panduan wisata Australia Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/panduan-wisata-australia/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Wed, 06 Jan 2021 05:17:29 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 Proyek Menyelamatkan Raksasa Lautan https://destinasian.co.id/proyek-menyelamatkan-raksasa-lautan/ Tue, 17 Dec 2019 09:19:24 +0000 https://destinasian.co.id/?p=52338 Sejumlah lembaga berkolaborasi menyelamatkan Great Barrier Reef. Problem menumpuk, tapi waktu tak berpihak.

The post Proyek Menyelamatkan Raksasa Lautan appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Seorang staf operator selam Tusa 6 sedang memeriksa kondisi arus air di Hamilton Reef, Great Barrier Reef (GBR), kawasan yang didera problem coral bleaching kronis.

Teks & foto oleh Giacomo D’Orlando

Lebih dari 300 juta jiwa bergantung pada ekosistem yang ditopang oleh terumbu karang, baik sebagai mata pencaharian maupun sumber pangan. Dalam konteks yang lebih luas, hidup sekitar tujuh miliar penduduk bumi dipengaruhi oleh cuaca dan siklus musim yang turut ditentukan oleh kadar kesehatan laut. Laut, yang mewakili lebih dari 70 persen permukaan planet ini, punya peran vital dalam beragam aspek kehidupan.

Great Barrier Reef (GBR) adalah miniatur dari gentingnya hubungan manusia dan alam itu. Kompleks bahari ini membentang lebih dari 2.000 kilometer di lepas pantai timur laut Australia. Di area yang luasnya setara 10 kali Jawa Tengah ini terdapat lebih dari 400 jenis koral dan sekitar 600 pulau. Di rahim lautnya berkeliaran lebih dari 1.500 spesies ikan, 4.000 jenis moluska, ditambah spesies cacing, krustase, dan ekinodermata yang hingga kini belum tuntas terhitung jumlahnya.

Setidaknya hingga saat ini, GBR merupakan kompleks terumbu karang terbesar sejagat. Ukurannya begitu kolosal hingga GBR dijuluki satu-satunya makhluk hidup di muka bumi yang terlihat dari luar angkasa. Ia tercantum sebagai satu dari tujuh keajaiban alam dunia, juga terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1981.

Douglas Baird, Environment Manager Quicksilver Group, bemitra dengan sejumlah peneliti dalam eksperimen menumbuhkan karang di GBR.

Kendati begitu, makhluk raksasa ini tidaklah perkasa. GBR rapuh dan rentan. Terumbu karang di sini terus mengalami degradasi akibat berbagai tekanan eksternal, termasuk perubahan iklim dan polusi. Manusia punya andil dalam setiap masalah yang menimpanya.

Pemanasan global telah memicu perubahan iklim yang berdampak pada ekosistem laut. Salah satu ekses utamanya ialah coral bleaching (pemutihan karang), sebuah fenomena yang dalam banyak kasus berujung pada kematian karang. Untuk lebih memahaminya, kita mesti sejenak mengulas komposisi fisik karang.

Karang dibentuk dari simbiosis mutualisme antara rangka hidup dan alga. Rangka karang, yang menjalankan fungsi pelindung dan pendukung, dirangkai dari endapan kalsium karbonat yang dikeluarkan oleh koloni polip kecil. Rangka ini perlu tumbuh lebih cepat dibandingkan daya kikis air laut, dan solusi yang diambilnya ialah bermitra dengan alga. Karang menyantap alga, tapi tidak mencernanya, melainkan membiarkannya merasuki jaringan tubuhnya guna mengembangkan kongsi yang saling menguntungkan.

Tur menggunakan perahu berlambung kaca di Agincourt Reef.

Layaknya tanaman, alga membutuhkan sinar matahari untuk keperluan fotosintesis. Proses ini menghasilkan senyawa gula, yang kemudian dimanfaatkan karang sebagai sumber energinya. Di sisi lain, fotosintesis ini juga menghasilkan residu berupa limbah beracun yang berbahaya. Secara umum, karang mampu membuang limbah itu. Problemnya kemudian, kenaikan suhu membuat alga bermetabolisme terlalu cepat, sampai-sampai karang tak punya cukup waktu untuk membuang racunnya. Untuk mengatasinya, satu-satunya jalan keluar bagi karang ialah buru-buru mengusir alga dari tubuhnya. Tapi solusi darurat ini ternyata juga punya efek samping: karang kehilangan warnanya, pelan-pelan memutih, dan mengalami apa yang disebut pemutihan. Usai fase sekarat ini, karang hanya sanggup bertahan hidup antara satu minggu hingga dua bulan, tergantung pada spesiesnya dan cadangan nutrisinya. Jika gagal menemukan alga baru untuk menopangnya, karang pun mati. Di alam, ketidakseimbangan lingkungan selalu menciptakan ketidakseimbangan baru.

Setidaknya tercatat ada tiga peristiwa besar pemutihan karang massal di GBR: 1998, 2002, dan 2016. Pada 1998, pemutihan terkonsentrasi di pesisir, dengan kondisi terparah terlihat di wilayah tengah dan selatan GBR. Pada 2002, pemutihan meluas hingga wilayah tengah yang selamat dari bencana 1998. Pada 2016, pemutihan jauh lebih masif dan kronis, terutama di wilayah utara. Secara kumulatif, gabungan jejak dari ketiga peristiwa pemutihan itu mencakup hampir seantero kawasan GBR.

Tapi pemanasan global bukanlah satusatunya ancaman bagi terumbu karang. Merujuk penelitian sejumlah lembaga yang bekerja melindungi terumbu karang, contohnya AIMS (Australian Institute of Marine Science), JCU (James Cook University), dan ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies, GBR tercatat telah kehilangan separuh dari bentangan karangnya sejak 1985 akibat varian sebab.

Kiri-kanan: Seorang peneliti mengecek dampak sedimen pada karang di ruangan Sea Simulator yang dilengkapi 840 LED dengan 22 warna; karang yang sedang sekarat di GBR.

Selain pemanasan global, kesehatan karang dipengaruhi oleh tingkat keasaman air laut. Laut telah menyerap hampir sepertiga karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer oleh aktivitas manusia. Saat larut dalam air, karbon dioksida membentuk asam karbonat, menurunkan pH air dan mengurangi ketersediaan kalsium karbonat yang dibutuhkan karang untuk membentuk rangka mereka.

Kualitas air sangat vital bagi karang. Sayangnya, sedimen berlebih akibat pencemaran telah meningkatkan kadar kekeruhan air, menyebabkan penurunan intensitas cahaya, serta melahirkan banyak masalah dalam proses fotosintesis organisme, termasuk karang.

Di sisi lain, rendahnya kualitas air juga mengganggu ekosistem dalam menjaga keseimbangan populasi makhluk penghuninya. Seperti di darat, predator berlebih (juga mangsa berlebih) berpotensi merusak alam. Di GBR, masalah pelik itu dihadirkan oleh bintang laut mahkota duri (crown of thorns). Dalam beberapa tahun terakhir, populasinya membesar dan menjadi wabah di dasar laut. Mereka memakan karang dan memusnahkan seluruh koral keras yang berada di jalur mereka.

Tanpa sumber-sumber ancaman eksternal, tutupan terumbu karang dapat pulih rata-rata tiga persen per tahun. Tantangan besar saat ini ialah merumuskan solusi agar karang bisa tumbuh di tengah pemanasan global. Manusia, yang awalnya pangkal masalah, kini dituntut untuk menjadi sumber solusi, demi menyelamatkan alam, juga nyawa mereka sendiri.

Laporan dari ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies yang memperlihatkan bagian GBR yang mengalami pemutihan karang.

Di tengah pergeseran pesat fungsi lingkungan, perubahan sosial, serta pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan riset mutakhir perihal perubahan iklim menjadi kian mendesak. Guna melawan dampak perubahan iklim terhadap GBR, berbagai lembaga melakukan penelitian dan eksperimen demi menemukan solusi untuk melindungi terumbu karang.

Salah satu penasihat ilmiah yang paling tepercaya di Australia adalah AIMS. Sejak 1972, lembaga ini telah menyelidiki ekosistem laut di bagian utara Australia dengan tujuan mendukung perlindungan dan pemanfaatan sumber daya laut, serta mengumpulkan data jangka panjang untuk menyokong aktivitas industri, pemerintah, serta peneliti.

Amunisi andalan AIMS bernama National Sea Simulator, sebuah laboratorium gigantik di mana para ilmuwan meneliti terumbu karang. Fasilitas yang diresmikan pada Agustus 2013 ini memungkinkan peneliti membayangkan kondisi laut di masa depan ketika suhu dan kadar keasaman meroket ekstrem. Tak kalah canggih, Sea Simulator mampu memberikan kontrol yang presisi atas variabel-variabel lingkungan, termasuk kualitas air.

Kiri-kanan: Seorang peneliti laut memperlihatkan ranting-ranting karang yang sudah mati di perairan Whitsunday Islands; panorama udara Hewitt Reef yang terhampar di sisi tengah GBR.

Dalam beberapa tahun terakhir, AIMS telah bekerja sama dengan peneliti JCU dan ARC dalam pengembangan karang hibrida yang resistan terhadap problem pemutihan. Dinamai “super-coral,” produk rekayasa ini diklaim sanggup bertahap di tengah kenaikan suhu air laut. Terobosan ini tentu saja membangkitkan harapan akan pemulihan karang, walau pekerjaan rumah masihlah menumpuk untuk menjaga laut tetap sehat.

Lembaga lain yang terlibat dalam proyek super-coral ialah Great Barrier Reef Legacy. LSM ini mendanai dan menggelar pelayaran, serta bergerilya menjaring donasi untuk kemudian diberikan kepada para ilmuwan dan inovator. Melalui kolaborasi dengan AIMS, mereka hingga kini telah mengumpulkan 12 koloni karang hidup yang berhasil selamat dari peristiwa pemutihan terakhir. Karang penyintas ini diboyong ke Sea Simulator untuk dikaji sebagai rujukan dalam penciptaan karang hibrida artifisial yang lebih tangguh.

Menurut laporan Deloitte Access Economics, GBR memiliki nilai ekonomi dan sosial sebesar $56 miliar (setara Rp750 triliun). Kawasan ini juga menyediakan 64.000 pekerjaan (mayoritas terkait pariwisata) dan menyumbang $6,4 miliar bagi perekonomian Australia dari 2015-2016. Jutaan turis melawat tempat ini saban tahunnya, menjadikan pariwisata sebagai sektor bisnis terbesar di sepanjang garis pantai GBR. Banyak kota dan nyawa menyandarkan hidup mereka pada ikan dan karang GBR.

Kiri-kanan: Peneliti laut Hayley Brien sedang memantau kondisi karang keras berusia sekitar seabad di kawasan tengah GBR; peneliti laut Paul O’Dowd telah bekerja di GBR selama satu dekade.

Menyadari pentingnya GBR untuk perekonomian nasional Australia, bahkan operatoroperator tur pun turut menggelar eksperimen demi menyelamatkan karang dari pemutihan. Quicksilver Group, operator yang menawarkan paket menyelam dan snorkeling di sekitar Port Douglas, mengambil terobosan yang cukup cerdik dalam restorasi karang, yakni dengan memasang semacam rangka bawah air yang terhubung ke instalasi pembangkit listrik. Setidaknya kini sudah terpasang tiga panel rangka baja berukuran 1,5 x 3 meter di area yang berisi reruntuhan karang. Di tahap awal, harapannya, tubuh karang yang rapuh akan kembali stabil. Setelahnya, benih-benih karang akan tumbuh.

Mengamankan keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang mensyaratkan kerangka kerja, tata kelola, dan pendekatan baru dalam manajemen ekosistem laut. Tak cuma mengatasi emisi gas rumah kaca, agenda menyelamatkan karang juga membutuhkan pemahaman yang lebih jelas tentang berbagai sebab dan akibat dari masalahnya.

Satu yang penting dicatat, semua intervensi dan inisiatif yang diambil oleh lembaga lokal dan internasional barangkali tak memadai untuk mengamankan masa depan seluruh karang, termasuk di GBR. Ancaman kepunahan karang sudah mencapai stadium tinggi, dan karena itu aksi segera dan nyata dibutuhkan untuk mengatasinya.

Berkat globalisasi, terumbu karang memang kian mudah diakses. Hal ini telah memicu eksploitasi, walau di saat yang sama juga menyediakan peluang bagi lahirnya solusi kolaboratif yang melibatkan banyak lembaga internasional. Semua pihak mesti memasang asa untuk kelangsungan terumbu karang. Proyeksi bencana di masa depan harus diimbangi dengan harapan positif agar tidak memicu keputusasaan. Tak kalah penting, publik harus sadar akan peran dan tanggung jawab mereka sebagai makhluk yang bergantung pada laut.

PANDUAN
Rute
Great Barrier Reef (GBR) terletak di lepas pantai negara bagian Queensland. Gerbang udara utama kawasan ini ialah Cairns Airport, Whitsunday Coast Airport, dan Hamilton Island Airport. Kota-kota utama di pesisir Queensland juga telah terkoneksi dengan kereta dari Brisbane.

Informasi
Beragam informasi terkait pariwisata di GBR, termasuk akomodasi dan paket tur, bisa ditemukan di situs Tourism Australia atau Tourism Queensland. Untuk memahami arti penting GBR bagi bumi dan inisiatif konservasi di kawasan ini, kunjungi situs Great Barrier Reef Marine Park, Great Barrier Reef Foundation, serta Great Barrier Reef Legacy.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2019 (“Menolong Raksasa”)

The post Proyek Menyelamatkan Raksasa Lautan appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Tur Emas ke Perut Bendigo https://destinasian.co.id/tur-emas-ke-perut-bendigo/ Mon, 26 Aug 2013 04:02:34 +0000 http://destinasian.co.id/?p=3638 Napak tilas ke tambang-tambang emas yang mengubah nasib Australia.

The post Tur Emas ke Perut Bendigo appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Kiri-kanan: Fasad Katedral Sacred Heart di malam hari; interior Katedral Sacred Heart.

Oleh Muhammad Fadli

Terperangkap 61 meter di dalam perut bumi mungkin bukan cara yang tepat untuk memulai aktivitas wisata. Di awal musim gugur, saat daun-daun di Australia berubah kuning dan merah, saya justru melangkahkan kaki di lubang-lubang yang membentuk jaringan “rumah tikus” di barat laut Melbourne. Gelap, lembap, dan pengap, meski oksigen senantiasa dialirkan.

Saya berada di Central Deborah Gold Mine, sebuah bekas tambang emas di daerah Bendigo, satu dari sedikit tempat di mana orang-orang rela membayar untuk bisa memasuki terowongan dan mengotori tubuh mereka. Sejarah Bendigo adalah sejarah pertambangan emas. Turis berdatangan untuk menyelami memori tersebut, memori yang dulu menempatkan Australia di peta dunia—bukan cuma sebagai tempat pengasingan narapidana, tapi juga tanah harapan.

Kiri-kanan: Darryl, pemandu tur di Central Deborah Goldmine; tur di dalam tambang emas. Jelas bukan untuk mereka yang mengidap claustrophobia.

“Sssh jangan beri tahu siapa pun jika Anda menemukan emas, nanti temui saya di area parkir. Hasilnya kita bagi rata,” Darryl sang pemandu berbisik dengan mimik serius. Kami tertegun sejenak, sebelum akhirnya menyadari dia sedang berkelakar. “Jangan sekali-kali berpikiran mereka (penambang) akan menyisakan emas.” Darryl tertawa. Suaranya bergema ke penjuru terowongan.

Kami merangsek kian dalam, layak-nya petualang penasaran dalam film Journey to the Center of the Earth. Seperti pengunjung lainnya, saya diwajibkan mengenakan aksesori standar pekerja tambang: aki dan helm yang dilengkapi senter. Satu-satunya yang sejak awal menjadi beban pikiran adalah, bagaimana kalau terowongan ini tiba-tiba ambruk?

Peserta tur wajib mengenakkan safety wear pack di dalam tur gua.

Para penggali emas dulu mungkin dihantui paranoia serupa. Setiap hari. Tiap kali mereka melangkah. Tapi ketakutan itu sepertinya dikalahkan oleh ambisi untuk mengeruk uang. Logam mulia memberikan nyawa pada Bendigo, sekaligus mengubah kota ini dari sentra peternakan sapi menjadi surga tambang. Menurut pemerintah setempat, Bendigo adalah ladang emas tersubur kedua di Australia. Sejak emas ditemukan pada 1851, hasil panen di sini bernilai sekitar sembilan miliar dolar, cukup untuk membangun Jembatan Selat Sunda.

Emas itu memunculkan bank-bank yang berbaris di bulevar. Emas juga melahirkan gedung-gedung berarsitektur anggun yang membuat iri daerah-daerah tetangga. Dan emas membuat Bendigo layaknya kota Erebor yang dipenuhi dwarf dalam novel The Hobbit. Mereka giat menggali, membuka rongga demi rongga, memburu logam-logam yang berkilauan dalam gulita. Pertambangan berlangsung masif. Mesin-mesin berputar sepanjang hari hingga menghasilkan istilah “the soundtrack of Bendigo.”

Joss House of Bendigo, salah satu kuil Cina yang masih beroperasi hingga sekarang.

Eksplorasi bawah tanah baru dimulai pada 1860, setelah penambangan di permukaan dianggap tak lagi menjanjikan. Central Deborah Gold Mine, satu-satunya bekas tambang yang kini dibuka untuk umum, memiliki kedalaman maksimum 410 meter. Jika Empire State Building ditanam di dalamnya, cuma antenanya yang terlihat di permukaan.

Kami terus menelusuri tambang. Pada satu titik Darryl memperlihatkan denah terowongan yang mencakup 17 level. “Di kota ini masih banyak terowongan lainnya. Salah satunya bahkan memiliki kedalaman lebih dari 1.000 meter,” ujarnya. Dunia bawah tanah Bendigo jauh lebih kompleks dibandingkan kotanya sendiri. Terowongan saling terkoneksi dan membentuk labirin yang membentang hampir ke semua arah. Menurut mitos, Anda bisa masuk di satu titik lalu keluar di sisi kota yang lain.

Saya turun hingga level dua. Penyuka tantangan bisa turun hingga ke level sembilan. Nama tur ini membuat bulu merinding: Nine Levels of Darkness.

Kiri-kanan: Trem yang digunakan sebagai transportasi publik di Bendigo; suasana sore hari di Central Bendigo.

Central Deborah Gold Mine adalah tambang emas yang terakhir ditutup. Beroperasi selama 15 tahun, dari 1939 hingga 1954, tempat ini memproduksi sekitar 900 kilogram emas. Ide cemerlang lalu timbul untuk menyulapnya menjadi museum. Bendigo tak lagi memikat pemburu logam, tapi setidaknya ia memiliki aset sejarah untuk menggoda turis. Pada 1986, museum dibuka dengan tawaran blasak-blusuk terowongan.

Tapi ide itu tidak mudah untuk dieksekusi. Lorong-lorong bawah tanah bukan tempat jalan-jalan yang ideal bagi turis. Infrastruktur tambahan mesti dipersiapkan dan emas tak lagi tersedia untuk membiayai itu semua. “Kami butuh setidaknya seratus ribu dolar per tahun untuk memompa air dan mengurus segalanya,” ujar Darryl. “Jika tidak, air akan memenuhi tambang, sehingga eksplorasi mustahil dilakukan.” Saat ini tambang hanya bisa diakses hingga level sembilan. Lebih dalam dari itu hanya ada kolam raksasa. Dan saat pompa berhenti beroperasi, kolam itu menggenangi level-level di atasnya.

Kiri-kanan: Galeri seni Bendigo. Salah satu galeri terbesar di negara bagian Victoria dengan koleksi beragam mulai dari lukisan Abad ke-19 hingga kesenian kontemporer; trem kuno di Museum Bendigo Tramways.

Jika catatan gemilang dari masa lalunya dilucuti, Bendigo hanyalah sebuah permukiman yang sederhana. Dengan populasi sekitar 100 ribu jiwa, dengan jalan-jalan yang saban hari nyaris kosong, “kota praja” ini terasa begitu sunyi. Melihat sepintas, sulit dipercaya Bendigo pernah menjadi tanah harapan.

Tapi jejak demam emas masih bisa ditemui di penjuru kota, antara lain berupa ikon-ikon budaya yang lahir dari gairah tambang itu sendiri. Beberapa tahun setelah penemuan emas, Bendigo disatroni banyak pekerja impor. Tidak hanya dari daratan Eropa, tapi juga sekitar 5.000 pekerja tambang asal Cina. Artefak yang mereka tinggalkan antara lain Golden Dragon Museum yang menyimpan barongsai super panjang, serta kelenteng sepuh Joss House.

Koleksi wine di Wine Bank, sebuah toko khusus untuk wine.

Potret kejayaan masa lampau juga bisa disaksikan dalam wujud koleksi bangunan Victorian yang melimpah. View Street, salah satu jalan utama di pusat kota, adalah lokasi terbaik untuk menyaksikannya. Awalnya dibangun untuk melayani transportasi antara Bendigo dengan Eaglehawk di akhir 1880-an, kawasan ini bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan elite empat dekade kemudian.

Banyak bangunan di View Street telah beralih fungsi, tapi fasad aslinya tetap dipertahankan. Contohnya kantor pemadam kebakaran yang kini menjadi bagian kompleks teater, atau bangunan English, Scottish, & Australian Bank yang dihuni restoran. The Sandhurst Club adalah pengecualian. Sejak didirikan pada 1893, tampilan dan fungsi kelab khusus pria ini tak berubah. Bahkan aturan untuk menolak wanita sebagai anggota masih berlaku.

Kiri-kanan: Hidangan selada di Mason, salah satu restoran tersohor di Bendigo; hidangan lain dari menu di Mason.

Masih di kawasan yang sama, ada Bendigo Art Gallery, salah satu galeri seni tertua di Negara Bagian Victoria. Mayoritas lukisan uzur di sini mendo-kumentasikan momen-momen penting dalam periode demam emas dan babad awal Australia. Kodrat Bendigo sebagai kawasan tambang turut menyuntikkan kreativitas ke benak para seniman.

Saya datang saat Bendigo Art Gallery memamerkan foto-foto stereografis langka karya John H. Jones. Di sekeliling ruangan terpajang setidaknya 50 foto yang kebanyakan belum pernah dipubli-kasikan sejak dibuat 150 tahun silam. Beberapa di antaranya merupakan foto lanskap dan kota-kota kecil di rute antara Melbourne dan Bendigo. Kini, dengan bantuan teknologi tiga dimensi, publik bisa menyaksikan adegan-adegan yang dulu disaksikan Jones. Dari balik kaca-mata 3D, saya terlempar ke masa lampau.

Kiri-kanan: Fasad Shamrock Hotel berbentuk bangunan kuno bergaya Victoria; interior dan furnitur bergaya Victoria di Shamrock Hotel.

Hanya selemparan batu dari View Street, kawasan hijau Rosalind Park menampung orang-orang yang menggelar piknik. Di hadapan taman, patung George Lansell berdiri jemawa dengan tangan kiri menggenggam sedimen yang mengandung emas. Mengelola hampir 40 tambang, pria asal Inggris itu kerap dijuluki Australia’s Quartz-King. Tapi bukan kekayaan yang membesarkan namanya. Pada 1880-an, George, yang saat itu sudah mudik ke London, diminta kembali oleh warga Bendigo untuk memulihkan industri tambang yang sedang terjun bebas. George juga memiliki yayasan untuk membantu mereka yang menjadi tumbal tambang emas: para janda dan yatim. Di hari terakhir hidupnya, semua gereja di Bendigo memanjatkan doa dan bendera-bendera dikibarkan setengah tiang.

Tipikal kota-kota kecil di Negeri Kanguru, geliat kehidupan di Bendigo meredup secara tiba-tiba saat senja datang. Pemandangan berbeda berlangsung di Masons of Bendigo, restoran yang belakangan jadi bahan perbincang-an usai memenangkan Golden Plate Awards. “Belum akhir pekan, tapi resto-ran ini penuh. Ini bukan tempat yang biasa,” ujar Claire, teman asal Bendigo yang kini menetap di Indonesia. Karena tidak begitu lapar, kami memesan scallops Florentine panggang dan labu bakar.

Malam kian larut. Di luar restoran, sepi merasuk cepat. Kisah emas telah ditutup, tapi Bendigo belum kehilangan pesonanya untuk memikat pendatang.

PANDUAN
Rute
Bendigo berjarak sekitar 130 kilometer ke arah barat laut Melbourne, Ibu Kota Negara Bagian Victoria. Penerbangan dari Jakarta ke Melbourne dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) via Bali, dan oleh Qantas (qantas.com.au) via Sydney. Dari Melbourne, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Bendigo dengan alat transportasi publik seperti kereta atau bus.

Penginapan
Berjarak dekat dari Rosalind Park, The Hotel Shamrock (Corner of Pall Mall & Williamson Street, Bendigo; 03/5443-0333; hotelshamrock.com.au; doubles mulai dari $140) adalah pijakan ideal untuk mengeksplorasi kota. Penginapan bergaya Victorian ini menaungi 28 kamar dan dua bar yang cukup populer di kalangan warga lokal. Opsi lainnya adalah Fountain View Suites (10-12 View Street, Bendigo; 03/5441-7003; allawahbendigo.com; doubles mulai dari $170) yang menyuguhkan panorama pusat bisnis dan Rosalind Park.

Aktivitas
Sementara ini, Central Deborah Gold Mine (central-deborah.com) adalah satu-satunya bekas tambang emas bawah tanah yang terbuka untuk umum. Pengunjung dapat memilih beberapa opsi tur, mulai dari level dua hingga sembilan, dengan durasi paling singkat 75 menit dan tarif mulai dari $27,3. Tingkat kesulitan tiap paket bervariasi. Agar lebih hemat, tiket bisa dikombinasikan dengan Vintage Talking Tram, tur hop-on hop-off ke obyek-obyek wisata di kota, seperti taman dan bangunan bergaya Victorian yang masih tera-wat. Untuk menyaksikan masa lalu kota dari kaca-mata seniman, Bendigo Art Gallery (bendigoartgallery.com.au) wajib disambangi.

Diterbitkan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2013. (“Heritage: Kilas Emas”).

The post Tur Emas ke Perut Bendigo appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>