by Cristian Rahadiansyah 30 April, 2015
Con Dao, Pulau Penjara Menjadi Pulau Liburan
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Muhammad Fadli
Menghabiskan pagi di serambi Con Son Café, ingatan saya justru melayang ke foto-foto Kuba dalam esai dramatis buatan fotografer Joakim Eskildsen. Bangunan kolonial berwarna krem saling bergandengan tangan di depan trotoar yang membentang di tepian pantai. Angin laut berembus halus dan menyejukkan kopi pahit yang dicampur rum Havana. Orang-orang duduk termenung, kadang berjalan gontai, membuat bumi seakan berputar lebih pelan.
Beberapa hari sebelumnya, saya singgah di Saigon, di mana menyeberang jalan adalah tindakan yang sangat berbahaya. Hari ini, di depan Con Son Café, jalan justru begitu lengang. Anak-anak mengayuh sepeda sembari tertawa. Willys tua dengan stiker U.S. Army melintas pelan. Lebih mirip Kuba ketimbang Vietnam memang. Di samping saya, sebuah gapura menampilkan foto Paman Ho yang tersenyum penuh wibawa, seolah hendak mengingatkan bahwa saya sedang berada di negerinya. Pakaiannya serbaputih, seputih janggutnya yang miring tertiup angin. Dia melambaikan tangan ke arah dermaga tua yang dikonstruksi pada 1873.
“Paman Ho lahir pada 1890 dan meninggal pada 1969,” seorang pria paruh baya memancing diskusi dalam bahasa Inggris bercampur Vietnam. Kami mulai berbincang. Dia menawarkan rokoknya, lalu menunjukkan foto-foto anak dan istrinya. Berbeda dari Saigon di mana manusia bergerak gesit layaknya orang yang dikejar utang, penduduk Con Dao sepertinya selalu punya waktu untuk tersenyum dan berbicara.
Pagi mulai berlalu. Bus-bus turis mulai hilir-mudik mengangkut turis, sementara kawanan tentara berkeliaran mencari makan siang. Saya dan teman baru saya kini terdiam menatap laut dan perahu-perahu kayu yang bertaburan di laut pirus. Kopi saya telah kering hingga ke dasar cangkir. Detak jantung melambat. Tempat ini membuat mengobrol dan membisu sama nikmatnya.
Sulit dipahami mengapa Kepulauan Con Dao masih berada di luar sirkuit utama turis. Bandaranya hanya dilayani oleh satu maskapai. Jumlah turisnya sekitar 20.000 jiwa per tahun, sementara populasi warganya cuma 7.000 orang, setara kapasitas gedung Balai Kartini di Jakarta. Jalan aspal hanya terbentang di Con Son, pulau terbesar di Con Dao. Sepi dan lengang memang, namun kesepian di sini kerap bersinonim dengan kenikmatan.
Suatu pagi, saya menstarter Vespa, kemudian meluncur di rute berliku yang terapit lautan dan lereng bukit, menikmati panorama yang mengingatkan saya pada Great Coast Road. Pulau-pulau hijau bertaburan di kejauhan. Awan mendung berarak dan tersangkut di dahan-dahan tinggi. Motor saya beberapa kali nyaris terempas akibat angin deras yang berembus dari Laut Cina Selatan, perairan sarat minyak yang kerap dinodai konflik teritorial. Di laut ini jugalah Vietnam dan RRC berseteru memperebutkan emas hitam, friksi yang sempat menyunat jumlah turis di Con Dao.
Dalam peta bertarikh 1838, Con Dao disebut Pulo Condor. Setelah abad berganti, nama itu masih disandang, walau penulisannya sedikit berbeda: Poulo Condore. Nama ini sepertinya diberikan oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur yang menjadikan Con Dao zona perdagangan bebas bagi kapal-kapal kargo yang berlayar antara India dan Cina. Kepulauan seluas Karimunjawa ini terapung di dekat mulut Teluk Siam, posisi yang cukup vital dalam jalur perniagaan global.
Dibandingkan kota-kota sibuk di Vietnam, Con Dao bagaikan planet yang sepenuhnya terpisah, tapi ia sejatinya tidak terputus total dari peradaban modern. Sinyal telepon telah hadir, ATM dan pom bensin tersedia, HBO tayang di kamar hotel. Beberapa jalannya diterangi lampu-lampu neon dan kafe berbaris di tepian jalan cupet. Hotel mulai bermunculan seiring naiknya arus turis dan pihak maskapai pun meningkatkan frekuensi penerbangan, dari satu kali per minggu menjadi dua kali per hari.
Vespa saya melaju kencang, beberapa kali berkelit menghindari bangkai ular dan kadal-kadal yang sedang berjemur. Manusia sudah hadir di sini sejak zaman Kekaisaran Khmer, tapi alam sepertinya tidak banyak terusik—dan warga setempat berniat memastikan kondisi tersebut tetap lestari. Dari total 16 pulau di Con Dao, 14 di antaranya ditetapkan sebagai taman nasional.
Motor saya berhenti akibat terhalang kawanan sapi—satu-satunya sumber kemacetan di Con Dao—kemudian membelot ke jalan tanah yang penuh kubangan, lalu mendarat di Dam Trau, sebuah pantai yang tersembunyi. Layaknya destinasi yang sedang merekah, rahasia-rahasia baru mulai terungkap. Dam Trau adalah salah satunya. Pantai berpasir cokelat muda ini menempati sebuah teluk cantik di utara Con Son. Airnya turkuois, dangkal, dan kalem. Di bawah pohon-pohon pinus, beberapa warung tenda menawarkan bir dan kelapa muda. Empat remaja bersantai sembari menyimak lagu-lagu dari Far East Movement. Pedagang seafood mulai menata kepiting, lobster, dan cumi-cumi seukuran lobster. Tidak ada suara klakson. Tidak ada resor. Hari yang malas.
Sejumlah media meramal Con Dao akan menjadi Bali jilid dua. Mungkin satu-satunya alasan kenapa prediksi itu masih jauh dari kenyataan adalah sejarah kepulauan ini yang teramat suram. Selama 113 tahun, Con Dao adalah tempat yang hendak dihindari. Masih di atas Vespa, di salah sudut terindah negeri, saya mencoba membuka bekas-bekas luka lama yang seolah tak pernah mengering.
Tiap rezim memiliki hantunya. Beberapa masih bergentayangan. Di Vietnam, ia bernama “kandang macan.” Dalam artikelnya yang memilukan, Don Luce menuliskan salah satu drama terpedih dalam sejarah modern Vietnam. “Wajah para tahanan di kandang-kandang di bawah kaki saya masih bersemayam di benak,” tulisnya. “Ada pria yang kehilangan tiga jarinya; pria asal Quang Tri yang tengkoraknya terbelah dua; serta biksu asal Hue yang berbicara tentang represi.”
Dalam kurun penuh gejolak dari 1958-1971, Don bekerja sebagai sukarelawan di Vietnam. Setahun sebelum pensiun, dia membeberkan kepada dunia perihal kejahatan kemanusiaan yang mengoyak batin di Con Dao, khususnya di penjara-penjara yang dijuluki “Tiger Cages.” Bentuknya memang mirip kurungan macan. Tawanan dikerangkeng dalam kandang berjeruji. Sipir berpatroli di atas mereka sembari menusuk-nusukkan tongkat.
Banyak narapidana ditahan tanpa proses peradilan. Don bahkan membandingkan Tiger Cages dengan Abu Ghraib. Bedanya, jika di Con Dao tentara Amerika menggaji dan melatih aparat Vietnam untuk melakukan penyiksaan, di Abu Ghraib tentara Amerika melakukan proses penyiksaan secara mandiri. Menyamakan Con Dao dengan Abu Ghraib memang tak melulu akurat. Penghuni bui Con Dao bukan cuma tapol, tapi juga penjahat reguler. “Pada 1932, 75 persen napi dihukum karena kasus kriminal murni,” tulis sejarawan Hue-Tam Ho Tai dalam The Country of Memory: Remaking the Past in Late Socialist Vietnam.
“Kasus yang paling menyita perhatian adalah Nguyen Van Vien, yang dihukum karena mencuri seekor kerbau pada 1989 di usia 23 tahun, lalu dikirim ke Con Dao. Akibat proses birokrasi yang berantakan, Vien dipenjara selama hampir 35 tahun.” Huynh Thuc Khang, salah seorang narapidana, mencatat bahwa kehadiran kriminalis membuat para tapol tercekam. “Bagi tahanan, dibunuh saat tidur adalah peristiwa yang wajar. Dalam bulan-bulan awal dikurung bersama para napi umum, kami merasa tersiksa. Di siang hari kami memilih beristirahat, sementara di malam hari kami berdiskusi soal literatur dan politik. Kami tidak berani berinteraksi dengan mereka,” tulisnya dalam antologi bertajuk Sajak Penjara.
Riwayat suram Con Dao sebenarnya dimulai jauh sebelum Rambo-Rambo Amerika berdatangan. Tempat yang dijuluki “Devil’s Island” ini telah menjadi tanah buangan sejak zaman kolonial Prancis. Kaum penjajah menjebloskan para pembangkang dan kaum nasionalis ke sel-sel sempit yang menyerupai kandang hewan, sekaligus melemparkan pulau cantik ini ke dalam liga lubang-lubang neraka di muka bumi bersama Guantanamo dan Auschwitz. Ada banyak tokoh revolusioner Vietnam yang mendekam di sini, termasuk Le Duc Tho, pejuang yang telah ditetapkan sebagai penerima Nobel Perdamaian 1973 bersama Henry Kissinger, tapi secara mengejutkan menolaknya.
Sisa-sisa zaman itu masih ada, tapi tak semuanya utuh. Sebagian rontok digerinda waktu dengan menyisakan bongkahan dan dinding berlumut yang terlihat begitu angker, layaknya tempat-tempat yang tercantum dalam buku 101 Places Not to See Before You Die karangan Catherine Price. Selain penjara, ada kuburan massal, yang umumnya hanya ditandai oleh tugu berbentuk nisan anonim. Tak ada keterangan nama para almarhum, tapi banyak pihak percaya sekitar 20.000 nyawa melayang di Con Dao sepanjang periode imperialisme Prancis dan rezim Vietnam Selatan yang dibekingi Amerika. Rangkaian bunga senantiasa diletakkan di setiap tugu, seolah hendak mengingatkan setiap orang yang lewat akan tiap tetes darah yang tumpah di pulau ini.
Beberapa bui teronggok di tengah kota, diapit kafe dan hotel, hingga menciptakan pemandangan kontras yang janggal. Suatu malam, saya mengintip peragaan busana yang digelar persis di seberang gerbang penjara. Hari berikutnya, saya melewati poster bertema komunis yang bersanding dengan toko Coca-Cola. Di hari yang lain, ada kuil Buddha yang menatap resor milik pengusaha Rusia. Di Vietnam, komunisme dan kapitalisme tengah berpelukan bagai dua kekasih yang habis rujuk.
Di mana para tahanan sekarang? Kata beberapa orang lokal, mereka tak lagi menetap di sini. Memang tak ada yang betah tinggal di neraka ini. Don Luce sempat melacak beberapa napi yang selamat dan telah membuka lembaran baru hidupnya. Mereka tak sudi kembali ke Con Dao. Bau amis darah di tanah ini sepertinya belum kering dari hidung mereka.
Saya masih melompat dari satu penjara ke penjara lain, dari satu nisan ke nisan lain, berusaha memahami bagaimana ambisi politik dan lumpur ideologi memantik kebengisan yang tak terperi di hati manusia. Tapi barangkali saya terlalu naif. Sejarah menunjukkan, kekuasaan memang tak selamanya dikerek bermodalkan kebaikan. Ada Machiavelli di dalam diri tiap kaisar. Hegemoni agaknya sulit tegak jika penguasa sibuk berbuat mulia dan melemparkan tawa. Untuk mendirikan imperium yang efektif, penguasa cenderung memilih cara-cara kotor, dan Con Dao adalah tempat untuk mengurung mereka yang menolak.
Pada 1975, dalam sebuah aneksasi masif yang dirintis dari utara, rakyat Vietnam menghentikan perang saudara dan menutup bab penuh najis dalam riwayatnya. Con Dao adalah bagian dari simpul-simpul terakhir yang diterabas oleh pasukan komunis dalam proses unifikasi negeri. Penjara dan kandang-kandang macan ditutup. Jenazah dari kuburan massal direlokasi. Setelah itu, lembaran baru ditulis pemerintah: Con Dao disulap menjadi taman nasional dan sentra pelatihan militer (hampir separuh penduduknya kini berstatus tentara).
Setelah milenium berganti, Con Dao melirik industri baru bernama pariwisata. Masa lalunya yang tragis tidak serta-merta dibuang, melainkan justru dikemas sebagai magnet turis. Ruang-ruang penyiksaan dijadikan museum. Kisah-kisah perih para tapol ditulis di dalam brosur. Con Dao pun bergabung dengan tempat-tempat seperti Phnom Penh dan Pulau Buru sebagai destinasi yang tak cuma menjual gulali, tapi juga elegi.
“Con Dao adalah kawasan konservasi laut pertama di Vietnam,” ujar Georges Erhard, Experience Manager Six Senses Con Dao, saat kami meluncur dengan speedboat di bawah naungan jutaan bintang menuju Pulau Bay Canh. “Penyu adalah satwa yang dilindungi di sini,” ujar Georges lagi. “Pernah ada nelayan yang tertangkap basah menangkap penyu, lalu didenda oleh petugas taman nasional.”
Air dangkal memaksa perahu bersauh cukup jauh dari bibir pulau. Kami menarik celana, lalu berjalan tertatih ke tepian. Di tengah gulita, kami kemudian meniti jalan setapak yang dikepung bakau, hingga akhirnya mendarat di pos jagawana yang temaram. Bay Canh adalah area bertelur penyu hijau dan hawksbill. Menonton proses persalinan mereka adalah paket tur yang populer di Con Dao.
Di depan sebuah meja kayu, seorang jagawana berusia 20-an menuangkan teh hijau yang tawar ke cangkir mungil. Rekannya yang lebih muda menumpuk tembakau di ujung pipa panjang, menyulutnya, kemudian menyodorkannya kepada saya. Sepertinya saya sedang menerima sambutan khas lokal. “Coba diisap,” katanya dalam bahasa Vietnam. Tony, staf resor yang pernah merantau ke Malaysia dan mengaku penggemar lagu Stasiun Balapan, menjadi penerjemah saya di malam yang hangat ini.
Tak berapa lama, seorang pemuda muncul dari semak, lalu memberi aba-aba akan kehadiran penyu. Saya berjalan ke pantai dengan tenggorokan gatal akibat mengisap tembakau. Sinar bulan berpendar terang di atas pantai pasir putih, membuat malam terlihat menyala dalam gelap. Beberapa ekor penyu sedang merayap ke pantai. Salah satunya sudah kelar menggali lubang. Kami mendekatinya perlahan, lalu berkerumun di dekat ekornya. Puluhan telur putih dan kenyal berjatuhan ke lubang dan saling menumpuk. Momen magis yang sangat menyentuh.
Banyak spesies penyu kini berada dalam status terancam. Di Vietnam, prahara ekologis tersebut terlihat gamblang. Seperti Indonesia, warga negeri ini mengenal tradisi mengonsumsi penyu, baik daging maupun telurnya. “Saya sudah bekerja di Vietnam selama 11 tahun. Dari seluruh pengalaman menyelam saya, hanya satu penyu yang pernah saya lihat di luar Con Dao,” Georges berbisik dengan nada cemas. “Tapi tak ada yang tahu pasti kenapa penyu memilih Con Dao sebagai tempat bertelur.”
Taman Nasional Con Dao memainkan peran krusial dalam pelestarian penyu. Dari lubang-lubang buatan ibu penyu, ratusan telur dipindahkan oleh jagawana ke area penangkaran dan dirawat telaten layaknya bayi-bayi tabung di rumah sakit. Setelah menetas, bayi-bayi itu dilepas secara massal di pantai—prosesi lain yang juga memikat wisatawan.
Penyu bukanlah ikon utama taman nasional ini. Con Dao juga merupakan habitat dugong, mamalia herbivora yang menginspirasi legenda putri duyung. Menurut data Balai Taman Nasional, ada sekitar 12 ekor dugong yang berkeliaran di sini, umumnya di area yang ditumbuhi rumput laut. Untuk menyaksikan mereka, kita tak cuma butuh kemampuan menyelinap, tapi juga keberuntungan. Satwa elusif ini sangat penakut dan pemalu. Georges, yang sudah bekerja selama lima tahun di Con Dao, bahkan belum pernah melihat seekor pun.
Ekowisata bagaikan infus yang membuat nadi Con Dao berdenyut lebih kencang. Tanah di kawasan ini tak cukup fertil untuk pertanian, sementara sektor perikanannya kurang menjanjikan. Selain satu perusahaan yang berbisnis mutiara, perekonomian Con Dao praktis hanya bersandar pada arus pelancong dari luar negeri. Uang dari bisnis ekowisata memang cukup menggiurkan. Bagi turis yang ingin melepas bayi penyu, Balai Taman Nasional mengenakan biaya $2 per tukik. Untuk melihat penyu bertelur, tarifnya $70 per orang—setara separuh gaji bulanan seorang jagawana junior.
Tapi hadirnya turis juga menghadirkan masalah baru, dilema baru, pekerjaan rumah baru. Con Dao hanya memiliki dua reservoir untuk menghidupi 7.000 warganya, serta memasok air bagi 35 hotel. Tumbuhnya arus turis juga melahirkan bisnis-bisnis turunan, mulai dari kafe, restoran, hingga operator tur. Semuanya membutuhkan air untuk operasional. Tuntutan akan infrastruktur yang lebih prima juga kian menguat terkait ambisi pemerintah Vietnam meraup 64.000 turis pada 2014.
Tantangan runyam lainnya dihadirkan oleh konflik antara balai taman nasional dan masyarakat nelayan. Kaidah-kaidah konservasi tak melulu bisa diterapkan ideal. Suatu pagi, saat hendak menyelam, saya menyaksikan sejumlah nelayan memindahkan ikan pari dari perahu. Dalam perjalanan ke lokasi selam, seorang nelayan mencari ikan persis di samping pelampung yang bertulisan “dilarang membuang jangkar” dan “dilarang mencari ikan.”
“Kecuali penyu dan dugong, semuanya boleh ditangkap, asalkan oleh nelayan setempat,” ujar Gordon, dive master asal Afrika Selatan yang bekerja untuk Senses Dive Centre. “Ini masalah lama. Karang di sini bagus, tapi ikan besar sulit ditemukan.” Melihat posisi geografisnya di atas peta, Con Dao juga rentan terhadap infiltrasi. Di musim-musim tertentu, sampah mengalir dan tersangkut di kaki-kaki bakau, kadang disertai balutan limbah minyak dari kilang-kilang di Laut Cina Selatan.
“Taman nasional ini menerapkan banyak solusi kompromistis. WWF dan UNDP pernah terlibat di sini, tapi masih banyak masalah yang berlarut,” ujar Georges, pria asal Inggris yang beristrikan wanita Vietnam. “Tak mudah bagi orang asing seperti saya untuk meyakinkan aparat setempat. Kadang saya lebih banyak mendengar saat diundang rapat. Butuh waktu bagi Con Dao untuk memahami konsep konservasi yang hakiki.”
Bisnis pariwisata bersemai di Con Dao sejak satu dasawarsa silam, tapi nama kepulauan ini sejatinya baru tertera dalam radar pelancong dunia saat Six Senses membuka cabangnya pada akhir 2010—dan gaungnya kian santer saat Angelina Jolie menginap di sini bersama anak angkatnya yang asli Vietnam pada 2011.
Six Senses Con Dao menawarkan 50 vila luks yang berbaris di tepi pantai lapang. Interiornya bermain-main dengan banyak elemen natural: pulpen bertubuh ranting pohon, lampu meja yang dibungkus anyaman rotan, dan kotak tisu berbahan serat daur ulang. “Six Senses Con Dao dirangkai dari kayu dan bambu, serta diilhami oleh laut dan lingkungan natural di sekitarnya,” tulis Stephanie Ledoux dan Reda Amalou, dua otak di balik desain resor ini. “Kami mendambakan arsitektur yang membuka dirinya, dengan atap yang melayang dan menangkap horizon. Sebuah penghargaan bagi keindahan lokasi resor ini.”
Namun arti terpenting dari kehadiran Six Senses bukan terletak pada kemewahannya. Menganut filosofi bisnis yang ramah lingkungan, resor ini mengirimkan pesan kuat kepada pelaku hotel lain di Con Dao tentang pentingnya akomodasi yang memperhatikan konservasi. Six Senses agaknya hendak memberi makna yang lebih luhur pada konsep “barefoot luxury.”
Six Senses sangat membatasi penggunaan plastik. Bahkan sedotan di vila dan restorannya dibuat dari bambu. Konsumsi listrik dan kertas juga diminimalisasi. AC di kamar otomatis padam saat pintu digeser, sementara koran dan majalah ditawarkan dalam format nirkertas. Filosofi “hijau” inilah yang turut mengantarkan Six Senses meraih penghargaan Best Sustainable Resort in Vietnam pada 2012.
Resor yang 60 persen karyawannya warga lokal ini juga menggelar pelatihan renang bagi anak-anak setempat. Dananya didapat dari penjualan suvenir boneka penyu kepada para tamu. Di Vietnam, sekitar 5.000 anak tewas per tahunnya akibat tenggelam. “Di tahap pertama, kami bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melatih anak-anak. Jika biaya lebih memadai, kami berniat menjangkau pula keluarga-keluarga para siswa,” ujar Monica Majors, Communications Director Six Senses Vietnam.
Saya kembali singgah di tempat nangkring favorit saya, Con Son Café, guna menyeruput secangkir espresso khas Indocina. Irama jazz melayang pelan di malam kelabu, berpadu dengan suara syahdu ombak yang menyapa dermaga. Con Dao telah melangkah begitu jauh. Kendati masih dihantui sejarahnya yang kelam, ia bukan lagi tempat murung yang meratapi nasibnya. Pariwisata telah menggerakkan perekonomiannya sekaligus memberi alternatif sumber kehidupan bagi warganya.
Empat dekade usai berakhirnya periode penyiksaan di kandang-kandang macan, Guantanamo terapung ini bertransformasi menjadi noktah termanis di Laut Cina Selatan. Awalnya tempat manusia meratap, Con Dao merekah menjadi destinasi yang merayakan hidup dan keindahan alam.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Con Dao dilayani oleh Vietnam Airlines (vietnamairlines.com) bersama anak usahanya, Vasco (vasco.com.vn). Dari Ho Chi Minh City, penumpang akan terbang menaiki pesawat baling-baling ganda selama 45 menit menuju bandara di Con Son, pulau terbesar dan satu-satunya yang dihuni manusia di Con Dao. Penerbangan dari Jakarta ke Ho Chi Minh City dilayani oleh Vietnam Airlines setiap hari.
Penginapan
Con Dao mengoleksi 35 hotel dalam berbagai kelas. Sementara ini, hanya ada satu properti bintang lima yang beroperasi, yakni Six Senses Con Dao (Pantai Dat Doc, Provinsi Ba Ria Vung Tau; 84-643/831-222; sixsenses.com; mulai dari Rp7.164.000), resor yang dihuni 50 vila mewah yang berbaris di tepi pantai pasir putih terluas di Con Son. Akomodasi yang beroperasi sejak akhir 2010 ini juga menawarkan banyak aktivitas menarik, seperti mengamati bintang melalui teropong privat, menyelam, wisata sejarah ke penjara, kelas bahasa Vietnam, trekking di hutan, serta tur melihat penyu bertelur dan melepas tukik.
Aktivitas
Con Dao mengoleksi 21 titik selam. Ikan besar sangat minim, tapi karangnya cukup menarik. Paket menyelam bisa dipesan via penginapan atau dengan menghubungi langsung pihak dive centre, salah satunya Senses Diving Con Dao (Bar 200, Jalan Pham Van Dong, Con Son; 84-643/630-024; divecondao.com). Pantai-pantai di sisi selatan pulau bisa dijangkau dengan menaiki taksi. Di sisi utara, setidaknya terdapat tiga pantai cantik yang hanya bisa disambangi dengan menaiki motor atau trekking. Dari 16 pulau di Con Dao, Bay Canh adalah yang paling tersohor. Di sini Anda bisa melihat penyu bertelur, melepas tukik, serta hiking. Untuk informasi seputar satwa taman nasional, termasuk penyu dan dugong, kunjungi kantor Balai Taman Nasional Con Dao (Jalan Vo Thi Sau No. 29; 84-643/830-669; condaopark.com.vn). Kehidupan malam di kota kecil Con Son sangat bersahaja. Anda bisa bersantai di kafe, restoran, atau menjajal hobi nasional warga—karaoke.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2015 (“Kronik Kondor”)