by Christopher P. Hill 08 April, 2013
Wilayah dengan Sejuta Keindahan Alam di Selandia Baru
Saya mengikuti jalur trem yang telah mati menuju Christchurch Botanic Gardens. Disemai pertama kali pada 1863, hampir bersamaan dengan momen finalisasi desain Christchurch Cathedral oleh arsitek George Gilbert Scott, kebun itu sekarang lebih mirip ruang pelarian. Berada di tengah pohon-pohon tua nan eksotis (lebih tepatnya, impor), contohnya beech, yew, dan ek, serta pohon lokal semacam pakis dan kayu putih, Anda mungkin bakal lupa atas segala masalah yang menghantui kota. Perasaan yang sama akan muncul saat menyaksikan pendayung sampan dari Antigua Boat Sheds menyusuri Sungai Avon di taman yang dinaungi pohon willow.
Sampan, ruang minum teh, dan arsitektur Gothic Revival, Christchurch mempresentasikan sosoknya sebagai kota yang bercorak “paling Inggris” dibandingkan kota-kota Selandia Baru lainnya. Saat menuju Museum Canterbury guna menggali sejarah daerah ini, saya justru terlempar ke masa kini, atau setidaknya masa lalu yang belum betul-betul silam. Pameran “Canterbury Quakes” menyuguhkan secara general bekas-bekas luka seismik akibat gempa di September 2010, peristiwa yang menyadarkan warga untuk pertama kalinya bahwa mereka hidup di garis patahan. Sebagian besar isi pameran mengulas gempa yang terjadi di Februari 2011. Salah satu artefak memilukan yang ditampilkan adalah salib setinggi tiga meter yang jatuh dari puncak menara Christchurch Cathedral. Yang tersisa hanyalah tembaga bengkok dan kayu pecah.
Tak afdal berwisata di Selandia Baru tanpa mencicipi pondok-pondoknya. Untungnya, bagi saya, ada satu yang berjarak cukup dekat: Otahuna, rumah buatan 1895 yang terletak di pedesaan Tai Tapu, 20 menit berkendara dari Christchurch. Lokasi menjadi daya tariknya: sebuah bukit kecil di lembah yang menghadap kawasan subur Canterbury Plains. Dari beranda suite di lantai atas, pemandangan Alpen Selatan terpampang. Kamar saya juga sangat mewah, kreasi interior apik yang diotaki oleh pemilik properti saat ini, Hall Cannon dan Miles Refo, rekanan asal Amerika. Pada 2007, keduanya membeli sebuah aset kumuh, lalu merombaknya bermodalkan dana sekitar US$10 juta.
Sebagian besar elemen orisinal Otahuna—panel kayu kauri yang mengilat, wallpaper William Morris yang bertekstur—telah susah payah direstorasi, begitu pula kebun-kebun bergaya Edward dan hutan-hutan lengang yang mengelilinginya. Saat berkelana di lahan seluas 12 hektare, saya bertemu salah seorang tukang kebun pondokan. Lengannya dipenuhi sayuran yang dipetik dari potager organik. Di sini juga ada kebun apel dan kuins, serta root cellar untuk menumbuhkan jamur.
Usai menyegarkan tubuh, saya bergabung dengan Hall dan Miles untuk makan malam di ruang makan formal. Di hadapan salmon seviche bertaburkan badam yang dipanen dari kebun, ditambah sirloin dari daging sapi lokal, keduanya bercerita sekelumit tentang sejarah propertinya—Duke of York dan Raja George VI pernah menginap di sini pada 1927 saat pondokan ini dipakai untuk banyak acara dan fungsi, mulai dari seminari, komuni, hingga B&B—disambung trajektori karir Hall dan Miles dari dunia real estat New York dan pemasaran. “Kami ingin mengubah hidup kami, caranya dengan mengelola sebuah retret kelas premium di bagian dunia yang sama sekali berbeda,” ujar Hall.
“Opsinya waktu itu Selandia Baru atau British Columbia,” tambah Miles. “Kami akhirnya memilih Selandia Baru.”
Ketika saya mengutarakan bahwa saya berasal dari Pulau Vancouver di lepas pantai barat Kanada, Hall berujar, “Ya! Kami mempertimbangkannya juga. Antara Pulau Vancouver atau di sini, tapi Pulau Vancouver agak terlalu terpencil.”
“Kami akhirnya mendapatkan dua hal terbaik,” sela Miles. “Lokasi yang menakjubkan dan akses yang gampang ke kota.” Dia berhenti sejenak. “Tentu saja, itu sebelum gempa bumi.” >>