Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Travel Guide: 48 Jam di Desa Borobudur

Candi Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia (Foto: Cristian R)


Setelah berbagai pemberitaan tentang perubahan aturan dan tiket masuk Candi Borobudur yang menuai pro dan kontra, ini kali pertama saya memutuskan untuk kembali mengunjungi candi Budha terbesar di dunia ini.

Dari Jakarta, saya terbang ke bandara Yogyakarta International Airport  dan berkendara satu jam menuju Magelang, kota tempat Candi Borobudur berada.

Namun kali ini, saya tak hanya akan mengunjungi dan mengagumi keindahannya tapi juga melihat kehidupan desa-desa yang penuh dengan budaya serta keunikannya.

Day 1

Pagi di Candi Borobudur

Ini adalah tujuan utama dalam trip ini. Pagi hari adalah waktu terbaik untuk mengunjungi keajaiban abad ke-8 dari masa Dinasti Syailendra ini. Dipenuhi turis lokal dan mancanegara, bersama dengan cahaya matahari yang hangat menyapu lembut relief-relief kuno candi, saya berdiri terpana di bagian atas candi menikmati bukti kemegahan ajaran Buddha Mahayana.

Dibangun dari jutaan batu andesit, Borobudur dirangkai seperti struktur Lego raksasa, hanya mengandalkan teknik saling mengunci tanpa perekat — memungkinkannya bertahan dari letusan gunung berapi dan gempa bumi. Diapit Gunung Merapi dan Merbabu di timur, serta Gunung Sindoro dan Sumbing di utara, saya terengah-engah saat tiba di puncaknya, disambut pemandangan pegunungan yang memukau.

Borobudur nyaris terlupakan ketika pengaruh ajaran Buddha memudar pada abad ke-14, meninggalkannya terkubur di bawah tanah dan legenda. Candi ini ditemukan kembali pada abad ke-19 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu, dan mengalami restorasi besar oleh UNESCO pada tahun 1970-an. Ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia pada tahun 1991 dan kemudian sebagai destinasi super-prioritas oleh Indonesia pada tahun 2019, Borobudur terus menegaskan maknanya yang abadi.

Meski sedikit lelah menapaki undakan tangga yang sedikit curam, saya begitu semangat menjelajahi sejarahnya, tentu saja dipandu dengan seorang ahli. Dengan membayar Rp116.000 saya bisa naik sampai bagian stupa, area yang dulu pernah ditutup lantaran candi yang ‘tenggelam’ akibat kelebihan beban. Untuk menjaga kelestariannya, saya dan pemandu menggunakan sandal khusus yang disebut sandal upanat.

Sepanjang langkah, pengunjung akan melewati tiga zona spiritualnya: Kamadhatu (dunia nafsu), Rupadhatu (dunia bentuk), dan Arupadhatu (dunia tanpa bentuk). Setiap zona menyimpan filosofi mendalam yang terukir pada dinding-dindingnya.

Baca Juga: Thai Airways Perkenalkan Kabin Kelas Bisnis Baru untuk Pesawat A320

Desa Produksi Sandal Upanat

Upaya pelestarian Candi Borobudur terasa nyata saat saya mengenakan sandal upanat, yang kini wajib dipakai oleh pengunjung untuk membantu melindungi candi agar tidak terjadi korosi. Terbuat dari daun pandan dan spons, sandal ini melambangkan keberlanjutan dalam narasi Borobudur yang terus berkembang. Saya pun penasaran dan mengunjungi tempat produksi sandal tersebut setelahnya.

“Upanat berarti alas kaki, terinspirasi dari relief Karmawibhangga di candi,” jelas Basiyo, pencipta sandal ini sekaligus pemilik BW Craft di Desa Wanurejo, yang hanya berjarak singkat dari candi.

Sejak tahun 1981, Basiyo telah membuat souvenir dan sandal batik. Pada tahun 2019, ia bekerja sama dengan Balai Konservasi Borobudur untuk menemukan bahan-bahan yang tidak merusak batu candi. Kini, bisnisnya mencakup delapan rumah produksi yang memberikan manfaat bagi komunitas lokal.

Limanjawi Art House

Desa-desa di sekitar Borobudur terasa hangat dan ramah, seperti kota kecil Radiator Springs dalam film Cars, di mana semua orang tampaknya saling mengenal. Mungkin, penduduk di desa sekitar Borobudur ini jadi penduduk teramah di Indonesia versi saya.

Basiyo yang baru saja mengenal saya, bahkan menawarkan diri untuk menemani saya untuk berkeliling desa. Salah satunya mengunjungi Limanjawi Art House. Dia cukup akrab dengan Umar Chusaini, pendiri Limanjawi Art House. Terletak di desa yang sama, galeri ini – yang namanya berasal dari kata Sansekerta liman (gajah) dan jawi (Jawa) – menampilkan karya seni dari berbagai seniman Indonesia.

Di bawah cahaya redup galeri yang bergema, Umar mengajak saya menjelajahi beragam karya seni, termasuk kepala Buddha dan kreasi rumit yang terinspirasi dari narasi dan arsitektur Borobudur yang kaya. Sambil menyeruput teh hangat, Umar bercerita tentang pertemuannya dengan Ratu Margrethe II dari Denmark, yang terpukau oleh kedalaman seni Indonesia. Perannya dalam mendukung seniman lokal semakin mengundang kekaguman sang Ratu.

Baca Juga: Bagaimana Aturan Bawa Powerbank Saat Naik Pesawat?

Mimpinya? Sebuah pameran besar yang menampilkan seniman nasional serta sebuah monumen yang memajang cetakan tangan tamu-tamu penting yang berkunjung ke Borobudur, layaknya Walk of Fame di Hollywood. “Cetakan tangan ini akan dilengkapi dengan pesan-pesan damai mereka,” ujarnya penuh semangat. Sebelum saya pergi, Umar menyuguhkan seporsi takoyaki dari kafe kecilnya di luar galeri – keramahan yang membuat saya ingin kembali lagi.


Day 2

Ruang Baca Melek Huruf

Keesokan harinya, saya mengunjungi Melek Huruf, sebuah ruang baca di Desa Candirejo – desa wisata tertua di Magelang, hanya 10 menit perjalanan dari Borobudur. Sejak dibuka pada Juni 2023, tempat ini telah menjadi oase bagi para pencinta literatur, dengan rak-rak kayu yang dipenuhi buku dari koleksi pribadi pemiliknya, Cristian Rahadiansyah dan Nina Hidayat. Melek Huruf juga memiliki kafe kecil dan akomodasi yang nyaman bagi mereka yang ingin menginap.

“Ketika saya kecil, buku adalah barang mewah bagi saya,” ujar Cristian. “Impian saya hanyalah membeli banyak buku dan membiarkan orang-orang membacanya.”

Awalnya, Cristian membayangkan perpustakaan ini berada di Alor, Nusa Tenggara Timur. Namun, Setelah perjalanan ke Magelang pada tahun 2013, ia jatuh cinta pada suasana spiritual dan pesona alamnya. Daerah ini begitu mendukung untuk kegiatan kreatif sehingga jurnalis perjalanan yang sudah lama berkecimpung ini menjulukinya sebagai “Ubud-nya Jawa”, dengan hamparan sawah dan pegunungan. Kini, meskipun perpustakaan ini beroperasi tanpa biaya masuk, Cristian bermimpi menjadikannya lebih berkelanjutan dengan mengembangkan toko buku, ruang kreatif, dan akomodasi tambahan.

“Borobudur bukan hanya situs religius, tetapi sebuah buku yang berisi kisah-kisah sejarah yang diukir di batu,” kata Cristian, menggambarkan visinya tentang perpustakaan umum di dekat monumen kuno ini. “Membayangkan perpustakaan di samping buku raksasa yang diukir dari masa lalu… itu romantis,” lanjutnya.

Baca Juga: Travel Guide: 48 Jam di Perth

Bersepeda keliling desa 

Petualangan saya berlanjut dengan mengikuti Borobudur Sunrise Cycling Tour. Di sebuah rumah sederhana di gang sempit, Akhmat Nawawi – yang lebih suka dipanggil Mamat “Cycling” – menyambut saya dengan penuh semangat di samping dua sepeda. Sebagai pemandu saya, ia membawa saya ke beberapa pemberhentian menarik, dimulai dari Desa Karangrejo, tempat kami mengunjungi Gula Jawa Borobudur. Menyaksikan nira kelapa diolah menjadi gula adalah pengalaman manis, meskipun ada barisan semut yang mencoba mencuri sedikit rasa manis itu ketika saya mencobanya.

Mengayuh sepeda melewati jalan berbukit di Desa Wanurejo, kami mengunjungi Jamur Borobudur, yang terkenal dengan jamur Lingzhi-nya, dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan di luar negeri. Industri jamur lokal ini berkembang berkat tanah subur dan iklim yang mendukung di sekitar candi.

Tak jauh dari sana, saya mencoba membuat batik di Tingal Art, dibimbing oleh seorang pengrajin lokal. Dengan canting di tangan, saya dengan hati-hati menggambar di atas saputangan, belajar tentang pola-pola yang terinspirasi dari relief Borobudur.

Pemberhentian berikutnya adalah kelas pembuatan gerabah di Desa Karanganyar, di mana, di bawah bimbingan pengrajin ahli, saya merasakan sensasi unik membentuk tanah liat menjadi gerabah – meskipun hasil karya saya jauh dari sempurna. Kelas gerabah ini menghidupkan kembali teknik tradisional yang telah ada sejak era Kerajaan Mataram, pada masa pembangunan Borobudur.

Baca Juga: 10 Bandara Tersibuk di Dunia 2024

Caping Resto Borobudur

Kunjungan saya juga membawa saya untuk mencicipi kuliner lokal. Dikelilingi oleh hamparan sawah dan jalan-jalan sempit, Caping Resto menghadirkan pengalaman pedesaan yang menyegarkan, hanya beberapa kilometer dari Borobudur.

Di sini, semua staf mengenakan pakaian tradisional Jawa. Hidangan andalannya, Ayam Ingkung – ayam utuh yang disajikan dengan sambal pedas dan sayur urap – hidangan yang  sering disajikan dalam perayaan syukuran di Jawa Tengah.

Fuad memilih bambu sebagai elemen utama dalam desain restoran, terinspirasi dari desa wisata terdekat yang terkenal dengan kerajinan bambunya. Dengan atap anyaman berbentuk kerucut dan lokasinya yang berada di tengah sawah, nama restoran ini masuk akal, terinspirasi dari caping, topi bambu kerucut yang biasa dipakai petani. Sebuah benda sehari-hari yang penuh filosofi.

“Kerucut melambangkan kesatuan,” kata Fuad Sae, pemilik Caping Resto yang berusia dua puluhan tahun. “Kita semua harus bergandengan tangan, terlepas dari usia, status sosial, atau penampilan, dengan tujuan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.”

Selain caping resto, Anda juga bisa mengunjungi Pawon Pak Bilal yang ikonik ataupun Amanjiwo Resort yang tak jauh dari situ. (chs)

Artikel ini sudah tayang di DestinAsian Magazine oleh Eqqi Syahputra.