by Yohanes Sandy 24 October, 2016
Wisata di Krakow, Silicon Valley Versi Polandia
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Muhammad Fadli
Krakow menatap masa lalu dan masa depan dalam waktu yang bersamaan. Pernah berstatus pusat politik Kerajaan Polandia selama 500 tahun, Krakow lazim dijuluki “Kota Para Raja.” Sekarang, kota ini berambisi melompat jauh ke depan dengan menjadi “Kota Para Technopreneurs.” Hasilnya? Jukstaposisi yang janggal: Silicon Valley yang merekah di antara katedral dan kastel.
Saya datang di ujung musim dingin. Seperti kebanyakan turis, saya larut dan hanyut dalam keindahan bangunan-bangunan sepuh di kota ini. Rynek Glowny, alun-alun Abad Pertengahan terluas di Eropa, dinaungi sebuah basilika yang menjulang anggun. Di jantung alun-alun, terdapat sebuah pasar megah yang sudah beroperasi selama tujuh abad sampai-sampai distempel “mal tertua sejagat.” Semuanya bagian dari kompleks Kota Tua yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia.
Tahun lalu, Krakow disambangi oleh lebih dari 10 juta turis. Sebagai destinasi wisata, kota elok yang dibelah Sungai Vistula ini memang punya banyak amunisi untuk membius mata: 42 taman, 120 gereja, 28 museum dan galeri. Tapi Krakow tak mau sekadar menjadi magnet pelancong. Sejak 2008, kota ini berikhtiar mengembangkan industri berbasis teknologi. Ia berniat menggali sumur uang baru untuk menjamin masa depannya, sebab masa depan, suka atau tidak, turut dibentuk oleh mereka yang meracik peranti dan aplikasi.
“Beberapa tahun silam, tak seorang pun membayangkan firma asal Polandia sanggup menembus Silicon Valley,” ujar Presiden Bronislaw Komorowski pada akhir 2013. “Kini, kami sepatutnya memiliki mimpi yang berbeda… mimpi mendirikan Silicon Valley di Polandia.” Mimpi itulah yang tengah dirajut di Krakow. Sekitar 50 perusahaan teknologi multinasional telah menancapkan perwakilannya di kota ini, sebut saja ABB, Motorola, General Electric, dan Hitachi. Kita juga bisa menemukan cabang divisi riset Samsung, markas produsen perangkat lunak Comarch, serta laboratorium IBM.
Bagaimana Kota Para Raja ini berubah menjadi Kota Para Technopreneurs? Apa sebenarnya modal Krakow untuk menggapai mimpinya? “Manusia,” jawab Szymon Gatlik, Chief Specialist Tourism Marketing Pemkot Krakow. “Krakow mengoleksi banyak kampus berkualitas. Di sini terdapat sekitar 200.000 mahasiswa, dengan 30.000-40.000 orang di antaranya mengambil jurusan teknik.”
Sebagaimana kastel dan katedral, kampus adalah bagian integral dalam sejarah Krakow. Kota ini sudah dikenal sebagai sentra akademis Eropa Tengah sejak berabad silam. Salah satu kampusnya yang paling legendaris adalah Jagiellonian. Didirikan pada 1364 oleh Raja Casimir Yang Agung, Jagiellonian adalah universitas tertua kedua di Eropa Tengah setelah Charles University di Praha, tapi ia yang pertama yang menawarkan jurusan astronomi dan matematika. Mungkin itu sebabnya Copernicus memilih “nyantri” di Jagiellonian untuk mempelajari konstelasi Bima Sakti sekaligus menjawab pertanyaan fundamental kala itu: siapakah pusat tata surya—bumi atau matahari?
Peran Krakow dalam membentuk tradisi intelektual Eropa itu berlanjut hingga kini. Mengoleksi lebih dari 20 perguruan tinggi, kota ini kerap disejajarkan dengan Boston. Di Indonesia, kita mungkin bisa menyandingkannya dengan Yogyakarta atau Bandung. Kehadiran banyak kampus dan mahasiswa jugalah yang membuat Krakow terasa “muda.”
Lanskap kota memang didominasi oleh Kastel Wawel, tapi jalan-jalannya dihidupkan oleh barisan kafe dan bar. Tentu saja, sebuah kota pendidikan tak otomatis berbakat menjadi Silicon Valley.
Ekosistem yang kondusif mesti diciptakan guna memancing investasi dan menyemai startup—dan di titik inilah Pemkot Krakow piawai memainkan fungsinya sebagai regulator, fasilitator, juga inkubator. “Kami menciptakan Zona Ekonomi Khusus di mana investor bisa menikmati insentif pajak. Kami juga membangun Technology Park guna mewadahi perusahaan-perusahaan teknologi dan startup,” tambah Szymon.
Meninggalkan Szymon, saya kembali ke kawasan Kota Tua. Saya bertamu ke katedral, menyusuri taman-taman kota, berziarah ke permukiman kaum Yahudi, serta melawat lokasi syuting film Schindler’s List. Malam harinya, saya melebur dalam kemeriahan di
Rynek Glowny dan menyaksikan betapa mesin ekonomi Krakow sedang bergulir kencang. Beberapa tahun silam, alun-alun ini steril dari invasi merek-merek waralaba. Sekarang, kita bisa menemukan kedai Starbucks dan butik Zara di dekat bekas kediaman Roman Polanski. Di sini pula, kantor riset Google bertetangga dengan Red Light District. “Gentleman, do you know what time is it?” tanya seorang remaja dalam busana priayi di tengah alun-alun. “It’s time to go to our strip club!”
Tempat paling menarik yang saya temukan di alun-alun—selain strip club—adalah Rynek Underground, museum bawah tanah yang mendedahkan sejarah kota melalui beragam layar interaktif, diorama, serta artefak. Di luar suguhannya yang menghibur, misalnya kerangka yang konon milik almarhum vampir, Rynek Underground memperlihatkan betapa Krakow sejatinya sebuah bandar yang mengemban peran vital sejak masa silam. Kota di selatan Polandia ini merupakan titik transit utama dalam jalur lalu lintas manusia dan logistik yang membentang dari barat Eropa menuju Laut Hitam.
Status geopolitik itu jugalah yang menyelamatkannya dari kehancuran Perang Dunia II. Saat Nazi menyapu Polandia, Krakow tidak dilumat, tapi justru ditetapkan sebagai markas kantor regional Gestapo berkat posisinya yang strategis. Kemudian, ketika Uni Soviet balik menyerang Nazi, Krakow tetap utuh dari terjangan rudal. Bagi turis, fakta itu disambut senyuman: mayoritas bangunan tua di Krakow masih orisinal. Tapi bagi pelaku bisnis, hikmah yang patut dipetik adalah: Krakow tidak boleh dinafikan jika ingin merambah Eropa Tengah.
Di Eropa Tengah saat ini, bagi seorang “geek,” Krakow adalah habitat yang ramah untuk memulai usaha atau memupuk portofolio. Upah staf junior di perusahaan teknologi sekitar $1.000 per bulan, angka yang lumayan mengingat apartemen tipe studio bertarif $250 per bulan dan kuliner lokal seperti sup dumpling dihargai $3 per mangkuk.
“Standar gaji di perusahaan-perusahaan teknologi cukup tinggi. Karena itu banyak remaja tidak berpikir untuk bekerja di kota lain,” ujar Aleksander Smywiński-Pohl, dosen jurusan Teknologi Informasi di Universitas Jagiellonian. Aleksander, yang sudah 15 tahun menetap di Krakow, adalah bagian dari generasi awal technopreneur. Di siang hari, dia mengajar para mahasiswa yang bermimpi menjadi Mark Zuckerberg atau Jack Ma, sedangkan di waktu luangnya, dia mengelola dua perusahaan startup.
Mengandalkan warisan masa lalunya, Krakow ajek mendulang jutaan turis. Bagi masa depannya, kota ini berharap pada kreativitas dari dunia teknologi. Buah dari perpaduan dua sektor itu mulai tampak. Tahun lalu, tingkat pengangguran di kota ini hanya lima persen, separuh dari rata-rata nasional. Berkat berlimpahnya pasokan tenaga terampil, Krakow juga bertengger sebagai destinasi outsourcing nomor satu di Eropa versi lembaga Tholons.
“Peluang usaha terbuka lebar di Krakow,” ujar Robert Siemiński, salah seorang penghuni HubRaum, co-working space yang menampung sekitar 40 pelaku startup. Layaknya kota yang berkiblat pada bisnis berbasis teknologi, Krakow memiliki banyak co-working space, yakni kantor komunal yang menawarkan tarif sewa terjangkau dan peluang membangun jejaring. Di tempat inilah pengusaha muda seperti Robert mendaki tangga mimpinya.
Robert, pria asli Krakow, adalah spesimen klasik Silicon Valley: remaja yang meninggalkan bangku kuliah di tengah jalan demi merintis startup. Perusahaan miliknya, TurboTranslations.com, menaungi 117 penerjemah dan menawarkan jasa transliterasi ke tujuh bahasa. “Silicon Valley sudah berkembang cukup lama di Amerika Serikat, sementara Krakow baru membangun ekosistemnya,” tambah Robert. “Tapi saya tidak berpikir untuk hijrah ke kota lain.”
Saat saya temui, wajah Robert tengah lesu.“Sudah dua hari tidak tidur,” ungkapnya. Bersama sekitar 100 orang rekan sejawatnya, Robert menggarap solusi bagi masalah polusi. Krakow sudah lama didera problem pencemaran udara akibat maraknya penggunaan batu bara, hingga European Environmental Agency menetapkannya sebagai kota dengan tingkat polusi terparah ketiga di Eropa.“Kami sedang menggarap aplikasi yang bisa melaporkan kadar polusi di banyak titik secara simultan, jadi kita bisa tahu lokasi mana yang paling kronis,” jelas Robert.
Di zaman ketika kaum geek mendominasi panggung bisnis, Krakow melihat industri teknologi sebagai peluang untuk mengembalikan kejayaannya. Tapi bagi Robert dan kawan-kawannya, geek bukan semata motor ekonomi, melainkan juga aktor perubahan.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Krakow dilayani antara lain oleh Lufthansa (lufthansa.com), KLM (klm.com), dan Etihad (etihad.com). Dari Warsawa, Ibu Kota Polandia, Anda bisa menjangkaunya dengan kereta selama 150 menit.
Penginapan
Salah satu penginapan dengan lokasi strategis, Kossak hotel (Plac Kossaka 1; 48-12/3795-900; hotelkossak.pl; doubles mulai dari Rp2.000.000) berada di dekat Sungai Vistula, menawarkan panorama Kastel Wawel dari jendelanya, dan berjarak hanya 10 menit berjalan kaki dari kawasan Kota Tua, episentrum pariwisata Krakow.
Informasi
Kompleks Kota Tua masih menjadi magnet wisata utama. Objek andalannya antara lain basilika, kastel, alun-alun, serta yang terbaru, Rynek Underground, museum yang mendedahkan sejarah kota. Kunjungan ke Kota Tua galibnya dirangkai dengan tur ke Distrik Kazimierz untuk melihat sinagoge, bekas rumah Helena Rubinstein, serta lokasi syuting Schindler’s List. Informasi seputar tempat wisata bisa disimak di situs Pemkot Krakow (krakow.pl/english). Bercita-cita menjadi Silicon Valley, Krakow menggelar banyak ajang bertema teknologi, misalnya Code-Camp dan Academic IT Festival. Untuk mengenal komunitas startup, ketik #OMGKRK di Twitter.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2016 (“Kota Dua Masa”).