web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melihat Sisi Lain Singapura dari Kacamata Lokal

The Fullerton Hotel dilihat dari seberang Singapore River.

Oleh Camilla Adindamaulani
Foto oleh Leonardus Depari & Iok Manggabarani

Desa Hijau
Studi yang dilakukan The Economist dan Siemens pada 2011 menetapkan Singapura sebagai “kota terhijau” di Asia. Tapi mungkin Anda tak akan menyangka, salah satu kantong hijau di negeri ini berlokasi hanya 10 menit dari Orchard Road, surga belanja yang hiruk-pikuk.

Kawasan rindang Tanglin Village bertengger di perbukitan dan dihuni beragam properti, mulai dari restoran, bar, galeri, butik independen, brewery, hingga spa. Tiap akhir pekan, tempat ini rutin disatroni warga yang ingin mengambil jarak dari sentra-sentra turis.

Sebagai area hijau, Tanglin Village tak cuma lebih “riil” dibandingkan Gardens by the Bay, tapi juga lebih kaya sejarah—walau kisahnya harus diakui tak selalu manis. Di awal abad ke-18, daerah ini merupakan perkebunan pala yang kerap diteror hama. Pada 1857, angkatan bersenjata Inggris menggunakan lahannya sebagai basis militer. Meski hanya sejenak, Jepang sempat menguasai kompleks ini pada 1942. Setelah Inggris mundur sepenuhnya dari Singapura di awal 60-an, pemerintah baru memanfaatkan properti militer di Tanglin Village sebagai Central Manpower Base, tempat kaum pria melaporkan diri sebelum memulai wajib militer.

“Kakak saya datang ke sini untuk menyerahkan ‘KTP’-nya di awal 80-an,” kenang Kelvin Tay, General Manager The White Rabbit, salah satu restoran di Tanglin Village. “Dia dan yang lainnya berkumpul di atas bukit, dibagi-bagi ke dalam grup, selanjutnya diangkut menggunakan truk ke kamp-kamp pelatihan militer di berbagai pelosok.” Meski area sekitarnya tak lagi selebat belantara, Tanglin Village tetap memancarkan aura sejuk.

Kiri-kanan: Salah satu sudut restoran; galeri di The White Rabbit.

Pohon-pohon besar berusia ratusan tahun menaungi rumah-rumah usaha di kakinya. Lapangan rumput luas terhampar bagi mereka yang ingin berolahraga atau berpiknik. Di akhir pekan, para pelari dan keluarga-keluarga bersepeda sekaligus mengisi ulang udara di paru-paru. “Tempat ini mungkin satu-satunya yang masih memiliki suasana pedesaan di tengah Singapura. Bayangkan, 10 menit dari Jalan Orchard, Anda masih bisa melihat pohon kelapa,” tambah Kelvin yang semasa kuliah hobi bermain sepak bola di sana.

Aktivitas outdoor semacam sepak bola dan sepeda memang populer di Tanglin Village, tapi untuk kegiatan indoor, hanya ada satu cabang yang mendominasi dalam beberapa tahun terakhir: brunch.

Di kalangan penggemar sesi makan di antara sarapan dan santap siang ini, The White Rabbit bagaikan situs suci yang wajib disambangi. Restoran ini menempati bekas gereja berusia 60 tahun lebih. Sekitar 70 persen struktur bangunan masih orisinal, walau fungsinya telah bergeser. Altar telah disulap menjadi lounge, sedangkan ruang pengakuan dosa bersalin peran menjadi gudang anggur. Tapi nama The White Rabbit tak memiliki korelasi secuil pun dengan hikayat bangunannya, melainkan diambil dari karakter dalam film Alice in Wonderland. Taman di sisi belakangnya menampilkan alfresco lounge bernuansa putih dengan tema The Rabbit Hole, lengkap dengan ayunan antik di sana-sini dan permainan lampu di malam hari.

Komandan di dapurnya, Benjamin Tan, meracik menu memakai tiga bahan favoritnya: daging sapi, ikan, dan unggas. Beberapa kreasinya adalah beef cheek bourguignon, grilled Atlantic cod, serta roasted black-truffle-free-range chicken. Menu yang terakhir ini sangat direkomendasikan oleh Kelvin. “Ayamnya kami bumbui selama dua hari dengan jamur truffle disisipkan di bawah kulitnya, kemudian dipanggang selama 20 menit,” jelasnya.

Dari restoran fantasi bertema Alice in Wonderland, saya memasuki toko karpet bergaya 1001 Malam. Lotto Carpets Gallery adalah salah satu penghuni terlama di Tanglin Village. Entah sudah berapa lantai yang dipercantik oleh permadani koleksinya. “Ketika kami pindah ke sini 18 tahun lalu, daerah ini masih seperti hutan belantara,” ingat Abid Mir sang pemilik toko.

Kiri-kanan: Mir bersaudara yang mengelola Lotto Carpets Gallery; jasa pencucian karpet yang dilayani oleh Lotto Carpets Gallery.

Tak banyak turis yang mencantumkan toko karpet sebagai obyek kunjungan di Singapura. Tapi Abid Mir tak mempresentasikan Lotto Carpets Gallery sebagai toko semata, tapi juga galeri. Pintunya terbuka bagi mereka yang ingin mempelajari nilai keindahan di balik selembar karpet. “Kami bahkan memiliki kelas apresiasi karpet untuk anak-anak,” kata Imran Mir, Direktur Pemasaran Lotto Carpets.

Bersama saudara-saudaranya, pria energik ini merupakan generasi keenam dalam silsilah bisnis keluarganya. “Karpet unik yang bersejarah dan bernilai tinggi sudah jarang ditemukan, karena karpet jenis ini hanya ada di rumah-rumah kolektor. Setelah enam generasi menekuni bisnis ini, kami tahu di mana dan siapa yang memiliki karpet-karpet bernilai tinggi,” tandas Imran.

Lotto Carpets Gallery juga menyediakan jasa mencuci dan memperbaiki karpet bernilai tinggi. Servis ini sangat langka, juga mahal. Baru-baru ini, seorang klien menggelontorkan S$28.000 untuk mencuci, merestorasi warna, serta memperbaiki dua lubang pada karpetnya yang berdesain Moghul dan dijahit untuk bangsawan India pada abad ke-17. “Kami harus menerbangkan ahli pembuat karpet dari Iran dan ahli pencuci karpet dari Turki,” papar Imran.

Di tengah udara hangat Maret, dengan kisah-kisah permadani eksotis memenuhi kepala, saya mampir di Beauty Emporium, di mana spa yang dikelola oleh Spa Esprit menyuguhkan pijat, facial, dan manicure. Tapi hari ini saya lebih memilih berbelanja produk-produk kecantikan Malin + Goetz dan Dr. Hauschka.

Pelang jalan dalam dua bahasa di Duxton Hill.

Pecinan Global
Toko obat tradisional terselip di sela-sela restoran, kelenteng, gerobak suvenir, dan toko kelontong. Lentera dan aksara merah bertaburan ke mana pun mata memandang. Chinatown masih mempertahankan karakter autentiknya. Namun, jika kita mau menyelam lebih dalam, akan tampak bahwa modernisasi telah menyentuh daerah ini—dan membuatnya lebih memikat.

Deretan ruko yang dicat dalam warna-warna pastel adalah obyek massal di Chinatown. Mengadopsi gaya arsitektur Baroque, Victorian, dan Art Deco, situs-situs warisan budaya tersebut diganjar status aset bersejarah oleh dinas tata kota Singapura. Ruko-ruko di sini dialokasikan untuk usaha kecil dan menengah. Tepian Jalan Keong Saik, Craig, dan Duxton dihuni oleh kantor media, manajer investasi, dan firma hukum.

Chinatown dikukuhkan sebagai area berbasis etnis pada 1822 atas titah Sir Stamford Raffles. Kawasan lainnya didedikasikan bagi warga India, Eropa, dan Muslim. Chinatown dipenuhi pekerja imigran yang mengelompokkan diri berdasarkan garis dialek, seperti Teochew, Hokkien, Canton, dan Hakka.

Seperti di pecinan lain di Asia, Chinatown terkontaminasi oleh bisnis judi, prostitusi, dan rumah opium. Hingga era 40-an, tempat ini dianggap daerah lusuh yang rawan pelanggaran hukum. Jalan Keong Saik misalnya, sempat tersohor sebagai tempat para pedagang kaya menyembunyikan selir-selirnya. Aksi mereka umumnya dicirikan dengan nomor rumah bercat merah. Beberapa bangunan masih membiarkan nomor mesum itu terpampang.

Kisahnya mulai berubah pada 90-an saat banyak investor hotel butik melirik potensi Keong Saik. Jalan ini berlokasi strategis dan menawarkan akses mudah ke transportasi umum. Hotel 1929 yang membuka pintunya di sini pada 2003 telah menyabet Architectural Heritage Award dari Dinas Tata Kota Singapura berkat desainnya yang unik: gedung bekas ruko didaur ulang menjadi hotel dengan open-air jacuzzi dan rooftop terrace. Di seberangnya, hotel butik Naumi Liora mulai beroperasi tahun lalu dan menjanjikan pelayanan berkelas, persis seperti yang diberikan kepada para tauke di zaman dulu.

Kiri-kanan: Rumah-rumah tua di Kampong Glam dengan latar belakang gedung pencakar langit; rak berisi buku-buku travel di Littered With Books.

Beberapa langkah darinya, saya menemukan Kreta Ayer People’s Theatre Foundation yang berjasa melestarikan opera Cina di Singapura selama lebih dari empat dekade. Ujung Jalan Kreta Ayer bersua dengan mulut Duxton Road yang di pertengahan abad ke-18 merupakan area perkebunan pala, salah satu komoditas blue chip waktu itu, milik seorang hartawan Inggris.

Saya singgah di Littered With Books, sebuah toko buku bergaya rumahan. “Kami telah menempati ruko ini selama dua tahun dan ingin menciptakan suasana yang damai dan nyaman bagi pencinta buku,” ujar Sheela Moorthy, Direktur Littered With Books. Dalam atmosfer yang damai itulah saya berlindung dari sengatan matahari, lalu membiarkan diri berkelana ke pojok-pojok dunia melalui halaman-halaman buku. Toko berlantai dua ini menjajakan karya-karya klasik dan kontemporer dari berbagai genre, mulai dari sejarah, nonfiksi, hingga fantasi. Susunan bukunya diberi sentuhan personal berupa resensi dan rekomendasi yang ditulis tangan di atas kartu berwarna oleh setiap staf.

Makan adalah hobi nasional di Chinatown. Alasannya mudah dimengerti. Restoran di sini jumlahnya berlimpah. Menariknya, kita tak cuma bisa menemukan makanan oriental, tapi juga internasional. Aura autentik tempat ini berhasil menggoda koki mancanegara untuk datang dan memperkenalkan menu asli dari kampung halaman masing-masing. Target mereka adalah kaum yuppie dan metropolis yang gemar berburu tempat mengisi lambung dan bersarang selepas jam kerja.

Di pucuk Duxton Hill, bistro L’Entrecôte hadir dengan konsep gastronomi Paris yang dimulai 80 tahun silam, di mana restoran hanya menyajikan steik dengan saus khusus dan kentang goreng sebagai menu utama. Koki Olivier Bendel mengimpor pendekatan tersebut ke Singapura di akhir 2010. Hasilnya: tamu-tamu yang berdandan apik rela mengantre lama demi merasakan kelezatan sirloin racikannya.

“Konsep L’Entrecôte di mana-mana sama,” Paolo Randone, Direktur Operasional L’Entrecôte, menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang fasih. “Pertama, di sini tidak ada reservasi. Semua tamu harus antre walaupun mereka mengenal saya atau pemilik. Yang kedua, makanannya hanya steik dengan harga baku (S$29,90), yang disiram saus andalan rahasia. Kami tidak menyediakan saus tomat atau mayones untuk kentang gorengnya. Yang ketiga, bangkunya disusun sangat dekat satu dengan yang lain, seperti di Paris.”

Paolo pernah tinggal di Indonesia selama 10 tahun untuk mengelola beberapa restoran fine dining, salah satunya Zigolini di Mandarin Oriental Jakarta. “Sulit untuk menerapkan konsep L’Entrecôte di Indonesia. Maka mampirlah ke restoran kami bila ke Singapura,” promosinya.

Kiri-kanan: Coco pina, salah satu menu andalan restoran Spanyol Binomio; salah satu sajian yang bisa ditemukan di Binomio.

Duta kuliner internasional lain di Chinatown adalah Binomio, restoran Spanyol yang mengawali debutnya akhir tahun lalu di kaki Duxton Hill. Sesuai namanya (“Binomio” artinya “dua hal yang berdampingan”), restoran ini menawarkan dua konsep dalam satu atap: bar tapas dan fine dining. “Tamu kami datang karena mereka tahu di sini kami membuat masakan Spanyol dengan cita rasa yang asli,” kata Executive Chef Jose Alonso. “Menu bar tapas kami adalah sajian yang tersedia di setiap bar di Spanyol, dan yang biasa dimasak ibu saya setiap hari.” Tapas favorit tamu di sini antara lain salmorejo cordobés (sup tomat dengan telur dan ham), empanada gallega (panada berisi tomat, telur, dan tuna), dan croquetas de champiñones (kroket isi jamur).

Bermodal karir selama lebih dari 12 tahun di dapur fine dining, Jose berhasil mengawinkan sensasi autentik tanah airnya dengan kreasi modern. Seperti para koleganya di Spanyol, juga mungkin ibunya, dia menjadikan hasil laut bahan utama masakan. Menu andalannya, tallarines de sepia, yakni cumi-cumi yang dibentuk menyerupai pasta, lalu disiram saus tomat dan kaldu daging pekat. Pesaingnya adalah jarrete de ternera, veal shank yang dimasak selama sembilan jam hingga tekstur dagingnya benar-benar lembut. Namun pelanggan Binomio tak selalu berpatokan pada buku menu. “Mereka kadang langsung menutup buku menu dan bertanya: Jose, apa yang akan kamu masak untuk saya hari ini?,” tutur Jose. “Penggemar fine dining bersedia membayar lebih untuk kreativitas seorang koki.”

Sisi Lain Marina
Marina Bay adalah salah satu tempat favorit saya di Singapura. Tapi, bagi pemerintah setempat, ia merupakan wadah untuk memamerkan pencapaian ekonomi negeri ini. Selain gedung durian dan bianglala tertinggi sejagat, di sini ada Marina Bay Sands, di mana koki-koki selebriti dan meja-meja judi menggoda turis internasional. Dari atapnya yang mirip papan setrika raksasa, kita bisa mengintip Kepulauan Riau, di mana Singapura mengimpor sebagian pasir guna memperluas wilayahnya.

Marina Bay adalah salah satu penjelasan mengapa Singapura merupakan jantung perekonomian Asia Tenggara, sekaligus negara dengan GDP per kapita tertinggi keenam di dunia. Popularitas Marina Bay sebagai pusat bisnis dan hiburan malam melonjak semenjak kasino, mal, dan gedung perkantoran dibuka dua tahun silam, dibarengi dengan meroketnya harga properti hingga meresahkan warga (dan memperkaya broker). Siang yang sibuk dan malam yang gemerlap, itulah Marina Bay. Tentu saja, semua itu tidak terwujud dalam semalam.

Kolam renang di The Fullerton Hotel, tempat tamu-tamu VIP F1 menginap.

“Waktu saya bekerja di sini dua dekade lalu, sepanjang dermaga ini dipenuhi kapal kayu sederhana yang hendak mengangkut penumpang ke pulau-pulau lain,” kenang Lina Lin, seorang penasihat investor, sembari menikmati segelas kopi di kawasan One Fullerton. Rekan semejanya, Jennifer Loo, seorang eksekutif periklanan, menimpali: “Tiga puluh tahun lalu, saya pernah dibawa beribadah ke kelenteng di Pulau Kusu, sekitar 45 menit naik perahu dari dermaga ini. Daerah ini tidak begitu spesial dalam ingatan saya, karena dulu riuh dan terpolusi oleh kegiatan di pelabuhan.”

Memandang dari One Fullerton, pelabuhan yang sarat polusi itu kini tak berbekas. Area yang membentang sepanjang Marina Bay adalah bagian dari gugusan kerja The Fullerton Heritage, manajemen properti yang menaungi beberapa bangunan bersejarah di tenggara Singapura, lalu mengubah fungsinya menjadi pusat hiburan, hotel luks, atau restoran mewah. Salah satu karya mereka, Customs House, menempati bekas gedung bea cukai pelabuhan yang dibangun pada 60-an dengan tugas mengawasi kegiatan perdagangan dan invasi kaum pendatang.

Para imigran masih berdatangan, tapi kini dalam wujud koki-koki internasional yang meramu masakan di restoran Thailand, Kuba, Jepang, dan Italia. Para eksekutif dari perkantoran di sekelilingnya, termasuk Microsoft dan Standard Chartered, adalah tamu reguler Customs House. Lima menit darinya, terdapat gedung lain dalam portofolio The Fullerton Heritage, yakni The Fullerton Hotel, hotel bintang lima paling antik dan megah di Singapura. Di sinilah para delegasi asing, selebriti, serta tamu VIP F1 menginap. Fullerton diambil dari nama Robert Fullerton, gubernur pertama di era British Straits Settlements.

Di masa itu, di atas tanah The Fullerton Hotel menjulang sebuah benteng pertahanan angkatan laut, yang pada 1873 berganti fungsi menjadi kantor pos. Bangunan ini dirobohkan 48 tahun kemudian untuk memberi tempat pada gedung Fullerton yang berdiri kokoh hingga sekarang. Setelah mega proyek selama empat tahun selesai pada 1928, gedung Fullerton digunakan sebagai kantor pos besar, kamar dagang, dan Singapore Club yang prestisius—peran yang berlanjut hingga 1996.

Tepat pada tengah malam 1 Januari 2001, Perdana Menteri Goh Chok Tong meresmikan pembukaan The Fullerton Hotel. Menatap gedungnya yang anggun, saya membayangkan Fullerton 85 tahun silam sebagai dermaga yang sibuk dalam jaringan niaga bahari Asia Tenggara.

Di samping bertugas menjaga tingkat okupansi, layaknya gedung warisan budaya yang dilindungi pemerintah, The Fullerton Hotel mengemban misi edukasi. Di The Fullerton Heritage Gallery di lantai satu hotel, saya menyelami artefak-artefak yang sebagian berasal dari tahun 1932. Sejumlah foto menggambarkan gedung Fullerton menjulang di depan jalanan yang dikuasai delman dan perairan yang dijejali perahu kayu, seperti yang diceritakan Lina dan Jennifer. Keriuhan serupa saya temukan dalam prangko-prangko usang di Philatelic Museum.

Kiri-kanan: Pelataran Ion Orchard, mal yang dirancang oleh Benoy, otak di balik desain Bullring di Birmingham; bangunan yang dulunya barak militer Inggris disulap menjadi restoran.

Wajah Orchard pada 1905 tak kalah semrawut dari Glodok masa kini. Alun-alun di depan The Fullerton Hotel memainkan peran penting dalam sejarah politik negeri. Di pemilu-pemilu awal, para karyawan di bilangan Raffles Place rutin ke sini guna mendengarkan orasi tokoh-tokoh partai. Di tempat ini pula bapak bangsa sekaligus orang paling berpengaruh di Singapura, Lee Kuan Yew, berpidato dan menggalang massa.

Di sisi kanan hotel, Fullerton Heritage melestarikan Waterboat House. Di awal abad ke-19, bangunan melengkung ini memasok air kepada kapal-kapal yang lewat. Kini, ia menyuplai menu-menu Prancis modern dari dapur Restoran Boathouse, sedangkan open-air bar di atasnya, Prelude, menyuguhkan panorama Marina Bay dari ketinggian. Di sinilah saya menyaksikan matahari terbenam dengan minuman dingin di tangan, lalu termenung di hadapan atraksi lampu Marina Bay Sands. Jauh di seberang sana, ada Sumatera, basis Kerajaan Sriwijaya yang dulu menguasai sebuah pulau bernama Temasek. Pulau yang kini berkibar dengan nama Singapura dan selalu memberi kita alasan untuk kembali.

DETAIL
Singapura

—Rute
Penerbangan ke Singapura dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Jakarta dan Bali; serta oleh Lion Air (lionair.co.id) dari Jakarta dan Surabaya. SilkAir (silkair.com) melayani lebih banyak destinasi di Indonesia dari Singapura, di antaranya Surakarta, Balikpapan, Medan, Pekanbaru, dan Manado.

—Penginapan
Cara terbaik menyelami hikayat Singapura adalah dengan menginap di The Fullerton Hotel (1 Fullerton Square; 65/6733-8388; fullertonhotel.com; doubles mulai dari $242), hotel yang menempati bekas kantor pos buatan 1928. Di dekat Orchard, Four Seasons Singapore (190 Orchard Boulevard; 65/6734-1110; fourseasons.com; doubles mulai dari $318) menawarkan akses mudah bagi tamu yang ingin mengunjungi Tanglin
Village. Berjalan kaki beberapa menit dari Chinatown terdapat ParkRoyal on Pickering (3 Upper Pickering Street; 65/6809-8888; parkroyalhotels.com; doubles mulai dari $234), hotel yang meraih Green Mark Platinum Award dari Singapore Building & Construction Authority berkat arsitekturnya yang memperhatikan aspek ruang hijau.

—Aktivitas
Kawasan rindang Tanglin Village berjarak 10 menit dari Orchard Road. Salah satu restoran yang populer untuk brunch di sini adalah The White Rabbit (39C Harding Road, 65/6473-9965, thewhiterabbit.com.sg). Obyek lainnya yang juga menarik adalah Lotto Carpets Gallery (Blk 26, #1-4 Dempsey Road; 65/6476-8784; lottocarpets.com), butik berisi karpetkarpet bersejarah. Chinatown tak cuma menampung kompleks ruko, tapi juga restoran internasional, contohnya L’Entrecôte (36 Duxton Hill; 65/6690-7561; lentrecote.sg), bistro Prancis yang mengandalkan menu steik; serta Binomio (20 Craig Road; 65/6557-0547; binomio.sg), restoran Spanyol yang menawarkan bar tapas dan sajian fine dining. Salah satu hotel butik yang menempati gedung tua di Chinatown, Hotel 1929 (50 Keong Saik Road; 65/6347-1929; hotel1929.com), menggoda tamu dengan open-air jacuzzi dan rooftop terrace. Properti unik lainnya terletak di Duxton Road, yakni Littered With Books (20 Duxton Road; 65/6220-6824; litteredwithbooks.com), tempat Anda berkelana ke pojok-pojok dunia melalui buku aneka genre. Marina Bay terkenal akan ikon-ikon modern semacam Marina Bay Sands, tapi jika Anda mencari sisi yang kaya sejarah, kunjungi properti-properti di bawah payung The Fullerton Heritage (thefullertonheritage.com), di antaranya Customs House, pusat hangout yang menempati bekas gedung bea cukai; serta Waterboat House yang dihuni restoran Prancis.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5