by Cristian Rahadiansyah 13 January, 2021
Solusi Simpel Bersihkan Sampah Laut
Menyapu sampah plastik di laut dengan metode konvensional—memakai jala dan kapal—akan menghabiskan ratusan tahun dan miliaran dolar. Tapi Boyan Slat mengaku sanggup melakukannya dengan lebih cepat, lebih hemat, juga lebih ramah lingkungan. Solusinya: “pipa terapung.”
Sampah adalah problem kronis di lautan. Banyak satwa tewas akibat memakan gabus atau plastik. Indonesia punya andil dalam kerusakan alam itu. Merujuk jurnal Science, dalam daftar lima negara penghasil sampah plastik terbesar, Indonesia berada di peringkat kedua, di bawah Tiongkok.
Untuk mengatasi masalah global itu, Boyan mengajukan teknologi yang sederhana: pipa polietilena terapung sepanjang 100 kilometer yang dibentangkan di laut dalam formasi huruf V, dengan lapisan anyaman poliester di bawahnya. Perangkat ini diklaim mampu menjerat 90% sampah plastik di samudra, termasuk serpihan berukuran kecil.
Baca Juga: 20 Kota dengan Jalur Sepeda Terpanjang
Tentu saja, laut sangat luas. Agar solusinya efektif, Boyan mesti cerdik memetakan medan, karena itu dia memakai modus operandi “tunggu dan tangkap.” Pertama-tama, Boyan memetakan pergerakan arus. Merujuk data ini, ecopreneur kelahiran 1994 ini bisa mengetahui persis ke mana sampah akan mengalir, lalu menjeratnya.
Satu yang penting diketahui, solusi cerdik yang dinamai System 001 ini masih dalam tahap pengembangan. Pada 2017, versi purwarupanya dites di Laut Utara, sekitar 23 kilometer di lepas pantai Belanda. Setahun berselang, Boyan mengetesnya di Great Pacific Garbage Patch, semacam Bantar Gebang versi Samudra Pasifik, yang menampung 70 juta kilogram sampah. Rampung sesi uji coba, dia lalu mendesain System 002 yang mampu beroperasi lebih lama di lautan.
Proyek bersih-bersih laut ini bergerak dengan bendera The Ocean Cleanup, organisasi yang dirintis pada 2013 di Delft, Belanda, kampung halaman Boyan. Dana operasionalnya digali dari banyak kantong, termasuk pemerintah Belanda, tapi Boyan juga merumuskan solusi agar bisa bergerak mandiri: mendaur ulang sampah dan menjualnya.
Oktober silam, The Ocean Cleanup meluncurkan kacamata berbahan sampah lautan, yang dijual seharga $99. Kacamata ini didesain oleh Yves Béhar dan dimanufaktur oleh Safilo. Selain itu, organisasi ini menjaring dana publik lewat sistem donasi dan berdagang suvenir, termasuk kaus dan botol minum ramah lingkungan.
Baca Juga: 8 Inisiatif Fotografer untuk Selamatkan Alam
Tak semua pihak memandang optimistis kiprah The Ocean Cleanup. Salah satu kritik mereka diungkap misalnya dalam jurnal Science of the Total Environment. Sejumlah peneliti membuat model matematika untuk menakar kemampuan System 001. Kesimpulannya, satu alat ini hanya bisa menangkap 1% sampah plastik pada 2150. Kendati begitu, para peneliti ini tak lantas meminta Boyan berhenti berusaha. Mereka mengklaim, harus ada solusi komprehensif untuk menanggulangi sampah plastik dengan tuntas. Menyapu laut saja tak cukup.
Agaknya, kritik itu pula yang mendorong Boyan berbenah. Pemuda yang tak lulus kuliah ini melengkapi strateginya: mengatasi problem di tingkat hulu. Pada 2019, The Ocean Cleanup meluncurkan solusi baru bernama Interceptor yang berfungsi menangkap sampah plastik di sungai. Alat mirip tongkang futuristik ini akan disebar ke 1.000 sungai dalam kurun lima tahun, dengan target menyunat 80% sampah plastik sebelum merayap ke samudra.
Sejak diciptakan, Interceptor telah diuji coba di tiga kota, salah satunya Jakarta. November 2019, purwarupa alat ini dites perdana untuk membersihkan sampah-sampah di Kali Cengkareng. Dalam keterangan resminya, Jakarta dipilih oleh Boyan lantaran provinsi ini sudah memulai upaya pembersihan sungai. Rampung serangkaian tes, The Ocean Cleanup kini membuat dua unit Interceptor di Malaysia, lewat kemitraan dengan Konecranes, perusahaan alat berat asal Finlandia. —Cristian Rahadiansyah