by Cristian Rahadiansyah 25 February, 2014
Mengarungi Teluk Saleh, Sentra Wisata Sumbawa
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Putu Sayoga
Bagaimana mungkin teluk seluas ini tak punya riwayat yang jelas? Di atas perahu yang membelah Teluk Saleh, saya bergumam dengan nada kesal. Angin September bertiup kencang, menabrak-nabrak geladak, membuat kayu-kayu di tubuh perahu bergesekan. Di kanan dan kiri, pulau-pulau kecil bertaburan. Jumlahnya lebih banyak dari yang tertera di peta saya.
“Mau ke mana, Pak?” teriak ABK dari buntut perahu. Deru angin menenggelamkan suaranya. Saya menunjuk tepian teluk, di mana bukit-bukit berbaris seperti raksasa yang bergandengan tangan. Bukit-bukit jangkung yang mengubur cakrawala dan membuat kita kerdil di hadapan alam.
Teluk Saleh menyayat Sumbawa dalam posisi diagonal. Hanya segaris daratan tersisa di ujungnya. Dalam peta-peta tua, teluk ini disebut Sallee. Siapa Saleh sebenarnya? Banyak orang Sumbawa menyandang nama Saleh. Tapi Bapak Saleh yang mana? Dalam babad kerajaan-kerajaan lawas di Sumbawa, tak ada raja bernama Saleh.
Teluk Saleh pernah memegang peran vital dalam sektor perdagangan. Perairan yang luasnya dua kali Jakarta ini menghubungkan kerajaan-kerajaan di bagian barat dan timur Sumbawa. Untuk menyambangi kedua wilayah itu, lebih praktis menaiki perahu ketimbang mengitarinya lewat darat. Pesisir yang membingkai teluk memiliki panjang hampir 300 kilometer.
Belanda mendarat di Sumbawa pada abad ke-17. Penjajah datang karena tergoda kekayaan alam pulau yang melegenda. J.D. Schelle dan J.H. Tobias, dua pejabat VOC, menggambarkannya penuh nada takjub: “Beras, kacang-kacangan, dan jagung berlimpah. Hutan menyediakan malam (wax) dan kayu berkualitas prima, terutama secang, yang kualitasnya tak ada duanya di seantero negeri kepulauan ini.” Di masa itu pula, kuda Sumbawa tersohor. Schelle dan Tobias kembali menulis: “Siapa yang tak pernah mendengar kuda-kuda hebat dari pulau ini, yang kualitasnya tak tertandingi?” Pamor Sumbawa, setidaknya dulu, melampaui bukit-bukit yang mengukir tanahnya.
Letusan dahsyat Tambora pada 1815 mengubur periode emas itu, tapi tidak untuk selamanya. Beberapa puluh tahun pascaerupsi, Sumbawa kembali merekah. Alamnya pulih dan semut-semut asing pun berdatangan. Kebun-kebun garapan dipulihkan, sektor perdagangan kembali bernyawa. Jepang juga singgah di Sumbawa, namun hanya sejenak. Salah satu kapal tentara Nippon karam di Teluk Saleh dan sempat menjadi situs selam, sampai akhirnya besi-besinya ludes dipereteli orang.
Mendekati tengah hari, gelombang makin deras, membuat perahu saya limbung seperti layangan yang ditampar angin. Nakhoda lalu berlindung di perairan sempit yang terapit pulau-pulau kecil. Beberapa pulau di sini hanya berbentuk bongkahan yang dibalut belukar. Lebih mirip serpihan yang tercerai dari daratan utama. Di salah satu pulau, seekor babi hutan berburu makanan di pantai. Tubuhnya hitam legam, menantang langit cerah musim kemarau.
Sumbawa adalah pulau transisi, begitu kesimpulan Bernice de Jong-Boers. Kata peneliti dari Leiden itu, Sumbawa memiliki iklim sabana kering. Flora dan fauna khas Asia dan Australia berhabitat di sini. Melangkah kian jauh ke timur, transisi itu kian gamblang: jumlah spesies Australia lebih dominan. Tesis Bernice didasarkan pada pemisahan “biogeographic” yang dicetuskan Wallace, di mana Indonesia dibelah menjadi dua bagian berdasarkan karakter flora dan faunanya. Sumbawa berada di sisi timur garis imajiner tersebut.
Karakter transisi itu juga tecermin pada lanskap alam Sumbawa. Berjalan-jalan di sisi barat pulau, kita bisa menemukan sawah-sawah hijau yang mengingatkan kita pada desa-desa di pedalaman Jawa. Sedangkan di sisi timur pulau, terhampar bukit-bukit sabana yang lazim ditemukan di Flores.
Dan bukan cuma alamnya yang transisional. Beberapa peneliti lain mengklaim, Sumbawa juga berada di persimpangan budaya. Pengaruh Majapahit merasuk dari sisi barat melalui Bali. Sementara kerajaan-kerajaan Sulawesi melakukan penetrasi dari utara. Hasilnya adalah interseksi tradisi antara Hindu dan Islam, persinggungan yang menghasilkan ranah kultural yang berwarna.
Setelah satu jam melawan ombak dan angin, perahu saya akhirnya tumbang. “Busi panas! Mesin harus istirahat,” ujar ABK. Tapi beristirahat di mana? Tak ada tempat untuk berteduh. Kebanyakan pulau tak berpenghuni. Dari sekitar 4,5 juta jiwa penduduk Nusa Tenggara Barat, lebih dari 70 persennya terkonsentrasi di Lombok, pulau yang ukurannya hanya sepertiga Sumbawa.
ABK kemudian mengarahkan perahu ke sebuah pulau pasir yang dihuni hanya beberapa pohon dan satu musala. Mungkin musala paling eksotis di dunia. Di sekitarnya terhampar lautan dangkal berisi ratusan bintang laut dan pantai yang melingkar dalam warna cokelat. Perahu ditambatkan di tepian. Cuaca terik mempercepat langkah saya. Di minggu-minggu terakhir musim kemarau, Sumbawa seperti memiliki dua matahari.
Setelah Indonesia merdeka, pamor Sumbawa surut. Kerajaan-kerajaan kehilangan kekuasaannya. Kuda-kuda yang sempat memukau dunia dengan staminanya, telah beralih menjadi kendaraan pacu bagi joki-joki cilik dalam tradisi Main Jaran. Sementara kayu-kayu secang yang dulu memikat penjajah juga sudah jauh berkurang, ditebang oleh perusahaan-perusahaan kayu resmi ataupun perambah ilegal.
Sumbawa mungkin sudah lama meninggalkan masa jayanya. Tapi pulau ini bukan cuma tumpukan kisah lirih. Juga bukan semata masa lalu yang gemilang dan masa kini yang suram. Di Teluk Saleh, jantung Pulau Sumbawa, harapan baru merekah. Halaman pulau-pulau kecil mulai marak dijadikan area peternakan rumput laut dan mutiara. Sementara pulau-pulau cantik semacam Moyo dan Satonda rutin disambangi turis.
Mesin perahu telah pulih. ABK mengarahkan kemudi ke sebuah tanjung yang ditumbuhi banyak pohon buah. Saya mendengar kabar, di kebun ini, sekelompok pelarian politik berhasil menemukan asa baru untuk menatap hari esok.
Namanya Lorenzo. Orang yang terbuang di negerinya sendiri. Di tengah ancaman pembantaian, dia dan istrinya melarikan diri. Berpindah-pindah dari Atambua, ke Rote, ke Waingapu. Itu peristiwa 1999. Tahun yang sebenarnya menjanjikan kebebasan. Tahun yang sepatutnya dirayakan.
Hasil Jajak Pendapat di Timor Timur telah mengobrak-abrik hidupnya. Lorenzo berada di pihak yang kalah: pihak pro-integrasi. Sebuah negara baru bakal lahir di tanah kelahirannya, tapi bukan negara bagi semua orang, setidaknya bukan negara bagi mereka yang berseberangan. Lorenzo terpaksa, atau mungkin dipaksa, minggat. Dia masih ingat, dua saudaranya tewas ditembak dalam pelarian.
Tubuhnya gempal. Rambutnya kribo mirip Ahmad Albar. Lorenzo ramah, dengan kehangatan yang tulus. “Tidak semua saudara saya ikut lari. Beberapa masih di Timor-Leste, sengaja tinggal di sana,” kenangnya. “Jika kami hendak kembali, ada tempat untuk berlindung.” Terbaca harapan untuk pulang di balik kata-katanya. Wajar. Anaknya masih berada di Timor-Leste. Untuk menjenguknya, Lorenzo kini tak cuma butuh nyali, tapi juga paspor.
Di tepian Teluk Saleh, Lorenzo menulis lembaran baru hidupnya. Dia merantau ke sini pada 2004 usai mengetahui bantuan pemerintah bagi kaum eksodus menipis. “Waktu itu, saya mendengar ada pekerjaan di kebun milik Ibu Bustanil Arifin,” ujarnya. Lorenzo dan istrinya datang bersama sekitar 100 orang Timor. Mereka kini menetap di rumah-rumah panggung yang bertaburan di kebun.
Saya singgah di kebun yang menyelamatkan hidup Lorenzo. Pohon mete, jeruk, dan buah naga tumbuh dalam petak-petak yang terpisah. Jaraknya dari bandara hanya 21 kilometer, tapi butuh waktu hampir satu jam untuk menjangkaunya. Pasalnya, sebagian jalan di sini belum diaspal, bahkan listrik pun baru mengalir di awal 2013. Bagi Lorenzo, itu masih lebih baik dari rumahnya di Timor-Leste yang penuh teror.
Pengelola kebun juga mendirikan sebuah resor mewah. Namanya Samawa Cottage, diambil dari nama suku yang mendiami kawasan barat Sumbawa. Penginapan ini menawarkan enam pondokan yang menatap Teluk Saleh. Beberapa tahun silam, pemilik resor mengirim Lorenzo ke Bali untuk mempelajari selam. “Sekarang saya sudah dive master. Siap bawa bule-bule menyelam di Sumbawa,” ujar Lorenzo. “Di Timor-Leste dulu, tidak ada yang suka bule. Mereka suka mengadu domba. Ha..ha..ha..”
Bersama Amin Tohari, Manajer Samawa Cottage, saya menyambangi Desa Taloa. Di sinilah Sumbawa menghasilkan salah satu produk terbaiknya: senjata tajam. Parang daerah ini tersohor di kalangan kolektor berkat nilai seninya yang tinggi.
Tiba di sebuah gubuk reyot, empat orang pandai besi sedang menempa bilah-bilah besi. Salah satunya disebut padre, orang yang tugasnya memanaskan besi di tungku. Tiga sisanya bertindak sebagai sawi, orang yang memukul-mukul besi dengan martil besar. Saat godam menghantam besi, getarannya menjalar di tanah. Mata saya terus berkedip-kedip. “Dalam satu hari, kami membuat 15 parang,” kata salah seorang sawi. “Besinya diambil dari besi bekas. Kadang dari rongsokan mobil. Gagangnya dari pipa Newmont.” Kami bersalaman. Telapak tangannya kasar, seperti jalan berbatu yang membelah desanya.
Pandai besi punya peran sentral dalam kehidupan agraris Sumbawa. Merekalah yang memasok perkakas yang dibutuhkan para petani dalam proses panen dan pembukaan lahan. “Satu parang harganya Rp500 ribu,” kata sawi lagi. “Kualitasnya jauh lebih baik dari parang yang dijual di pasar.”
Amin Tohari membawa saya kembali ke penginapan, melewati jalan rusak dan sawah yang terhampar di kaki bukit. Dalam minibus yang terus terguncang, kami berbincang tentang produk-produk khas Sumbawa lainnya. Ada madu yang diekstrak dari sarang lebah di hutan. Ada pula susu kuda liar yang dipercaya berkhasiat meningkatkan vitalitas. Kuda liar? Bagaimana cara memeras susunya?
“Awalnya, anak kuda ditangkap, lalu induknya akan menghampiri. Setelah itu, susunya diperas,” jawab Amin. Apa tidak takut ditendang? tanya saya lagi. “Sebenarnya bukan kuda liar. Tapi kuda peliharaan.” Kuda-kuda perkasa yang dulu ditulis Schelle dan Tobias, yang pernah merajai sabana dan perbukitan, kini telah beralih menjadi sumber kejantanan pria dalam menaklukkan wanita. Waktu memang sudah jauh berputar di Sumbawa.
Dua kapal perang berkeliaran di perairan Pulau Moyo. Bukan pemandangan yang lazim. Di Amanwana, resor yang berlokasi di tepian pulau, tiga tenda dikosongkan. Beberapa hari kemudian, datang satu rombongan. Seorang wanita anggun menginap di tenda nomor 20. Sedangkan para pengawalnya menghuni dua tenda di sebelahnya. Berminggu-minggu kemudian, berita pun menyebar: Putri Diana berlibur di Moyo.
Apa yang dicari sang putri? Selain dia, pernah datang Pangeran Belanda, bintang film Mandarin, serta diva asal Amerika. Apa yang membawa mereka? Pernah dalam sebuah sesi wawancara, Adrian Zecha, pendiri Grup Aman, menjelas-kan tiga hal yang ditawarkan resornya: “Alam yang asri, budaya yang simpatik, serta cuaca yang bersahabat.” Itukah alasannya?
Saya mengunjungi Moyo dengan perahu kayu. Pulau seluas 36 ribu hektare ini melintang di mulut Teluk Saleh, meninggal-kan dua selat sempit di kedua sisinya. Apa yang dicari kaum selebriti di sini? Moyo terlihat begitu jauh di pelupuk mata. Sebuah pulau tanpa bandara yang terisolasi laut.
Mendekati Moyo, tenda-tenda putih Amanwana terlihat berbaris memanjang di tepian. Di pelatarannya membentang laut berwarna pirus. Sedangkan di belakangnya, hutan mendekap dalam warna hijau. Resor ini sepertinya hendak mengajak tamunya menikmati safari di alam tropis.
Saya menginap di tenda nomor 11. Interiornya sangat mewah. Ada matras empuk, air panas, meja rias, dan lantai kayu mengilap. Tentu, bukan benda-benda itu yang membuat Putri Diana rela terbang ribuan kilometer ke Sumbawa. Di luar tenda, Amanwana menawarkan dunia yang sepenuhnya terpisah dari peradaban. Saban sore, rusa-rusa dari hutan berjalan-jalan di sekitar tenda. Setiap pagi, saya dibangunkan oleh kawanan monyet yang berkeliaran di atap terpal. Inilah barangkali yang dimaksud Adrian Zecha dengan “alam yang asri.”
Betapapun indahnya, Moyo bukannya tanpa ancaman. Satwa di jantung pulau ini kerap diburu. Populasinya terus menyusut. Saya jadi teringat seorang tentara yang dengan bangga menceritakan hobinya berburu rusa di Moyo, tanpa peduli hutan di sini berstatus cagar alam. “Kalau berburu babi, lebih enak bersama orang Bali,” kata si tentara itu lagi, “supaya bisa langsung dibuat dendeng.” Jauh dari pusat kekuasaan, pulau-pulau terpencil seperti Moyo memang rentan kerusakan. Di era otonomi, saat kekuasaan dipegang kepala-kepala daerah, tak banyak perubahan yang berarti.
Amanwana berusaha mengerem laju kerusakan melalui Moyo Conservation Fund. Inisiatif ini mengajak warga dan tamu terlibat dalam upaya-upaya perawatan pulau. Pihak resor, misalnya, menanam bio-rock. Mereka juga menebar keranjang sampah dan mengajak warga mengumpulkan sampah dari pantai. Rusa, ikon Moyo, juga mendapat perhatian. Tiga tahun silam, 10 ekor rusa direlokasi ke area di dekat resor. Jumlahnya kini bertambah menjadi 17 ekor (tiga di antaranya rutin berkunjung untuk menyantap dedaunan di dekat tenda, menyusuri pantai, kadang berkeliaran di sekitar restoran).
Di Desa Labuan Aji, sisi utara pulau, Amanwana merehabilitasi bangunan sekolah mengandalkan donasi tamu. “Amanwana menyumbang Rp500 juta untuk pembangunan gedung sekolah,” jelas Ikhsan, guru SDN 2 Pulau Moyo. Dua guru di sekolah ini juga rutin menerima tunjangan bulanan dari pihak resor. Lewat pendidikan, Amanwana berusaha melahirkan bibit-bibit lokal yang memahami pentingnya konservasi. Moyo terlalu luas untuk dirawat tanpa bantuan warganya.
Hari ini, saya menikmati tawaran terbaik Moyo: bersentuhan dengan alam—secara harfiah. Di suatu pagi, saya mandi di kaki air terjun di tengah pulau. Airnya bening seperti vodka. Rasanya segar di kerongkongan. Di hari yang lain, saya menyelam untuk melihat penyu yang terlelap di cekungan-cekungan karang. Penelitian oleh Badan Informasi Geospasial menemukan, perairan Teluk Saleh dihuni 59 genus karang dan 405 jenis ikan karang. “Ingin sekali menyelam di sini,” ujar seorang turis asal Eropa, di depan bar yang menghadap laut. “Saya dengar laut di Sumbawa masih terawat. Nelayan di sini menangkap ikan dengan metode tradisional.”
Berbeda dari Teluk Saleh, Tambora memiliki riwayat yang jelas. Gunung yang berada di utara teluk ini terbentuk lebih dari 50 ribu tahun silam. Namanya sempat bergonta-ganti. Dalam buku Suma Oriental karangan Tomé Pires, ia bernama Aram. Dalam karya-karya berikutnya, disebut Tamboro.
Para peneliti kerap merujuk Syair Kerajaan Bima saat merekonstruksi letusan Tambora. Berikut salah satu stanzanya: “Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu/Kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang/Kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang/Lamanya tiga hari dua malam.”
Ahli vulkanologi menobatkannya sebagai erupsi terbesar dalam sejarah modern, dengan skala kehancuran yang jauh mengalahkan Krakatau. Cairan api mengalir ke segala penjuru. Pohon-pohon tercerabut dari akarnya dan terlempar ke udara. Permukaan laut naik dan menyapu sawah, rumah, dan segala yang dilewatinya. Raffles, yang waktu itu berada di Jawa, mengutus kapalnya untuk membantu para korban, tapi tak bisa berbuat banyak. Monopoli Belanda atas kayu secang pun berakhir. Korban letusan di Sumbawa dan sekitarnya, lebih dari 100 ribu jiwa. Angka yang kolosal pada 1815.
Saya menyambangi Tambora dengan perahu yang digerak-kan mesin buatan Cina. Suaranya memekakkan telinga, meme-cah keheningan pagi di Teluk Saleh. Setelah hampir tiga jam, sosok gunung kian jelas. Atapnya datar, mirip Gunung Meja di Afrika Selatan. Letusan hampir 200 tahun silam telah menyunat tinggi Tambora, dari 4.200 meter menjadi 2.800 meter.
Legenda meyakini, letusan Tambora disebabkan murka Tuhan. Syair Kerajaan Bima kembali menulis: “Asalnya konon Allah Taala marah/Perbuatan Sultan Raja Tambora/Membunuh tuan haji menumpahkan darah/Kuranglah pikir dan kira-kira.” Syahdan, Raja Tambora menyuguhkan daging anjing ke seorang haji, memaksanya memakannya, lalu membunuhnya.
Setahun pascaletusan, abu menyelimuti dunia. Di belahan bumi utara, salju turun di tengah tahun. “Tahun tanpa musim panas,” begitu sejarah mengenangnya. Dalam naungan kegelapan itulah Lord Byron menulis puisi bertajuk Darkness. Dua bait pembukanya merekam ketakutan: “Saya bermimpi, tapi bukan mimpi yang sebenarnya. Matahari yang terang telah menghilang, juga bintang-bintang.”
Ledakan Tambora memicu visi hari kiamat di kalangan penulis Barat. Kita pun mengenal Frankenstein, sebuah novel horor dalam konteks tahun 1816 yang kelabu. Mary Shelley menulisnya saat terperangkap langit gelap Lake Geneva, momen yang mengubah liburannya menjadi pengalaman angker. Meski begitu, ada satu catatan manis yang terinspirasi erupsi. Kegagalan panen di Jerman membuat biaya pemeliharaan kuda terlalu mahal. Sepeda lalu diciptakan sebagai moda transportasi alternatif.
Perahu ditambatkan, lalu saya menaiki ojek. Setelah 30 menit, jalan yang awalnya mulus berubah terjal dan curam. Saya kini memasuki rute para pendaki. Usai tersiksa selama satu jam, saya mendarat di sebuah rumah tua yang telah disulap menjadi penginapan. Namanya Pesanggrahan Tambora. Haraldur Sigurdsson, peneliti dari University of Rhode Island, pernah menginap di sini saat melakukan ekskavasi situs Kerajaan Tambora, imperium yang ditelan letusan.
Pesanggrahan Tambora berlokasi di tengah kebun kopi warisan Belanda. Luas kebun awalnya 500 hektare. Sekarang, kebun dikelola pemerintah setempat. Sayang, akibat tak diurus serius, sebagian lahan berubah menjadi belukar. “Kopi tumbuh hanya mengandalkan tanah subur bekas letusan,” ujar Suparno, pengelola penginapan, sembari menyuguhkan secangkir kopi panas.
Tahun depan, kebun kopi ini bakal dijadikan pusat peringatan 200 tahun erupsi Tambora. Warga di lereng dan komunitas internasional akan bersama-sama mengenang bagaimana sebuah bisul di Hindia Timur meletus dan menghantui bumi dengan ancaman Ice Age.
Sebuah aula sedang dibangun di tengah kebun kopi. Artefak-artefak kerajaan yang ditemukan para peneliti akan dipajang di dalamnya. Sebelum Sigurdsson memublikasikan temuannya, Kerajaan Tambora nyaris tak dikenal. Sekarang, imperium ini marak dipergunjingkan. Sejumlah media bahkan menjulukinya “Pompeii of the East,” merujuk pada kota legendaris Italia yang hancur akibat erupsi Vesuvius pada tahun 79.
Bersama Suparno, saya menuju ke pabrik pengolahan biji kopi. Strukturnya mirip hangar pesawat. Ribuan biji kopi dijemur di pelatarannya. Saya memasuki interior pabrik dan menemukan sebuah mesin tua berbalut karat. Kejayaan pabrik ini sudah lama berlalu. Lapisan-lapisan seng di tubuhnya rontok dimakan usia.
“Indonesia seharusnya malu,” kata Suparno. “Di zaman Belanda, pabrik kopi ini maju. Jika kebun dan hutan dimanfaatkan, masyarakat bisa hidup makmur.” Saya lalu bercerita tentang kebun kopi di Magelang yang berhasil diubah menjadi obyek wisata. “Saya maunya seperti itu. Tapi tak ada modal,” timpalnya. “Listrik saja belum masuk ke sini.”
Kopi adalah komoditas andalan Sumbawa jauh sebelum Tambora meledak. Berkarung-karung kopi diangkut tiap tahunnya oleh kapal-kapal Belanda yang merapat di sisi utara pulau. Suparno ingin melangkah ke masa depan, tapi dia hanya bisa membanggakan masa lalu. Dia terus bercerita tentang kebun yang subur, hutan yang lebat, nasib yang lebih baik.
Saya sempat menonton film hitam-putih tentang proses pembukaan kebun kopi di lereng Tambora. Diiringi narator berbahasa Belanda, seorang meneer berperut buncit memerintahkan warga membuka hutan. Dengan bertelanjang dada, kaum pria menerabas belantara sambil berteriak-teriak. Ada satu pohon yang begitu lebar diameternya hingga bisa dipeluk oleh delapan orang sekaligus. Untuk merobohkannya, warga membangun menara untuk menjangkau bagian perut pohon, lalu menebasnya dengan kapak beramai-ramai.
Hutan di gunung ini sudah banyak berkorban untuk menyuplai kebutuhan kafein dunia. Melihat kebun kopi kini telantar, keinginan Suparno untuk mengulang sejarah bisa dipahami. Lagi pula, di Tambora, masa lalu memang tidak pernah benar-benar silam. Tempat ini memaksa kita menengok masa penjajahan, letusan dahsyat, juga kisah-kisah pedih yang menyertainya. Pendaki di sini mungkin lebih tepat disebut peziarah.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Bandara Sultan M. Kaharuddin (sebelumnya bernama Brang Biji) hanya dilayani oleh dua maskapai—TransNusa (transnusa.co.id) dan Merpati Nusantara (merpati.co.id)—dari Bali dan Lombok. Tamu yang bermalam di Amanwana, Pulau Moyo, bisa memanfaatkan jasa pesawat carter dari Bali yang ditawarkan pihak penginapan.
Penginapan
Di tepi kebun buah di Tanjung Menangis, Samawa Seaside Cottage (Tanjung Menangis, Sumbawa Besar; 0371/217-54; samawaseasidecottages.com; pondokan isi dua orang mulai dari Rp1.500.000) menawarkan enam pondokan bertubuh kayu yang menghadap Teluk Saleh dan Pulau Moyo. Menu tradisional Sumbawa, contohnya sepat dan singang, bisa ditemukan di restorannya. Di Pulau Moyo, resor mewah Amanwana (Pulau Moyo; 0371/222-33; amanresorts.com; tenda isi dua orang mulai dari $800) menyuguhkan konsep safari di alam liar. Tamu menginap di tenda beratapkan terpal putih yang berbaris menghadap laut dan membelakangi hutan, di mana kawanan rusa, monyet, dan babi berhabitat.
Aktivitas
Amanwana menawarkan banyak aktivitas yang akan membawa Anda bersentuhan dengan alam, seperti menyelam, trekking, menembus belantara dengan jip, serta mengunjungi air terjun di tengah Pulau Moyo. Dari dermaga resor, tamu juga bisa mencicipi paket cruise untuk menikmati matahari terbenam, menyambangi pulau cantik Satonda di sisi utara Teluk Saleh, bahkan meneruskan tur ke Taman Nasional Komodo menggunakan kapal pesiar Amanikan. Untuk mengarungi Teluk Saleh, Anda bisa menyewa perahu dari nelayan setempat. Di kaki Tambora terdapat rumah warisan Belanda yang telah disulap menjadi penginapan. Hubungi Suparno (0821-4741-5714) jika ingin bermalam di sini. Sekitar satu kilometer dari penginapan, Anda bisa menemukan situs penggalian artefak Kerajaan Tambora.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari-Februari 2014 (“Stanza Saleh”).