Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Vietnam Menyalip Indonesia dalam Hal Jumlah Turis. Kok Bisa?

Perairan Ha Long Bay, salah satu objek wisata terpopuler di Vietnam. (Foto: Revolt)

Mendengar kata Vietnam, kita mungkin hanya akan membayangkan situs warisan perang di Saigon, mi kuah pho di Hanoi, atau bukit-bukit karst Ha Long Bay.

Tapi itu dulu. Mungkin 30 tahun silam. Kini, kondisinya sudah jauh berubah. Vietnam sekarang menawarkan lebih banyak lokasi wisata. Hue, Phu Quoc, Hoi An, dan Nha Trang adalah beberapa contoh magnet barunya. Bahkan pulau penjara seperti Con Dao pun berhasil disulap jadi tujuan wisata. 

Vietnam, negara sosialis berbentuk arit, telah merekah jadi macan baru Asia. Primadona baru ini tumbuh pesat, atau lebih tepatnya sangat pesat. Indonesia butuh 23 tahun untuk meningkatkan jumlah turis asing dari lima juta ke 15 juta. Vietnam? Hanya sembilan tahun!

Kota Tua Hoi An, anggota Situs Warisan Dunia. (Foto: Ruxat Photography)

Belakangan, performanya bahkan mulai mengancam para jawara di ASEAN. Pada 1990, Vietnam hanya disatroni 250.000 turis asing, sementara Indonesia 2,1 juta. Dua dekade berselang, selisihnya menipis. Lalu, selepas 2010, Vietnam seolah tak terbendung, hingga membukukan 18 juta kunjungan turis asing pada 2019—menyalip Indonesia untuk kali pertama, sekaligus menyerempet Singapura.

Apa alasannya? Tak ada penjelasan tunggal yang tuntas. Sama halnya jika kita bertanya kenapa puluhan juta orang melawat Prancis atau Jepang saban tahunnya? Minat turis, tentu saja, dipengaruhi banyak faktor, mulai dari nilai tukar mata uang hingga persepsi.

Namun begitu, kita bisa coba menganalisis kiprah Vietnam, sembari membandingkannya dengan Indonesia. Dari sini mungkin bisa terlihat apakah Vietnam berlari terlalu cepat, atau justru Indonesia berjalan kelewat lambat? 

Barisan perahu angsa di West Lake, Hanoi, Ibu Kota Vietnam. (Foto: BCKFWD)

Cerdik Belanja
Menjelang tutup tahun 2011, pemerintah Vietnam meneken cetak biru proyek akbar pengembangan pariwisata hingga 2030. Tujuannya: menjadikan turisme industri kunci dalam perekonomian negeri.

“GBHN pariwisata” itu bukan sekadar slogan. Di dalamnya tercantum rencana aksi yang jelas dan target yang spesifik per tahunnya, termasuk jumlah hotel yang dibangun, lapangan kerja yang diciptakan, hingga nilai kontribusi ekonomi terhadap PDB. 

Salah satu targetnya ialah mendulang 10 juta kunjungan pelancong asing pada 2020. Tak terlalu ambisius memang, berhubung pada 2011 jumlahnya sudah enam juta. Namun, negara ini berhasil mewujudkannya empat tahun lebih cepat dari tenggat. 

Tidak ada info jumlah anggaran yang dihabiskan Vietnam. Tapi Forbes pernah melansir bujet promosi pariwisata negeri ini pada 2015 hanyalah $2 juta, jauh di bawah biaya sewa influencer oleh pemerintah Indonesia. Pada 2017, plafonnya ditambah menjadi $13 juta, tapi ini pun tetap lebih kecil dari alokasi Indonesia yang menyentuh Rp2 triliun. 

Mungkin inilah resep sukses Vietnam: dana pas-pasan, tapi belanjanya efektif. Tentu perlu ditambahkan di sini, pemerintahnya giat merangkul swasta. Di bawah supervisi politbiro, mereka melahirkan Tourism Advisory Board (TAB), konsorsium pelaku partikelir. Lembaga inilah yang mengelola situs resmi pariwisata dan kantor promosi Vietnam di luar negeri. 

Interior Son Doong, gua terbesar di dunia dalam hal volume. (Foto: Le Tan)

Goda Tetangga
Pada 2012, Tiongkok memegang gelar baru: eksportir turis terbesar sejagat. Tak ayal, ratusan negara berlomba memikat mereka, tapi Vietnam punya keunggulan secara geografis. Keduanya terkoneksi lewat jalur darat.

Dalam satu dekade terakhir, Tiongkok konsisten menjadi feeder turis terbanyak ke negeri Paman Ho. Pada 2019 misalnya, dari 18 juta turis asing ke Vietnam, hampir sepertiganya berpaspor RRT.

Setelah Tiongkok, sumber turis utama lainnya ialah Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Lagi-lagi, proksimiti berperan. Ketiga tiga negara Asia Timur itu secara kolektif memasok sekitar enam juta turis.

Ini memang pakem lumrah di bidang pariwisata: tetangga adalah pasar utama. Kasus serupa berlaku untuk Indonesia, yang menjala turis mancanegara terbanyak dari Malaysia dan Singapura.

Akan tetapi, Vietnam lebih agresif mengail sumur-sumur andalannya. Dalam kurun 2015-2019, Vietnam sukses meningkatkan arus turis dari lima pasar utamanya hampir tiga kali lipat, sedangkan Indonesia hanya dua kali lipat.

Untuk pasar yang lebih jauh, Vietnam dan Indonesia beda tipis dalam hal performa. Misalnya untuk jumlah turis AS dan Inggris, selisih pertumbuhannya tidak terlalu jauh. Satu yang perlu dicatat, Vietnam menawarkan insentif bebas visa hanya kepada 24 negara (plus e-visa untuk 80 negara), sedangkan Indonesia memberikannya kepada 169 negara.

Golden Bridge, jembatan pejalan kaki di Ba Na Hills. (Foto: Aleksandr Barsukov)

Penasaran, Ketagihan
Rumus 3A (akses, atraksi, amenitas) kerap dijadikan parameter untuk menakar daya saing pariwisata. Tapi realitasnya tak melulu sejalan, bahkan kadang kontradiktif. Punya banyak atraksi tidak otomatis dapat lebih banyak turis. Begitu pula dalam kasus akses atau amenitas.

Contoh paling ekstrem barangkali Uni Emirat Arab. Sudah membangun gedung tertinggi, mewaralaba Louvre, dan memiliki dua maskapai dengan harga tiket sangat kompetitif, jumlah turisnya beda tipis dari Indonesia.

Rujukan paling komprehensif untuk membandingkan daya saing ialah Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) garapan World Economic Forum. Parameternya komplet, dari kondisi keamanan hingga ketersediaan rental mobil. Kendati begitu, datanya juga tak selalu bisa menjawab tuntas kenapa satu negara lebih laris dari negara lain. 

Dalam TTCI 2011 misalnya, Vietnam berada di peringkat 80, sementara Indonesia 74. Pada 2019, posisi Vietnam membaik, 63, sedangkan Indonesia jauh lebih baik, 40. Namun begitu, dalam hal perolehan turis dan devisa pariwisata, Vietnam justru lebih unggul. Daya saing mungkin ibarat liga sepak bola. Klub yang punya banyak pemain bintang dan stadion mentereng, tak dijamin pasti juara. 

Satu referensi untuk bisa menjelaskan keajaiban Vietnam barangkali laporan Bank Dunia pada Juli 2019. Dalam Recent Economic Developments of Vietnam dinyatakan pertumbuhan turis Vietnam tak lepas dari statusnya sebagai “emerging destination.” Kombinasi rasa penasaran, biaya pelesir yang murah, dan panorama yang masih “asri” berkontribusi mendorong minat turis. 

Kompleks Kuil Bai Dinh di Gia Vien, sisi utara Vietnam. (Foto: Samuel Bau)

Akan tetapi, layaknya destinasi Dunia Ketiga yang belum matang, Vietnam juga punya kelemahan, misalnya dalam hal standar kebersihan dan keselamatan lalu lintas. Mereka yang pernah ke Hanoi atau Ho Chi Minh City mungkin sempat merasakan betapa menyeberang jalan terasa seperti percobaan bunuh diri.

Isu-isu itulah yang ditengarai menjadi pangkal rendahnya populasi repeater (turis yang kembali datang) Vietnam. Komposisinya, menurut Bank Dunia, hanya di kisaran 30-40%, di bawah Indonesia yang mencapai 55%. Mungkin inilah penjelasan kenapa Vietnam bisa menyalip Indonesia? Vietnam bikin penasaran, Indonesia bikin ketagihan—tapi jumlah yang penasaran lebih banyak.Cristian Rahadiansyah