by Yohanes Sandy 30 September, 2015
Visi Baru Garuda Indonesia
Awal terjun ke dunia penerbangan?
Awalnya ingin masuk jurusan sipil di kampus, tapi melihat B.J. Habibie membangun pesawat, saya langsung terinspirasi untuk memilih jurusan teknik mesin. Kebetulan, usai menyelesaikan sekolah, Garuda perusahaan pertama yang memanggil. Saya termasuk pribadi yang selalu mengambil pilihan di kesempatan pertama.
Tantangan bekerja di maskapai yang berstatus BUMN?
Garuda sebelumnya sangat birokratis, dengan perilaku birokrat yang kental. Kami ingin mengubahnya menjadi perusahaan publik yang peduli pada servis. Di sini kami menjual ketepatan waktu, keamanan, dan tentunya, servis.
Makna predikat bintang lima?
Mendapatkan predikat bintang lima adalah sebuah pengakuan, dan kini kami harus membuktikan reputasi kami, serta menjaga dan mempertahankannya.
Agenda besar di 2015?
Jika sebelumnya berada di era customer-centric, sekarang kami mengarah ke era human-driven: mendorong pelanggan untuk dekat dengan kita. Di dunia penerbangan, konsistensi dari sebuah produk dan servis harus dijaga. Saat ini kami sedang memformulasikan Garuda sebagai maskapai yang tidak hanya menampilkan hospitality khas Indonesia, tapi juga Indonesian friendship. Kita tidak cuma memikirkan cara melayani, tapi juga memperhatikan kedekatan kita dengan customer. Tujuannya emotional engagement. Caranya dengan menanamkan mindset servis di semua kru dan menciptakan kultur servis yang paripurna.
Target di ajang World Airline Awards 2016?
Garuda sudah masuk daftar 10 maskapai terbaik. Kami ingin masuk tiga besar atau minimal lima besar. Bukan target yang mudah, karena semua maskapai berusaha memenangkan persaingan.
Ide di balik Garuda Explore?
Garuda Explore adalah bagian dari penguatan kami sebagai feeder yang menawarkan konektivitas untuk seluruh hub. Kami mendesain jaringan antara hub besar ke area-area terpencil. Dari Bali misalnya, turis bisa terbang ke Labuan Bajo atau Bima. Dari Medan, bisa ke Nias, Sabang, dan Meulaboh. Ada dua tujuan besarnya. Pertama, membantu pertumbuhan perekonomian di daerah. Kedua, membuka konektivitas untuk pariwisata.
Respons terhadap tragedi MH370?
Garuda sudah masuk standar International Air Transport Association (IATA) dan IATA Operational Safety Audit (IOSA). Semua standar global sudah kami penuhi. Safety bukan lagi kebutuhan, tapi kultur. Safety layaknya gunung es. Jika ada kejadian, lalu diurut ke belakang, akan ditemukan simpul penyebabnya. Tentunya, yang menjadi tolok ukur kami adalah incident rate.
Rencana pembangunan Museum Garuda?
Di usia 66 tahun, menurut saya Garuda cukup memberikan inspirasi, dan memang membutuhkan museum. Sudah ada rencana mendirikan museum, cuma saya belum bisa membeberkan akan seperti apa. Tapi akan segera diluncurkan.
Rute internasional baru?
Penerbangan ke Beijing baru ditambah. Nanti akan ada Denpasar-Shanghai. Untuk Eropa, saat ini Garuda melayani London dan Amsterdam. Kami juga mulai melakukan kalkulasi untuk membuka rute ke Frankfurt dan Paris. Tahun ini ada sembilan pesawat Boeing 777-300, dan tahun depan bertambah jadi 10. Kami rasa cukup untuk mengoperasikan penerbangan ke sana. Tahun lalu adalah tahun investasi untuk Eropa, dan tahun ini akan diperkuat. Salah satu cara yang efektif adalah mencari mitra melalui jaringan SkyTeam.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2015 (“Visi Baru Burung Biru”)