by Yohanes Sandy 22 February, 2013
Wisata Golf di Asia
Oleh Paul Myers
Sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi untuk memahami golf. Bagaimana pria dan wanita bisa jatuh hati pada sebuah permainan yang diciptakan di pedalaman Skotlandia 500 tahun silam ini. Bagaimana mereka rela bersabar dan frustrasi untuk menekuninya. Dan bagaimana para pegolf rela mengangkut perlengkapan seberat 20 kilogram ke pojok-pojok dunia walau mereka sebenarnya bisa bermain di kampung halamannya.
Ada 10 juta turis golf—sepersepuluhnya kerap menjelajahi Asia—yang bisa menjawab kebingungan tersebut. Layaknya bola golf yang melambung tinggi, wisata golf di Asia sedang menikmati pamor yang meningkat.
Potensi laba miliaran dolar menjadikan wisata golf primadona di mata pemerintah, departemen pariwisata, operator tur, maskapai, dan investor hotel. Potensi itu terus tumbuh dengan persentase dua digit per tahun. Tak banyak sektor wisata yang mampu menyamainya.
Wisata golf memikat turis berusia matang dan mapan. Golongan ini berkunjung dalam durasi lama dan biasanya menghabiskan uang tiga kali lebih banyak dari turis reguler. Mereka adalah wisatawan berkantong tebal dan loyal.
Asia saat ini memiliki kurang lebih 1.500 lapangan golf. Mayoritas berstandar internasional dan terletak di pusat wisata ketimbang kota-kota besar. Itu sebabnya International Association of Golf Tour Operators (IAGTO), yang selama ini fokus pada belahan bumi bagian utara, mulai melirik Asia. Bersama 2.000 anggotanya, mereka mulai membuka pintu ke kawasan ini. April 2012, untuk pertama kalinya, organisasi yang bermarkas di London itu menggelar konvensi di Asia, persisnya di Kuala Lumpur. Konvensi kedua dijadwalkan berlangsung dari 29 April-2 Mei 2013 di Pattaya, Thailand.
CEO IAGTO, Peter Walton, mengunjungi sejumlah kota di Asia dalam waktu dua tahun belakangan dan mulai mengalihkan jalur turis golf ke wilayah ini. Diperkirakan, pada 2020, dua juta turis golf—lebih dari separuhnya dari belahan dunia lain—akan mampir ke Asia.