Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Road Trip di Jawa Timur

Kiri-Kanan: Kawanan rusa di Taman Nasional Baluran; Tengkorak rusa penghuni Baluran.

Saya tak tahu banyak soal Osing, kecuali bahwa mereka merupakan suku mayoritas di Banyuwangi. Singgah di sebuah warung, saya langsung menangkap impresi yang menarik tentang mereka. Makanan Osing tak cuma sedap. Nama-namanya juga cukup menghibur, misalnya pecel pitik, uyah asem, dan tape ketot. Saya bisa memakainya untuk mengungkapkan rasa kesal terhadap teman-teman kantor.

“Suku Osing bermula di desa ini,” jelas Sucipto, Ketua Sanggar Barong Sapu Jagad. Saya menemuinya di rumahnya yang bersanding dengan area pentas barong dan gandrung. “Kemiren itu singkatan dari kemiri, duren, dan aren. Dulu, waktu leluhur datang ke sini, Kemiren penuh pohon itu.” Di tengah perbincangan, istrinya menghidangkan kopi robusta. Bijinya disangrai sendiri. Airnya dimasak di tungku kayu bakar. Rasanya pekat dan tebal.

Sucipto, pria yang tak lulus SMP, pernah membawa kru Barong Sapu Jagad pentas di banyak kota. Seniman yang merangkap petani ini mengaku menekuni seni barong sebagai tanggung jawab moral sekaligus tugas suci. “Saya bisa menari barong karena dipilih ‘mbah buyut.’ Kesenian ini harus dijaga,” ujarnya.

Perahu merapat ke Teluk Hijau, salah satu magnet wisata Taman Nasional Meru Betiri.

Petang sudah lewat saat saya pamit dari rumah Sucipto. Hari ini, saya menginap di Ijen Resort, sekitar 20 kilometer dari Gunung Ijen. Seperti biasa, saya memesan kamar termurah, tapi kamar termurah di sini merupakan yang termahal di Banyuwangi. Untungnya, harga itu setimpal dengan kualitas kamarnya, juga pemandangan yang tersaji dari balkonnya: sawah sengkedan yang mengukir lembah dan gunung-gunung jantan yang menusuk langit.

Bangun pukul tiga subuh, saya menembus gulita menuju kaki Gunung Ijen. Pendaki lazimnya bertolak pukul dua pagi demi mengejar fenomena alam blue fire, jawaban Indonesia atas aurora borealis. Tapi Ijen kini sedang labil. Akhir Maret silam, gas beracun menyeruak dari kawahnya. Sebulan berselang, pendakian dibuka kembali, tapi hanya dari pukul empat.

Pendakian ke puncak menguras stamina. Dikepung dingin, saya bisa melihat napas saya sendiri. Sepanjang rute, puluhan orang menawarkan jasa “ojek” berbentuk troli roda dua. Saya sempat membaca, troli ini awalnya disumbangkan oleh pria Swiss Heinz von Holzen. Dia merasa simpati kepada para penambang yang saban harinya memikul 60-90 kilogram bongkahan belerang. Kini, menyadari banyak turis kewalahan mendaki, termasuk saya, banyak penambang membaca peluang yang lebih menjanjikan dari troli donasi tersebut. Tarif ojek ke puncak menembus Rp500.000, sementara harga jual belerang cuma Rp1.000 per kilogram.

Kiri-Kanan: Seorang penambang memanggul batu belerang di lereng Kawah Ijen; Peselancar di Pantai Pulau Merah.

Tiba di puncak Ijen (tanpa troli!), saya menyusuri bibir kawah. Angin kencang berembus. Awan tersangkut di dahan-dahan. Melongok ke kawah yang berwarna turkuois, asap mengepul dari lubang tambang. Di tengah ancaman gas, para penambang terus menggali batu-batu kuning, mengusungnya di pundak, lalu menjualnya ke pengepul yang kemudian mengirimkannya ke pabrik korek api, baterai, dan insektisida.

Seorang penambang lewat di depan saya. Memikul batu seperti menakar batas toleransi tubuh dalam menanggung beban. Cedera punggung dan infeksi pernapasan adalah problem jamak di sini. Kini, lewat pariwisata, kaum penambang berharap bisa mengurangi beban itu. Selain menawarkan jasa ojek troli, mereka mengail uang tambahan sebagai model foto. Beberapa yang kreatif menjual suvenir batu yang dipahat berbentuk hati hingga Hello Kitty.

Dari puncak setinggi lebih dari dua kilometer, saya turun ke kaki Ijen. Ojek troli masih mangkal dan merayu di banyak titik, kali ini dengan tarif obral Rp50.000. Proses turun lebih menyiksa dari mendaki. Punggung encok. Betis linu. Lutut terus bergetar. Inilah sebabnya saya sukar memahami alasan orang hobi mendaki gunung. Saya menduga, mereka, termasuk anggota Mapala dan orang Swiss, mengidap semacam gangguan sadomasokis. Mendarat di pos tiket (juga tanpa troli!), saya mampir di sebuah warung untuk menikmati guilty pleasure terpopuler di daerah dingin: menyantap mi instan.

Asap mengepul dari lubang tambang di Kawah Ijen.

Siang hari kelima, saya melompat jauh ke utara menuju Taman Nasional Baluran. Tiba menjelang magrib, saya langsung menuju pondok di dalam taman nasional. Malam ini saya menginap di Guesthouse Banteng. Namanya ditujukan untuk mengenang mantan penghuninya, Martin Tyson, seorang peneliti banteng. Iskandar, staf Baluran, memberi pembekalan tentang aturan pondok. “Listrik mati jam 10 malam,” katanya. Tidak masalah, pikir saya. “Semua pintu dan jendela mesti ditutup. Kera di sini suka mencuri makanan,” katanya lagi. Perkara sepele. “Tidak boleh masuk sabana di depan guesthouse. Ini habitat kobra,” tutupnya. Saya mengangguk dan menelan ludah.

Saya melihat-lihat kondisi pondok. Interiornya kotor. Mebelnya reyot. Sebuah sarang rayap melekat di samping bantal saya. Guesthouse ini seolah tak pernah diurus semenjak Martin hengkang. Didera gerah, saya memaksa mata terpejam, melewati malam di antara rayap yang giat bekerja, kera yang sigap mencari celah, dan kobra yang entah bersembunyi di mana.

Persis pukul empat subuh, saya terbangun, lalu melaju ke pantai. Kera-kera bangun lebih dini. Salah satunya menghampiri saya dan memasang wajah melas berharap sedekah. Ketika langit berangsur terang, saya berpindah ke Sabana Bekol. Suasananya lebih sibuk. Seekor lutung hinggap di dahan. Beberapa ekor kerbau menggelar apel pagi di kubangan. Sebuah keluarga rusa merumput di kaki pohon. Semua terlihat subur dan bahagia, berbeda dari kolega mereka di Kebun Binatang Surabaya.

Kiri-Kanan: Pantai fotogenik Wedi Ireng di dekat Desa Pancer; Tengkorak banteng di Taman Nasional Baluran.

Selain menjadi rumah satwa, Sabana Bekol digemari pengunjung. Namanya dipetik dari pohon Widoro Bukol yang tersebar di Baluran. Barangkali inilah padang rumput yang paling banyak difoto di Indonesia. Lanskapnya memang fotogenik, terutama dengan Gunung Baluran sebagai latarnya. Berkat Sabana Bekol pula, Baluran dijuluki “Afrika mini,” walau sebenarnya ini Afrika minus aksi kejar-kejaran dan terkam-menerkam. Predator utama di sini, ajag dan macan, bersembunyi di rahim hutan.

Senin siang, saya meninggalkan Baluran. Di menit-menit pertama, Gunung Baluran mengiringi dari balik jendela. Gunung purba ini meletus di zaman ketika waktu belum dicatat. Jalur-jalur bekas aliran lava menjulur di lerengnya, membuatnya mirip rok yang penuh lipatan. Memasuki hutan, gunung lenyap, tapi panorama penggantinya tak kalah menarik. Sepanjang jalan, ribuan kupu-kupu beterbangan sporadis seperti ribuan kelopak bunga yang diterpa angin. Dimulai di hutan yang keramat, ekspedisi ini ditutup di hutan yang puitis.

PANDUAN
Rute
Bandara paling strategis untuk menjangkau tepian timur Jawa terletak di Banyuwangi. Terminalnya dirancang apik menyerupai lobi resor oleh arsitek Andra Matin. Penerbangan ke sini dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), Citilink (citilink.co.id), Nam Air (sriwijayaair.co.id), serta Wings Air (lionair.co.id).

Penginapan
Alas Purwo menawarkan empat resor, salah satunya Joyo’s Surf Camp (Pantai Plengkung; 0361/4754-230; g-land.com; Rp1.125.000 untuk bungalo). Pantai Pulau Merah mengoleksi banyak homestay, salah satunya Jessie’s Beach House (Jalan Pantai Pulau Merah; 0853-3736-0089; Rp600.000). Penginapan termewah di dekat Gunung Ijen adalah Ijen Resort & Villas (Desa Kluncing, Kecamatan Licin; 0819-3764-6004; ijenresortandvillas.com; Rp1.500.000). Dari empat pondok di Baluran, Guesthouse Banteng (0823-3221-3114; balurannationalpark.web.id; Rp400.000 untuk rumah berisi dua kamar). Berjarak paling dekat dari Sabana Bekol.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/September 2018 (“Teroka Timur”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5