by Fatris MF 20 November, 2014
Wajah Buku Travel Kuno Buatan Indonesia
Jauh sebelum Jepang menjadi magnet, Barat telah lama memikat bumiputra. Demam lawatan ke Barat sepertinya dimulai sejak akhir abad ke-19 saat dr. A. Rivai meninggalkan Sumatera menuju Eropa, tapi sayang jurnalnya tak pernah sampai ke tangan kita dalam bentuk buku. Dokumentasi ekspedisi ke Barat pertama dibuat oleh Djamaluddin Adinegoro dalam bentuk empat jilid catatan perjalanan.
Adinegoro melawat ke Barat ketika kampungnya di Minangkabau digoyang gempa hebat. Padang Panjang dan Solok dikoyak berulang-ulang hingga luluhlantak. Sementara di pesisir, banjir hebat menggenangi Padang. Tidak lama kemudian, pemberontakan komunis meletus. Ketika kejadian-kejadian penting itu berlangsung, Adinegoro sedang di atas kapal yang membawanya ke Barat. Dia hanya sempat menuliskan keprihatinannya. “Betul malang rakjat Minangkabau,” tulis Adinegoro dalam Melawat ke Barat.
“Kitab ini ditoelis di kapal di tengah laoetan besar,” begitu catat Adinegoro dalam kisah yang direkamnya dari 1926 hingga 1929 itu. Bukunya yang dicetak pada 1930 merupakan antologi yang diterbitkan secara bersambung di koran Tanah Air. Dua dekade kemudian, Balai Pustaka menerbitkan ulang bukunya dan merangkumnya menjadi dua jilid saja. Bagian pertama berisi perjalanan dari Indonesia. Adinegoro bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok dengan menumpang kapal Belanda menuju Sabang, menyinggahi Singapura, Maladewa, Laut Merah, hingga menyeberangi Terusan Suez menuju Laut Tengah. Bagian kedua memuat kisahnya di Eropa: mengunjungi kota-kota di Prancis, lalu menyeberang ke Belgia.
Buku ketiga masih memuat kisahnya di Eropa: pengalaman memperdalam ilmu geografi di Utrecht, kartografi di Würzburg, dan geopolitik di Munich. Buku keempat diberi judul tersendiri, Kembali dari Perlawatan. Adinegoro mudik ke Indonesia via Italia. Dia membawa pembaca ke Mesir yang dihuni tanah jajahan Italia, Eritrea. Dari sana, dia singgah di India kala Gandhi sedang gigih membebaskan India dari kolonialisme.
Berbeda dari Parada, bahasa Adinegoro cenderung lebih puitis. Kalimat-kalimatnya panjang, tertata apik, dan dihiasi banyak metafora. Destinasi-destinasi wisata di sepanjang perjalanan mendapat proporsi ulasan yang lebih besar dan deskripsi yang lebih hidup. Selain menjadi wartawan dan penulis cerita perjalanan, Adinegoro merupakan seorang pengarang roman. Dua buah novelnya, Darah Muda dan Asmara Jaya, dianggap membawa pembaruan dalam konstelasi novel zaman kolonial.
Adinegoro umumnya menggambarkan Barat dalam sisi yang baik. Tentang Jerman, tempat dia belajar selama tiga tahun, Adinegoro menulis: “Negeri itu baik untuk orang belajar, dengan terbuka menerima setiap yang datang, dan tiap yang meninggalkannya akan bersedih hati.” Dia menampilkan Barat dengan penuh takjub, layaknya seorang anak jajahan yang terpukau. Memang ketakjuban kaum intelektual Indonesia pada Barat pada masa itu sedang menggejala, walau sebenarnya Ketertarikan mereka mengidap ambivalensi: benci pada Barat, namun juga hendak seperti Barat.
Dari karya Parada dan Adinegoro, kita menangkap stimulus yang bertujuan membangkitkan gairah orang Indonesia mengejar kemajuan negeri-negeri asing. Keduanya mafhum, kemajuan suatu bangsa mesti dicapai dengan cara belajar kepada bangsa lain yang telah lebih dulu maju—dan melawat adalah salah satu cara untuk membuka mata kita pada dunia.
1 Comment
by Ferdian Tanjung Mandahiling Koto
Seperti mirip kisah hidup saya, baru sekarang saya mendengar nama Adinegoro ini.
Namun saya merasakan lebih penderitaan Minangkabau dan Sumatera dikarenakan saya keturunan kerajaan Minangkabau dan tak dapat dipungkiri banyak penderitaan rakyat yang saya lihat dan rasakan di sekeliling saya. Di Arab dan Eropa hidup layaknya penduduk sana, saya selalu menolak penawaran warga negara sana karena masih banyak tanggung jawab yang perlu dibereskan di tanah air.