by Wikana 30 January, 2019
Sekolah Seni Baru di Jakarta
Oleh Wikana
Foto oleh Fransisca Angela
Kotak-kotak peti kemas yang pernah menghuni gudang di kawasan Pancoran ditumpuk begitu saja di lahan seluas separuh lapangan sepak bola. Terselip di antara rumah-rumah warga yang berpekarangan hijau di wilayah Jagakarsa, kubus-kubus logam itu tampak kontras sekaligus janggal.
Tapi Gudskul sepertinya memilih alamat yang tepat. Teronggok di perbatasan Jakarta dan Depok, sekolah seni partikelir ini berjarak dekat dari lima perguruan tinggi, termasuk Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila. Tak lama usai diresmikan Oktober silam, tempat ini melesat jadi wadah kongko baru bagi warga indekos di sekitarnya.
Gudskul dibentuk oleh tiga kolektif seni: Ruang Rupa, Grafis Huru Hara, dan Serrum. Selama 18 tahun, ketiganya berpindah-pindah markas, bergerilya lewat beragam platform, jatuh bangun membesut berbagai kegiatan yang kesemuanya diikat oleh satu ideologi: kolaborasi. Sebelum ke Jagakarsa, mereka sempat bermukim di Gudang Sarinah Ekosistem.
Pendidikan barangkali fase puncak yang melembagakan semua pencapaian mereka. Para eksponennya, selain seniman profesional, rata-rata memiliki latar belakang pendidik, termasuk Ade Darmawan sang gembong Gudskul. Bersama Ruang Rupa, Ade meretas platform yang menyerap mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta: Jakarta 32˚C dan OK Video. Kedua platform ini kemudian menginisiasi kolektif baru, Serrum, yang dimotori oleh banyak mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Jakarta.
“Pendidikan kita terlalu individual. Sangat Barat,” ujar Ade membuka obrolan tentang lembaga pendidikan yang baru diretasnya. Pengalamannya belajar di Yogyakarta hingga Belanda telah memperlihatkan betapa sekolah seni kerap terlampau sibuk mencetak calon seniman yang berkarya solo. “Kolaborasi tak diajarkan di sekolah seni,” tambahnya.
Gudskul beriktikad menjadi antitesis dari kondisi itu. Seperti tertulis pada lamannya, lembaga ini ingin menjadi ruang studi kolektif sekaligus ekosistem seni rupa kontemporer. Hampir seluruh materi yang diajarkannya terkait nilai-nilai kolektif dan kolaboratif, seperti kesetaraan, solidaritas, dan kebersamaan. “Malu menyapa, sulit berkarya,” begitu moto yang tertera pada spanduk di pintu masuk Gudskul.
Di tahun pertamanya, Gudskul memilih 16 orang dari sejumlah kolektif seni di penjuru Indonesia untuk mengikuti program pendidikan yang dirancang selama setahun penuh. Dari 16 orang itu, hanya tiga yang memiliki latar belakang seni. Sisanya anak-anak muda lintas disiplin dan komunitas.
Seluruh partisipan dipilih melalui proses seleksi. Mula-mulanya mereka diminta mengirimkan pengalaman kerja kolektif dan rencana proyek yang akan digarap bersama Gudskul. Lolos tahap pertama, mereka disaring lewat sesi wawancara. “Terutama dilihat keterbukaannya dalam menerima ideologi kolektif, dan sudah memutuskan akan terjun di medan seni ko temporer,” jelas Ade tentang kriteria seleksi.
Baca juga: 18 Ruang Seni Pilihan Lima Tokoh Seni; 50 Tahun Taman Ismail Marzuki; 5 Ruang Seni di Jakarta
Saban harinya, 16 orang itu digembleng dengan serangkaian modul yang disarikan dari pengalaman bertahun-tahun Ade dan kawan-kawan dalam menghidupkan kolektif. Modul Tinjauan Kolektif Seni Rupa, misalnya, menyoroti sejarah kolektif di Asia Tenggara. Sementara Laboratorium Kolektif Seni menelusuri berbagai proyek seni dan praktik artistik masa lalu, serta relevansinya bagi situasi terkini.
Proses belajar peserta bergulir di tengah ekosistem seni yang lengkap. Inilah yang membuat Gudskul berbeda dari banyak lembaga pendidikan lain. “Padepokan” ini memiliki kurator, penulis, manajer, peneliti, musisi, sutradara, arsitek, hingga koki dan perancang busana. Berkat kelengkapan itu, Gudskul membuka peluang bagi munculnya isu, wacana, hingga medium artistik yang beragam.
Yang juga berharga, para peserta bisa memanfaatkan jaringan yang sudah terbentang lapang lewat aneka inisiatif garapan eksponen Gudskul, misalnya Jakarta 32˚C, OK Video, Ruru Shop, Kurikulab, dan RRRec Fest. Peserta bisa mengeksplorasi arsip, video, suara, instalasi, grafis, hingga partisipasi warga. “Mereka harus jadi agen-agen seni di wilayahnya,” jelas Ade, “karena kami ingin merawat ekosistem, bukan hanya memproduksi seniman.”
Di luar program utamanya, Gudskul berikhtiar melibatkan publik yang lebih luas melalui serangkaian kursus, mulai dari fotografi hingga menulis cerpen, yang digelar malam hari. Program berbayar ini mengajak pesertanya mendalami materi yang relevan dengan situasi kontemporer. Peserta, misalnya, diajar mengasah kepekaan akan benda-benda di sekitarnya, lalu memberi makna baru lewat instalasi. Ada juga kelas Art Handling yang membeberkan solusi kreatif dalam menangani pameran, mulai dari pemasangan hingga pengemasan karya. “Kita ingin menguji ide kita. Apakah relevan dan memiliki aspek keberlanjutan,” ujar Ade tentang program berbayar Gudskul.
Kelahiran Gudskul merupakan bagian dari tren yang menggejala setidaknya sejak 2000 di Jakarta. Seni kontemporer di Ibu Kota memang tak hanya menggeliat di ruang-ruang formal seperti kampus, galeri, dan pusat kesenian. Alih-alih, proses penciptaan karya justru marak dilakukan oleh kolektif artis melalui kolaborasi dengan beragam kelompok masyarakat.
Selain Gudskul, Jakarta memiliki Milisifilem Collective, platform yang dibentuk pada 2017 oleh Forum Lenteng. Platform ini mendalami produksi visual dengan tema sosial dan budaya mutakhir, memakai pendekatan partisipatoris dan kolaboratif. Oktober silam, kelas angkatan ketiganya dimulai dengan peserta anak-anak muda dari beragam lembaga, termasuk dari luar Jawa. Di antara mereka ada Ahmad Humaidi dari Yayasan Pasirputih, Lombok, serta Syahrullah utusan Sindikat Sinema, Samarinda.
Dalam konteks yang lebih luas, kemunculan institusi semacam Gudskul dan Milisifilem sebenarnya juga menyiratkan koreksi terhadap lembaga-lembaga seni mapan di Jakarta, termasuk kampus seni dan dewan seni. Maklum, banyak lembaga di kota ini seperti mandek lantaran didominasi “birokrat seni” yang kurang memahami perkembangan wacana.
Menurut artis senior FX Harsono, banyak alumni sekolah seni formal kerap gagap saat memasuki wilayah seni kontemporer. “Bagaimana menjembatani riset untuk penciptaan karya misalnya, tak diajarkan di lembaga pendidikan seni,” ujar Harsono yang dulu berperan sentral dalam Gerakan Seni Rupa Baru. “Skena seni dunia berkembang demikian kompleks. Kegiatan penciptaan semua beralih kian kolaboratif, partisipatif, melibatkan banyak kajian.”
Harsono pun mencetuskan inisiatif pendidikan seni. Bersama ruang seni Dialogue, dia menciptakan Exi(s)t pada 2012. Dari rahimnya lahir antara lain Natasha Tontey, Yaya Sung, serta Ratu Saraswati. Sosok-sosok muda ini kini rajin menggelar pameran di Indonesia dan Asia.
Exi(s)t menjalankan tugas inkubator. Dari ratusan artis muda yang mendaftar per angkatannya, Harsono menerima hanya tujuh hingga 10 orang yang memiliki konsep karya menarik dan pemahaman akan wacana kontemporer. Lewat pendampingan setahun, partisipan diajak untuk tak hanya berorientasi pada karya, tapi juga berdialog secara kritis seputar spektrum seni kontemporer. Di ujung kelas, kreasi mereka disajikan di Dialogue atau Galeri Nasional.
Meski telah digelar tujuh kali tanpa jeda, bagi Harsono, keberhasilan sekolah partikelir tidak bisa diukur secara instan. Proses pendidikan seni ini berdimensi jangka panjang. “Ini membangun generasi. Jadi minimal harus konsisten 10 tahun terus-menerus,” ujarnya.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2019 (“Kutub Kolektif”).