by Yohanes Sandy 22 August, 2014
Sumber Ide Gede Mahendra Yasa
Gede Mahendra Yasa menangkap menerjemahkan Bali dalam bentuk yang absurd melalui kanvas. Lukisannya bercerita. Mulai dari kehidupan turis, alam sekitar, hingga keindahan Bali semuanya diterjemahkan dengan indah dan memiliki makna. Dalam pameran terbarunya yang berjudul “Post Bali”, seniman berusia 47 tahun tersebut menerjemahkan tiga elemen tentang Pulau Dewata melalui gaya yang cukup berbeda. Di ruang pertama, ia memamerkan karya-karya dari tahun 2010 yang menampilkan lukisan photorealist kehidupan Bali diikuti lukisan absurd terinspirasi kehidupan kuno Bali, seperti dewa Hindu raksasa sedang bertarung dengan monyet-monyet. Di ruangan selanjutnya, terdapat lukisan-lukisan naratif tentang Bali yang menampilkan figur-figur mini realistis. Di sebelahnya, lukisan dua warna mengadopsi gaya khas Jackson Pollock terpampang dengan indah.
Konsep tematis Bali yang dituangkan dalam lukisannya adalah sebuah gambaran atas kronologis dalam berkarya. Lukisan “Contemporary Art in Paradise Lost” berukuran 75×300 cm, misalnya, memakan waktu setahun untuk menyelesaikannya. Produktivitasnya menghasilkan enam hingga delapan karya seni bukan buah dari kemalasan, namun akibat dari riset yang dia lakukan demi karya yang detail (beberapa survei membuatnya belajar mengenai lukisan tradisional Cina dan teknik membuat kertas cara Bali). Dalam kehidupan sehari-hari, pria berjenggot ini kurang lebih sama dengan karyanya: berani dalam membahas topik-topik berbeda. Kreasinya lebih cocok dimasukkan dalam aliran seni modern, namun menyentuh tema-tema turisme, kapitalisme, dan politik. Apakah dia menikmati melebur kedua genre itu? Simak wawancaranya.—Rachel Will