by Yohanes Sandy 30 October, 2015
Surga di Kaki Myanmar
Aturan di atas kapal sepanjang 25 meter ini sederhana: melepas alas kaki dan berbuat sesukanya. Penumpang bisa mempelajari simpul-simpul tali di layar Meta IV, bermalas-malasan sembari berjemur, atau bersantai membaca buku. Di dek bawah tersebar empat kabin yang ringkas, simpel, nyaman, dan dilengkapi kamar mandi. Matras sebenarnya lumayan sempit, namun setidaknya katering kapal ini sangat memuaskan dan kotak esnya senantiasa terisi minuman.
Kapal mengangkat sauh. Pada malam pertama, fantasi saya tentang sudut dunia yang hampa langsung pupus usai mendengar dengung mesin dan melihat lampu sorot kapal-kapal nelayan yang berkerumun di Octopus Bay. Kapal-kapal ini pemandangan jamak, walau untungnya mereka tidak muncul setiap waktu.
Selain nelayan, kami juga menemui warga etnis Moken, kaum gipsi laut yang menjalani kehidupan semi-nomaden di perairan Mergui selama berabad-abad. Kami biasanya mengintai mereka sedang berdiri tegak seraya menggerakkan dua dayung yang disilang layaknya gunting laut.
Ada banyak cerita mengagumkan seputar komunitas Moken. Saya pernah membaca bagaimana mereka lolos tanpa cedera dari bencana tsunami 2004. Merujuk beberapa laporan, penyebabnya adalah kemampuan superior mereka dalam membaca gejala di laut. Tapi AK punya pendapat berbeda. Katanya, Moken selamat karena terlindungi oleh pulau-pulau di Mergui yang bertindak layaknya gugusan pemecah ombak. Apa pun penjelasannya, saya tak sabar untuk menemui gipsi laut tersebut.
Di pagi pertama, saya berenang di perairan hangat Laut Andaman, menikmati tur kayak ke Pulau Za Det Nge, serta menemukan beberapa fakta miris tentang kepulauan “perawan” ini.
Dari kejauhan, pesisir Za Det Nge terlihat seperti foto-foto menawan di kartu pos. Tapi dari dekat, yang tersaji adalah gundukan sampah. Akar-akar pepohonan digerayangi plastik, botol beling, sandal jepit, gabus, dan beragam sampah buangan kapal.
Pemandangan yang lebih mengusik saya temukan saat snorkeling. Di balik perairan bening, karang-karang hancur akibat penggunaan dinamit. Semua ini jauh dari citra “surga tersembunyi” yang saya harapkan. Sikap acuh pemerintah Myanmar terhadap Mergui memang membuat kepulauan ini steril dari pembangunan, tapi di saat yang sama juga membuatnya luput dari penegakan hukum.
Untungnya, Mergui belum rusak sepenuhnya. Keindahannya masih tersaji di banyak tempat. Saat mendarat di Za Det Nge, saya melihat ratusan ikan hitam mengelilingi kayak, kemudian berkerumun di air dangkal layaknya genangan tinta. Di lain waktu, saat mesin dimatikan dan kapal bergerak mengandalkan angin, suara yang terdengar hanyalah tamparan ombak di lambung dan getaran kain layar. Tentu saja, keindahan juga tersaji saat saya berbaring pada malam pekat dan menatap rasi bintang di angkasa. >>