by Cristian Rahadiansyah 22 March, 2018
Shandy Aulia Jelajahi Chiang Mai
Layaknya bekas ibu kota imperium Buddha, Chiang Mai mengoleksi banyak kuil. Di pusat kotanya, kita bisa menemukan setidaknya empat kuil besar yang bertetangga. Di luar batas kota, dua kuil yang paling tersohor adalah Wat Pha Lat yang menyempil di hutan, serta Wat Phra That Doi Suthep yang terpampang pada emblem resmi kota.
Kuil-kuil di Chiang Mai laris dikunjungi turis, tapi mereka bukanlah museum atau prasasti yang membeku di masa lalu. Seluruh rumah ibadah di sini masih berfungsi, masih didiami para biksu, masih diziarahi umat. Sewaktu di Wat Suan Dok misalnya, Shandy mesti menunda sejenak sesi foto demi menanti sepasang remaja yang sedang nyekar di muka stupa putih. Sementara di Wat Chedi Luang, candi bata yang somplak akibat gempa besar, para biksu mendirikan sebuah tenda untuk berbagi cerita tentang ajaran Sang Buddha kepada pengunjung. “Saat mendengar kata Thailand, banyak orang biasanya langsung berpikir tentang belanja,” ujar Shandy, “tapi, di sini, saya bisa menikmati budaya dan alam. Bagi saya, Chiang Mai memberi citra yang berbeda tentang Thailand.”
Karakter kota yang bersahaja dan relijius tecermin dalam tabiat warganya. Dibandingkan kawasan selatan Thailand, orang-orang Chiang Mai bergerak lebih santai, bersikap lebih halus, dan bertutur lebih santun dalam dialek kham mueang yang terdengar kemayu dan mendayu. “Penduduk utara juga memiliki mata yang lebih sipit dan kulit yang lebih putih,” tambah Concierge Anantara Resort, Naret, pria lokal yang pernah bekerja di Hua Hin, tiga jam di selatan Bangkok.
Makanan Thailand Utara juga memancarkan cita rasa dan tekstur yang berbeda dibandingkan kawasan selatan. Tradisi dapurnya dicirikan oleh penggunaan rempah yang royal dan rasa pedas yang jinak. Shandy, yang sepanjang trip kecanduan mango sticky rice dan Thai iced tea, sempat mencicipi beberapa kreasi lokal tersebut. Di Samer Jai, kedai populer di luar batas kota, dia memesan khao soi, mi kari yang disajikan dengan sepotong paha ayam. Di Khum Khantoke, restoran yang menampilkan pentas budaya saban malam, Shandy mencicipi tujuh macam masakan yang ditata melingkar di atas talam bundar.
Terlepas dari sosoknya yang rendah hati, Chiang Mai sesungguhnya makin diperhitungkan secara bisnis. Pemerintah Thailand sempat mempertimbangkannya sebagai kandidat tuan rumah World Expo 2020. Pada 2014, Chiang Mai menanggap ajang Design Week pertamanya yang mempertemukan pelaku, investor, dan pengambil kebijakan di sektor desain. Januari tahun ini, kota ini didaulat sebagai pusat pergelaran ASEAN Tourism Forum.
Bagi kaum muda, Chiang Mai juga kian memikat, baik sebagai destinasi liburan, bekerja, atau kombinasi keduanya. Dalam setahun terakhir, kota ini senantiasa tercantum sebagai markas favorit kaum digital nomad, yakni kaum pekerja tanpa kantor yang hidup mengandalkan internet. Dalam daftar kota digital nomad internasional yang disusun Pieter Levels misalnya, Chiang Mai rutin bertengger di posisi puncak, mengalahkan Bangkok, Berlin, dan Taipei.
Roh kota ini memang setia merawat masa silam, tapi energinya berorientasi ke masa depan. Chiang Mai kian dinamis, kian energik, juga kian kreatif. Oktober 2017, ia dilantik menjadi anggota jaringan kota kreatif UNESCO. Melalui serangkaian inisiatif, Chiang Mai kini berambisi menjadikan industri kreatif motor ekonomi kota. Thailand Creative & Design Center (TCDC) telah membuka cabangnya di sini. Proyek mercusuar Creative Chiang Mai (CCM) telah diluncurkan guna mengembangkan bisnis konten digital, teknologi informasi, dan perangkat lunak. “Chiang Mai sekarang dipandang sebagai kota yang penuh gairah seni dan budaya— baik dalam konteks tradisional maupun kontemporer,” tulis Kengkij Kitirianglarp, dosen Universitas Chiang Mai, dalam makalahnya yang diterbitkan Kyoto Review of Southeast Asia.
Sehari sebelum meninggalkan Chiang Mai, Shandy menyambangi Baan Tong Luang, desa yang berjarak sekitar 50 menit dari pusat kota. Permukiman guyub ini dihuni warga dari empat suku: Karen, Mong, Yao, dan Lahu. Mereka menempati rumah-rumah panggung yang dirangkai dari kayu dan bambu. Hampir setiap orang di sini menyandarkan hidupnya dari berdagang kerajinan kain dan ukiran.
Shandy datang ke Baan Tong Luang guna menemui padong, “kaum wanita leher panjang,” bagian dari Suku Karen. Sejak belia, mereka mengenakan gelang-gelang logam di leher (juga tangan dan betis) dengan tujuan melindungi diri dari gigitan harimau. Seiring pertambahan usia, gelang itu bertumpuk kian tinggi dan leher mereka pun kian jenjang. Sejumlah orang menjuluki mereka “wanita jerapah.”
“Yang paling saya suka dari traveling,” jelas Shandy, “adalah kesempatan untuk melihat sesuatu yang baru, mencoba sesuatu yang berbeda.” Di Chiang Mai, dia menikmati Thailand dalam versi yang berbeda.
PANDUAN
Rute
Kota Chiang Mai berlokasi sekitar 700 kilometer di utara Bangkok. Penerbangan ke sini dilayani antara lain oleh Singapore Airlines (singaporeair.com) via Singapura, serta Thai Airways (thaiairways.com) dan AirAsia (airasia.com) via Bangkok. Dari Bangkok, Chiang Mai juga bisa dijangkau dengan menaiki kereta yang dioperasikan oleh State Railway of Thailand (railway.co.th) dengan waktu tempuh 12 jam.
Penginapan
Menginap di hotel tepi sungai adalah bagian integral dari pengalaman liburan di Chiang Mai. Salah satu properti yang layak dipilih ialah Anantara Chiang Mai Resort (123-123/1 Charoen Prathet Road; 66-53/253-333; chiangmai.anantara.com; mulai dari Rp3.200.000), resor elok yang menaungi 84 kamar, ditambah Serviced Suites yang menampung 44 unit residensial berisi satu hingga tiga kamar. Di samping kolam renang yang membentang 34 meter di tepi sungai, tamu bisa menemukan restoran yang menempati bekas kantor konsulat Inggris. Anantara Chiang Mai juga memiliki spa dengan menu ikonis Lanna Ritual, pijat 90 menit Bersama seorang terapis yang dibekali kemampuan mendeteksi problem pada tubuh Anda.
Informasi
Kuil merupakan objek wisata utama. empat di antaranya—Wat Phra Singh, Wat Chiang Man, Wat Suan Dok, Wat Chedi Luang—berlokasi di pusat kota, sementara dua lainnya bersemayam di perbukitan di luar kota, yakni Wat Pha Lat dan Wat Phra That Doi Suthep. Chiang Mai memiliki dua festival besar: Songkran (April) dan Yee Peng (November). Untuk bertemu suku-suku dataran tinggi, tempat yang paling mudah didatangi adalah Desa Baan Tong Luang. Untuk informasi lain seputar objek wisata dan jadwal acara, kunjungi situs Tourism Authority of Thailand (wisatathailand.com).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Rahasia Utara”).