by Kurniadi Widodo 18 May, 2018
Melihat Proses Pembuatan Hotel Seni di Yogyakarta
“Turut berduka cita atas kematian seni lukis Jogja.” Ucapan pedas itu terpampang pada sebuah karangan bunga yang dikirimkan untuk merayakan pembukaan Artotel Yogyakarta pada 7 Desember 2017. Pengirimnya tak jelas, tapi pesannya mudah ditangkap.
Mengawinkan seni dan hotel bukan sekadar perkara memadukan dua dunia yang saling melengkapi. Relasinya kompleks. Dalam proyek hibrida ini, ekspresi seni yang sejatinya “murni” mesti berkolusi dengan agenda bisnis untuk menjala laba. Persoalannya kemudian: di mana batasannya? Memesan karya tidak seperti memesan kendi atau televisi dari pemasok. Ekspresi seni bukan sesuatu yang mudah diatur secara tertulis dalam kontrak kerja. Kritik pada karangan bunga tadi agaknya bertolak dari kesimpulan Artotel Yogyakarta telah menjinakkan seni menjadi tak ubahnya benda dekorasi layaknya kendi dan televisi.
“Kita harus mengakui bahwa seni memang begitu. Buat hiasan,” ujar Apri, komikus asal Lombok. Kendati demikian, dia juga percaya seni bisa berperan lebih dari sekadar pemanis dinding. “Kalau kita punya bangunan ini [Artotel Yogyakarta], tak ada seni, tetap berfungsi, bisa buat beristirahat. Namun kita juga butuh seninya, untuk membuat orang merasa nyaman, betah di bangunan ini.”
Dalam peta industri perhotelan, Artotel memang memiliki tempat khusus. Konsepnya yang segar berhasil menyuntikkan warna berbeda. Akan tetapi, di Yogyakarta, hotel ini ternyata mengundang pula suara-suara miring yang kritis. Terlepas dari suguhannya yang atraktif, Artotel Yogyakarta seolah membangkitkan kembali perdebatan klasik perihal komersialisasi seni di Indonesia.
Tapi akar masalahnya mungkin bukan pada konsep Artotel. Sejenak menengok ke belakang, mengomisi seniman sebenarnya bukan praktik yang baru, termasuk di Indonesia. Dari patung-patung di perkantoran hingga ilustrasi pada botol minuman, banyak seniman telah melayani order karya dari korporasi. Jika polemik kerap muncul, itu mungkin karena “kode etik” dalam proyek komisi belum benar-benar tuntas dirumuskan, juga disepakati. Di satu sisi, seniman dipandang mengemban tanggung jawab moral untuk berkarya dengan jujur. Akan tetapi, dalam proyek komersial, kejujuran itu kerap harus memberi ruang bagi negosiasi dan kompromi yang pada akhirnya rentan merongrong independensi seniman.
Di Artotel Yogyakarta, komplikasi itu dirasakan pula oleh para seniman, termasuk Apri. Usai menerima tawaran untuk menggarap seluruh unit kamar di lantai tujuh, dia mengajukan gagasan karya berupa kombinasi antara wayang kulit dan elemen-elemen futuristik yang komikal. Pihak hotel awalnya mengangguk, tapi kemudian memintanya mengaplikasikan warna-warna yang mencolok pada karyanya—syarat yang bertolak belakang dari konsep orisinal yang memakai hanya warna hitam putih.
Intervensi serupa ditujukan ke Fatoni. Pelukis neo-ekspresionis ini awalnya juga mengajukan konsep mural hitam putih, tapi pihak hotel kemudian memintanya memodifikasinya. Padahal, bagi Fatoni, instruksi itu hanya akan berbuah visual yang norak. Mengambil jalan tengah, dia berniat menambahkan goresan-goresan manual setelah semua stiker dilekatkan di dinding.
Menurut Safrie, pihak Artotel selalu memberikan kebebasan kepada setiap seniman untuk mengeksplorasi kreativitasnya, asalkan tetap berkesinambungan dengan tema induk yang telah disepakati, contohnya tema “Jawa” di Artotel Yogyakarta. Dalam proses berkreasi, katanya lagi, campur tangan pihak hotel terbatas, misalnya berupa aturan warna, anjuran penambahan komposisi pendukung seperti teks, serta larangan membuat karya yang mengandung unsur kebencian. “Ini semua kanvas-lu, terserah mau diapain,” ujar Safrie menggambarkan keleluasaan yang diberikannya kepada para seniman.
Melihat wujud Artotel Yogyakarta, Safrie, yang juga seorang seniman, mengaku puas dengan hasil kerja para perupa pilihannya. Seluruh elemen seni berhasil membaur harmonis dengan interior hotel. Tentang tudingan Artotel menjadi bukti “kematian seni lukis Jogja,” dia lebih menganggap kritik itu sebagai hiburan. Menurutnya, publik seharusnya berpikir lebih terbuka. “Being crafty in any kind of medium is art,” pungkasnya.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Seni Masuk Hotel”).