by Putu Sayoga 07 June, 2018
Warna dan Tawa Parade Samanera
Oleh Putu Sayoga
Poy Sang Long sejatinya sebuah upacara yang sakral. Tapi berkat kemasannya yang meriah, ia pun merekah jadi semacam festival yang rutin memikat turis. Memakan waktu tiga hingga lima hari, prosesinya melibatkan parade jalanan dan kostum kaya warna, menyuguhkan hiburan dan aneka jajanan, mendulang tawa dan air mata bahagia. Saya menyaksikannya pada awal tahun ini di Mae Hong Son.
Sore baru saja tiba saat saya mendarat di Wat Pang Lor, sebuah kuil yang bersemayam di Mae Hong Son, sekitar 900 kilometer di utara Bangkok. Suasana masih lengang, tapi kuil sudah semarak oleh hiasan aneka warna. Seorang pria menyapa saya dengan bahasa Thailand hingga membuat saya kebingungan harus menjawab apa. Beruntung ada Napat Tika, teman perjalanan saya yang berasal dari Chiang Mai. Usai menjelaskan maksud kedatangan, kami pun dipersilakan untuk memasuki kuil dan menanti upacara dimulai. Tidak lama berselang, warga mulai berdatangan.
Poy Sang Long digelar tiap Maret atau April oleh warga etnik Shan yang mendiami kawasan dataran tinggi di perbatasan Thailand dan Myanmar. Selain di Mae Hong Son, upacara ini dilangsungkan di Chiang Mai. Ibarat Ospek di pesantren, Poy Sang Long diperuntukkan bagi anak-anak berusia tujuh hingga 14 tahun yang akan mempelajari kehidupan sebagai biksu. Para samanera ini didandani menor, dibungkus pakaian yang sarat ornamen, kemudian diarak keliling kota—ritus yang mengenang pengembaraan Siddhartha Gautama saat mencari pencerahan.
Pada hari pertama, puluhan peserta berkumpul di kuil untuk berdoa, digunduli, kemudian dimandikan. Kelar tahap ini, mereka tak boleh menginjak tanah. Bocah-bocah plontos ini kemudian digendong ke dalam kuil untuk bersembahyang. Setelahnya, mereka diizinkan pulang guna mempersiapkan upacara keesokan harinya.
Sebelum subuh, sekitar pukul tiga, saya kembali mengunjungi Wat Pang Lor untuk menyaksikan upacara hari kedua. Banyak orang datang lebih dini. Sebagian memainkan musik tradisional yang membuat kuil terasa semarak. Di interior kuil, para peserta dirias oleh para kerabat dan keluarga mereka. Mereka mengenakan baju warna-warni yang dipercantik banyak perhiasan hingga terlihat layaknya pangeran.
Di tahap berikutnya, para peserta berdoa di bawah pimpinan biksu senior, kemudian diarak menuju kuil-kuil yang berserakan di Mae Hong Son. Atmosfernya sangat meriah. Alunan musik tak putus mengiringi rombongan. Usai berziarah, mereka kembali ke Wat Pang Lor untuk membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Saya sempat bertamu ke rumah salah seorang peserta di Desa Baan Mar, sekitar 15 menit berkendara dari kuil. Saya dijamu masakan lokal, sementara sang anak didandani kembali untuk tahap upacara berikutnya.
Tepat pukul empat sore, gamelan ditabuh dan para keluarga kembali mengarak anak-anak berkeliling desa untuk mengunjungi kerabat mereka seraya meminta doa dan restu. Meski dikhususkan bagi anak-anak, Poy Sang Long sejatinya melibatkan partisipasi dari ratusan orang. Dua jam kemudian, para peserta pulang ke rumah, di mana mereka akan kembali menjumpai banyak tamu yang datang untuk mendoakan mereka.
Hari terakhir upacara dimulai saat mentari baru terbit. Para peserta berbaris di jalan di depan Wat Pang Lor, kemudian berparade keliling kota dengan iringan musik dan ratusan peziarah. Saya bergabung dalam pawai meriah yang berlangsung sekitar dua jam ini. Layaknya pemenang medali emas Olimpiade, para peserta disambut segenap warga di sepanjang rute perjalanan.
Rampung parade, prosesi dilanjutkan di Wat Pang Lor. Semua dandanan dan pakaian peserta dilucuti, kemudian diganti jubah jingga kasaya—proses yang melambangkan transisi dari kenikmatan duniawi menuju kesederhanaan spiritual. Tahap ini sekaligus menutup Poy Sang Long. Setelahnya, seluruh peserta akan menetap selama beberapa minggu di kuil untuk mendalami ajaran Buddha.
Putu Sayoga
Putu Sayoga, salah seorang pendiri kolektif Arka Project, lahir dan menetap di Bali. Karya-karyanya pernah diterbitkan di beragam media, termasuk The New York Times, GEO, Monocle, dan GQ Japan. Pada 2016, fotografer travel dan dokumenter ini menggelar pameran solo bertajuk Fragile Coast yang menyoroti gencarnya pembangunan di kawasan pesisir Pulau Dewata. putusayoga.net.