by Rosa Panggabean 17 September, 2018
Seni Tumpah di Naoshima
Oleh Rosa Panggabean
Mendarat di Stasiun Uno, stasiun terakhir dalam perjalanan ke Naoshima, saya disambut bangunan berwarna belang hitam-putih layaknya tubuh Zebra, seolah menegaskan kepada pengunjung bahwa wisata seni sudah dimulai. Meninggalkan stasiun, saya berpindah ke kapal feri dan meluncur selama 20 menit menuju Pelabuhan Honmura.
Berhubung hanya punya waktu tak sampai 12 jam, saya memutuskan menyewa sepeda untuk mengarungi pulau. Namun, setibanya di tempat persewaan, tak seorang pun berjaga. Sebuah catatan menginstruksikan, “tinggalkan uang 500 yen [setara Rp66.000] dan catat nama Anda di kertas yang tersedia untuk menyewa sepeda.” Ragu-ragu, saya bertanya kepada seorang pria lokal, dan dia meminta saya mengikuti petunjuk tadi. Sepertinya tidak ada maling di sini. Belakangan saya menyadari sepeda sewaan saya bahkan tak dilengkapi kunci pengaman.
Naoshima bersemayam di Seto Inland Sea, sekitar 670 kilometer dari Tokyo. Namanya mulai dikenal dunia pada 1989 saat proyek kolosal Benesse Art Site Naoshima digulirkan. Dimulai dengan pendirian Naoshima International Camp yang melibatkan arsitek ternama Tadao Ando, pulau ini bersama dua pulau tetangganya—Teshima dan Inujima—secara bertahap disulap menjadi destinasi bagi pencinta seni.
Museum pertama yang saya kunjungi adalah Ando Museum. Letaknya paling dekat dari Pelabuhan Honmura. Ando Museum merupakan pijakan awal yang ideal untuk mengenal Naoshima, karena koleksinya memang menjelaskan riwayat pulau ini. Banyak pengunjung juga mengenal Naoshima sebagai “Pulau Ando” lantaran Tadao Ando berandil besar dalam mendesain sejumlah museum di sini, termasuk Benesse House, Chichu Art Museum, dan Lee Ufan Museum.
Baca juga: Destinasi Wisata Baru di Selatan Tokyo; Melawan Penurunan Populasi Lewat Seni
Setelah mengelilingi separuh pulau, saya mulai merasa Naoshima merupakan “one-stop destination” untuk melihat karya seni. Berbagai format karya tersaji, dari lukisan, instalasi, hingga multimedia. Ada karya yang tidak boleh disentuh dan tidak boleh difoto, walau ada pula yang justru boleh diduduki. Saya juga menemukan karya yang berukuran mini hingga berukuran tiga sampai empat kali manusia. Melihat beragam suguhannya, sulit membayangkan pulau ini dulu pernah kosong ditinggalkan penduduknya akibat urbanisasi di zaman modernisasi Jepang.
Karya-karya seniman kondang juga bertaburan di sini. Saya sempat menikmati cuplikan karya dari para legenda sekaliber Jean-Michel Basquiat, Andy Warhol, serta tentu saja Yayoi Kusama. Dari semua labu kuning polkadot kreasi Yayoi, Pumpkin di Naoshima merupakan yang paling diburu fotografer berkat latarnya yang fotogenik.
Karya-karya di sini disebar di dalam dan luar ruangan. Naoshima, pulau mungil seukuran Nusa Lembongan, sejatinya memang sebuah galeri terbuka. Di sini, seni seperti dibiarkan tumpah, melebar dan melebur, mengaburkan batas antara wilayah privat dan publik.
Tapi bukan itu saja alasan Naoshima dijuluki “pulau seni.” Banyak bagian pulau ini juga didesain artistik. Bus bermotif polkadot, tempat sampah warna-warni, dinding rumah berlapis mural, serta bunga-bunga mungil yang ditata di atas nisan, semua itu seakan dibuat oleh seniman dan diseleksi oleh kurator. Rasanya tidak berlebihan jika saya mengutip salah satu komentar pengunjung yang mengklaim bahwa “the art installation is the island itself!”
Rosa Panggabean
Setelah 10 tahun bekerja untuk Antara, Rosa memutuskan beralih ke jalur independen pada 2018. Fotografer yang berbasis di Jakarta ini pernah menerima penghargaan Anugerah Adiwarta dan Anugerah Pewarta Foto Indonesia, serta mengikuti Erasmus Huis Fellowship di Amsterdam. Buku foto karyanya, Exile, terbit pada 2014. rosapanggabean.com.