by Cristian Rahadiansyah 19 May, 2020
Terobosan Kreatif Restoran Dunia Melawan Pandemi
Industri restoran melancarkan gerakan resistensi global terhadap pandemi. Melalui portal Dining Bond, lebih dari 400 restoran kini menjaring investasi publik demi menambal biaya operasional. Resepnya: voucher atau kupon. Bumbunya: solidaritas sosial.
Modus operandi Dining Bond cukup simpel: menjual “obligasi” voucher atau kupon secara daring. Kelak, saat situasi sudah aman, pembeli bisa mencairkannya untuk makan dan minum. Lewat investasi berdurasi fleksibel ini, pemilik restoran berharap bisa menjala pemasukan darurat untuk membayar gaji karyawan atau sewa tempat, sementara publik bisa memastikan warung atau kafe favoritnya tak gulung tikar.
Dining Bond dicetuskan pada 16 Maret 2020 oleh trio praktisi humas: Helen Patrikis, Steven Hall, dan Alan Aurmont. Niatnya murni amal. Mereka tak memungut komisi sepeser pun. Dining Bond hanya menjalankan peran agregator, sementara transaksi dilakukan langsung dengan pihak restoran lewat vendor Square, ItsOnMe, atau PayPal.
“Bahkan dengan kredit dari pemerintah, restoran kesulitan membayar tagihan, sewa tempat, dan pengeluaran lain,” jelas Steven Hall dalam siaran persnya. “Restoran adalah bagian vital dari komunitas dan hidup kita. Kita mesti memastikan mereka tetap ada untuk kita.”
Pertengahan Mei, ada lebih dari 400 restoran berpartisipasi dalam Dining Bond. Mereka beralamat di 18 negara, termasuk Australia, Brasil, Hong Kong, Singapura, dan Spanyol. (Hingga 18 Mei, belum ada wakil dari Indonesia.) Khusus Italia, episentrum virus di Eropa, 105 restoran mempromosikan obligasinya. Angka ini masih bisa bertambah lantaran Dining Bond terbuka bagi siapa saja.
Hingga Mei 2020, Covid-19 telah merayap di lebih dari 200 negara. Kebijakan lockdown vital dalam mengerem penyebarannya, tapi akibatnya fatal bagi dunia usaha, termasuk bisnis kuliner. Beberapa restoran mencoba menawar dampak buruk itu lewat layanan pesan antar, tapi solusi ini kerap tak cukup untuk menambal ongkos operasional. Celah inilah yang coba diisi oleh Dining Bond—dan ia tidak sendirian.
Prakarsa global lain sektor kuliner melawan Covid-19 ditempuh oleh William Reed Business Media, organisasi di balik ajang penghargaan World’s 50 Best Restaurants & Bars. Pada 6 Mei, William Reed meluncurkan 50 Best for Recovery, inisiatif yang menyediakan dukungan finansial bagi restoran, serta platform promosi dan berbagi gagasan bisnis.
“Melalui 50 Best for Recovery, kami ingin memanfaatkan jaringan, koneksi, dan jangkauan global kami untuk memberikan bantuan nyata kepada sebanyak mungkin restoran,” jelas William Drew, Director of Content for The World’s 50 Best Restaurants.
Baca juga: Inovasi di Balik Pandemi
Untuk program donasi, mereka menjaring dana dari individu dan perusahaan, serta menanggap lelang makan di restoran-restoran terbaik. Daftarnya belum dilansir, tapi tentu akan menggiurkan jika penyelenggara bisa menghadirkan Noma, Mugaritz, atau Narisawa—beberapa contoh restoran elite dengan buku reservasi yang sukar ditembus.
Agenda lain William Reed ialah menerbitkan buku digital Home Comforts yang berisi kompilasi resep dari koki atau bartender kondang. Buku ini bisa diunduh dengan kompensasi donasi. Kemudian, pada akhir 2020, akan digelar hajatan virtual Recovery Summit untuk membahas solusi riil menjawab pandemi. Beberapa koki dalam liga elite ini terjun ke lapangan untuk membantu bisnis dan masyarakat, contohnya Jose Avillez yang memasak untuk pekerja sosial dan orang kurang mampu di Lisbon.
Dihadapkan pada mala, pengusaha restoran bersinergi dalam promosi, berupaya mengail duit di zaman sulit. Ikhtiar kreatif serupa bisa ditemukan di sektor perhotelan dalam wujud BuyNowStayLater.com, portal yang menjual obligasi dari ratusan hotel di 37 negara. Tapi terobosan kreatif sebenarnya tak hanya muncul di tingkat global. Dari Amerika hingga Asia, beberapa negara juga melancarkan perlawanan dari dapur.
Di Amerika Serikat, grup media Gannett (induk USA Today) menggagas platform Support Local untuk mempromosikan kupon dari UMKM, termasuk restoran, di penjuru negeri. Serupa dengan itu, Local for Later, mencoba pendekatan yang lebih humanis. Tak sekadar menjual kupon, kanal ini mengunggah cerita-cerita menyentuh dari pemilik usaha yang terdampak pandemi di 13 kota, termasuk Boston, Los Angeles, dan New Orleans.
Baca juga: Juara Sayembara Pemulihan Pariwisata Dunia
Organisasi lain di AS yang terlibat dalam laga melawan pandemi ialah Grubhub, semacam Go-Food versi AS. Usai menangguhkan pembayaran komisi dari klien-kliennya, platform ini menggarap program amal Donate the Change untuk disumbangkan kepada para pekerja restoran.
Resistensi restoran juga berlangsung sengit di Eropa. Hingga Mei, kolaborasi pebisnis kuliner setidaknya muncul di tiga negara. Di Belgia, Horeca Comeback mempromosikan kupon dari beragam restoran. Tetangganya, Belanda, mengusung kampanye serupa lewat Help de Horeca. Sementara di Inggris, media kuliner SquareMeal mendukung penjualan voucher dari 42 restoran.
Bergeser ke Asia, siasat partikelir melawan pandemi bisa ditemukan di India. Dineout menggelar kampanye “dine out later, stay home now.” Platform ini menjual voucher makan dari sekitar 50.000 restoran di 20 negara bagian. Sementara di Singapura, Chope and Save memajang voucher dari 201 restoran, termasuk JAAN by Kirk Westaway, The Elephant Room, dan Tippling Club. “Tempat favorit Anda di Singapura mungkin akan tutup selamanya,” tulis portal ini. “Bantu selamatkan mereka.”
Saat dapur sepi dari aktivitas memasak, restoran “menggoreng” sentimen publik demi menjamin masa depannya. Pandemi dalam banyak hal memang menguji solidaritas sosial. —Cristian Rahadiansyah