Takengon setelah seluruh dataran tinggi Aceh ditaklukkan. Barangkali Belanda melihat potensi Dataran Tinggi Gayo yang topografinya cocok untuk kopi. Siapa yang menyangka kalau tumbuhan asing dari Afrika itu kini telah menjadi komoditas tempat ribuan nyawa menggantungkan harapan. Indonesia merupakan satu dari empat negara utama penyuplai kopi arabika. Di Indonesia, dataran tinggi di tengah Aceh merupakan salah satu pemasok tersuburnya.
Dalam kisah emas hitam ini, jejak perlawanan terhadap pemerintah kolonial tetap tinggal di hati orang-orang Gayo, sekalipun negerinya telah ditaklukkan. Reid kembali mencatat, pada 1925, seorang propagandis di pegunungan Gayo berbicara tentang penghancuran kompeni Belanda di seluruh Aceh dan Sumatera, membebaskan orang-orang, dan menghapuskan pajak. Banyak orang Aceh menyambut seruan itu. Di bawah raja-rajanya sendiri, mereka hampir tidak pernah membayar pajak. Yang mereka bayar paling cukai atas ekspor-impor. Ketika pemerintah kolonial secara paksa menaklukkan dan menerapkan pajak yang tinggi, memaksa mereka menanam kopi, dan menjual hasilnya ke pengumpul utusan pemerintah dengan harga murah, otomatis warga memberontak. Tapi pemberontakan itu berkali-kali patah. Delapan tahun kemudian, Tanah Gayo kembali bergolak oleh perang suci yang juga gagal.
Jika Takengon adalah pusat penampungan kopi, lalu di mana sentra-sentra penghasilnya? Jawabannya adalah kampung-kampung penghasil kopi yang tersebar di Dataran Tinggi Gayo.
Saya meninggalkan Takengon pada sore hari yang dingin. Kabut mulai merambat ke perkampungan. Kabut sepertinya tak pernah pergi dari sini. Mobil yang saya tumpangi kembali menikungi deretan gunung Bukit Barisan, menuju kampung-kampung produsen kopi yang terpencar di lereng dan lembah hijau yang berlapis-lapis. Kampung-kampung yang setiap hari menguapkan aroma kafein yang memanjakan hidung.
“Singgahlah, kalau hanya alasannya kopi. Kami masih punya kamar kosong buat tamu,” sapa seorang perempuan. Suaminya mengangguk, mempersilakan saya menginap di rumah mereka yang dikelilingi pokok-pokok kopi, sebagaimana rumah-rumah lainnya di sini yang terlihat samar di antara rimbun kebun kopi.
Rita, perempuan 30-an tahun itu, menyanggul rambutnya, menyerupai Cut Nyak Dien dalam film yang diperankan Christine Hakim, lalu mengenakan kerudung seadanya. Wanita di sini akan menatap lurus tanpa basa-basi pada lawan bicara. Angin kering menggoyang kerudung Rita. Terik matahari dan dinginnya cuaca membuat pipinya memerah. Sebelum petang merembang di ufuk, perempuan ini telah selesai mandi, memandikan anaknya, menanak nasi, memberi makan ternak, dan memoles pipinya dengan bedak seadanya.
Setelah itu, Rita duduk santai di balai-balai rumah seraya menatap surya yang perlahan menyusut dan membiarkan sinarnya menerangi daun-daun kopi, sementara suaminya datang dengan pakaian penuh keringat dan bau matahari yang mengering di baju. Rita bergegas ke bagian belakang rumah, lalu kembali dengan bakul berisi kopi panas. Dua orang bocah datang menghampirinya dan bercerita tentang baju sekolah yang sobek, buku baru yang hendak dibeli, dan entah apa lagi. Kadang mereka berbicara dalam bahasa yang sulit saya pahami. Selain bahasa mereka yang berbeda dengan bahasa Aceh, dialek mereka lebih cenderung datar dibanding dengan orang Aceh yang naik-turun.
“Ah, itu perkara mudah. Lihat, tak berapa lama lagi warna hijau pada kopi itu akan berubah menjadi merah,” katanya mengakhiri pembicaraan dengan anak-anaknya. Rita kembali masuk, lalu keluar membawa handuk untuk suaminya yang berbadan tegap. Petang kian rembang, tapi suara azan magrib tidak sampai, sebagaimana razia syariah yang tidak pernah diberlakukan di sini. Saya berjalan keluar, menuju desa lain dalam gelap dan samar, melewati jalan-jalan kecil penuh kabut pekat dan dedaunan kopi.
Di sebuah warung di Desa Wih Masin, saya singgah di satu siang. Warung kopi dan warga Gayo nyaris tak bisa dipisahkan. Warung kopi, seperti kafe dalam masyarakat Prancis, menjadi tempat lalu-lintas informasi, wadah kesetiakawanan sosial dipelihara dan wacana dikembangkan.
“Bagaimana rasa kopi di sini, Tengku?” saya bertanya pada seorang pria tua di kedai, penasaran dengan cita rasa kopi di tanah Gayo ini. “Coba saja, kau akan tahu jawabannya,” jawab Aman Noerdin yang kerap disapa Tengku. Di usia 80 tahun, sang Tengku telah mengalami periode pasang surut kopi sejak zaman kolonial. Dia hanya menjajaki dunia luar waktu naik haji. Selebihnya, hidupnya dihabiskan di Dataran Tinggi Gayo dengan memimpin pengajian serta bertanam kopi.
“Tapi saya sendiri tidak tahu rasanya seperti apa,” ujar Tengku lagi. Pemilik warung menghadiahi saya secangkir kopi panas untuk diseruput. Tak berapa lama, seorang perempuan paruh baya mengangkut sebakul kopi, kemudian menggoreng biji-biji kopi dengan tungku dan kayu bakar seadanya di pelataran warung. “Inilah yang kami minum setiap hari,” sela pria tua lain. Tiap lelaki dewasa di Tanah Gayo dipanggil dengan sebutan “Aman”, disusul nama anak lelaki sulungnya. Metode sapaan yang persis sama berlaku untuk lelaki suku dewasa di Kepulauan Mentawai sana. “Kami tidak meminum kopi dari kebun sendiri,” tandas lelaki tua lainnya.
Mereka hidup di tengah ribuan hektare kebun kopi arabika, tanpa mengetahui rasa kopi itu. Di tanah yang menghasilkan 50-60 ribu ton biji kopi arabika per tahun, daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, yang kopi-kopinya diekspor hingga Eropa dan Amerika, penduduk aslinya justru tidak mengonsumsi kopi jenis ini. Mereka rupanya lebih menyukai robusta, jenis pohon kopi berdaun lebar dengan biji yang cenderung jauh lebih kecil dan kadang tumbuh liar di tebing dan lereng perbukitan. “Kami menghirupnya sembari tertawa,” sanggah lelaki tua lain di warung. Matahari beranjak ke barat, kilaunya kembali memercak di daun-daun kopi.
“Beginilah hari-hari yang kami lalui kalau tidak sedang masa panen; bermalas-malasan seperti kuda di bawah rumpun bambu sambil mengibas-ngibaskan ekor,” kata Tengku. Semua yang menyimak kontan tertawa. Hanya saya yang terdiam, belum mengerti sepenuhnya maksud analogi sang Tengku.
Masa panen berlangsung selama dua bulan, kemudian delapan bulan berikutnya para petani harus menunggu kopi kembali berbuah. “Nah, selama delapan bulan itu, orang Gayo tak ubahnya seperti kuda di bawah rumpun bambu: duduk, makan, tertawa, dan minum kopi,” jelas Tengku menawar kebingungan saya.
“Dulu, kopilah yang membuat mereka (wisatawan) datang ke sini. Hanya itu,” kata Aman Faisal. Lelaki perantau ini sesungguhnya lebih tertarik menggunakan kopi sebagai bagian dari upaya memperkenalkan Tanah Gayo ke dunia luar. Berbekal cairan kafein pula, Aman yang satu ini berhasil menyembuhkan beberapa pecandu narkoba. “Kopi punya candu tersendiri,” ungkapnya, “setidaknya kopi bisa mengalihkan orang dari jenis candu yang lain.”
“Sejak operasi keamanan, tidak ada lagi wisatawan yang datang ke sini,” Aman Faisal menurunkan nada bicaranya. Lelaki Gayo paruh baya ini telah mudik dari perantauan. Perang saudara memang telah menghancurkan segalanya, pembangunan kota nyaris terhenti, dan ekonomi luluh-lantak, termasuk sektor pariwisata. Di masa mudanya, Aman Faisal adalah seorang pemandu turis asing. Sejak Aceh diberi status Daerah Operasi Militer, dia bermigrasi ke Jawa. “Saat itu, tidak sejengkal tanah pun yang aman di Aceh,” kenangnya.
Setelah negeri ini aman, tibalah saatnya memulai membenahi pariwisata. Tapi pariwisata yang mana? Gayo punya lembah dan rentetan gunung yang hijau dan dipenuhi kopi, ditambah kuda-kuda pacu dan danau biru yang memesona sekaligus merana.
Orang Gayo memiliki tradisi berkuda. Penghormatan atas kuda masih kental terasa. Kenangan akan kuda-kuda yang dipacu mengingatkan masyarakat pada sejarah para pendahulu yang berperang mengusir kaum penjajah dari Sumatera. Kuda adalah mesin perang yang tangkas, di samping sebagai pengangkut karung-karung kopi. Kuda dan kopi adalah metafora setempat sebagai pengganti “sendok dan garpu.”
Kuda-kuda Gayo memang tergolong berpostur kecil, berbeda dari kuda-kuda yang didatangkan dari daerah lain, mulai dari kuda Padangpanjang asal Sumatera Barat hingga kuda Arab yang semampai. Setiap memperingati hari kemerdekaan, ratusan kuda dan joki ambil bagian di arena terbuka. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah uang taruhan beredar di gelanggang pacuan. Ini momen yang ditunggu-tunggu saban tahunnya. Gelanggang pacu kuda dengan taruhan ratusan juta? Tidakkah itu menyalahi hukum syariah?
“Walau bagaimana pun, tradisi ini sudah lama,” kata Aman Tabrani. Dia berbicara tentang tradisi yang mendahului penerapan hukum syariah. Pun di Gayo, aturan syariah tidak begitu secara ketat diterapkan, berbeda dari kota-kota pesisir Aceh. Kendati begitu, kita tetap akan susah menemukan warung yang menjual bir atau arak, dan di sepanjang jalan sulit mendapati perempuan dengan rambut terurai. Gadis-gadis di sini lebih suka memakai celana jin sempit yang membalut hingga mata kaki. “Razia syariah tidak begitu diberlakukan di Gayo,” timpal Aman Tabrani.
Di pasar-pasar, sektor perdagangan diisi oleh orang-orang Minang. Masyarakat yang satu ini memang tersohor sebagai pedagang yang ulung sejak dulu. Orang Aceh juga ada yang berniaga, tapi orang Gayo umumnya menjauhi bidang ini, kecuali untuk berdagang hasil kebun. “Mereka lebih suka bertanam kopi atau menjadi PNS,” kata Sidi Tandun.
Saya datang ke Takengon disambut kabut, dan kini saya dilepasnya juga dengan kabut. Aroma kopi Gayo masih berbekas di hidung. Cita rasanya juga masih tersisa di lidah. Kopi Gayo yang terkenal, dengan kekentalan yang lebih ringan, keasaman seimbang, tetapi memiliki berbagai cita rasa, mulai dari rasa cokelat, tembakau, asap, tanah, hingga kayu. Penghasil kopi terbesar di negeri ini yang justru terpinggirkan.
PANDUAN
Rute
Dataran Tinggi Gayo terletak di tengah Provinsi Aceh. Takengon, salah satu kota di sini, berjarak sekitar 400 kilometer dari Banda Aceh dan dapat ditempuh se-lama tujuh jam ber-kendara. Salah satu operator yang melayani rute ini adalah Ayu Dika Tour (0813-7717-7647/0852-7040-6647; tiket Rp100.000 satu arah). Mobil-mobilnya berangkat pada pagi dan malam hari. Penerbangan ke Banda Aceh dilayani antara lain oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Medan, serta Lion Air (lionair.co.id) dari Medan dan Jakarta.
Penginapan
Pariwisata di Gayo belum berkembang. Pilihan akomodasi sangat minim. Hotel bintang dua Renggali Hotel (Jl. Takengon Bintang No. 20; 0643/21144; doubles mulai dari Rp250.000) yang terletak di bibir Danau Lut Tawar menawarkan panorama terbaik, walau kondisi interiornya relatif memprihatinkan. Sekitar satu kilometer dari properti ini terdapat restoran terkenal yang menyediakan menu utama ikan bakar.
Aktivitas
Becak motor di Takengon bisa mengantarkan Anda berkeliling kota atau Danau Lut Tawar dengan tarif sekitar Rp250.000 per hari. Tiap Mei, pemerintah setempat mengadakan Festival Danau Lut Tawar yang menyuguhkan berbagai perlombaan, seperti pacu perahu, berkuda, hingga berbagai kesenian daerah. Obyek lain yang menarik adalah Gua Putri Pukes di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan. Gua ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya sosok mitologis Putri Pukes yang cantik jelita. Ajang pacu kuda di Takengon diadakan dua kali per tahun, salah satunya di Agustus guna memperingati hari kemerdekaan RI. Untuk mengunjungi kampung-kampung penghasil kopi di perbukitan Gayo, sewa mobil di Takengon.
Diterbitkan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2013.(Main Feature: “Filosofi Gayo”)