by Yoppy Pieter 31 August, 2014
Potret Suku Abui di Alor
Oleh Yoppy Pieter
Warna cakrawala segera berganti jingga. Di ujung hari, waktu yang bergulir lambat mengantarkan saya ke Kampung Adat Takpala. Hati tiba-tiba membuncah: di senja yang larut ini, mungkinkah orang Abui tetap membukakan pintunya bagi tamu? Ternyata semua di luar dugaan. “Halo, selamat sore,” sapa Martinus, pria yang dituakan di kampungnya.
Dua tahun lamanya Takpala tersemat dalam benak. Saya dulu melihatnya di televisi. Warga kampung ini tampil begitu bersahaja dan menghipnotis. Saya kini datang menyapa mereka, menyapa orang-orang yang menantang laju peradaban, di kabupaten yang teronggok paling timur dalam gugusan Nusa Tenggara Timur.
Fala foka beratap piramida berjejer kokoh. Beruntung saya masih diperkenankan untuk melihatnya lebih dekat. Fala foka didirikan di atas filosofi hidup Suku Abui. Di dalamnya terdapat empat ruang yang tersusun mengikuti formasi limas. Pada hakikatnya, rumah ini memainkan banyak peran, sebagai pelindung, ruang tidur, lumbung, dan gudang pusaka. Di lantai dua, lantai bambu berderit ngilu di ruangan tanpa cahaya. Sebuah pelita lalu disulut dan lekukan-lekukan di interior terlihat jelas.
Saat menengadah, tampak tumpukan jagung memenuhi lantai tiga. Di ruang teratas, pusaka-pusaka direbahkan. Fala foka memicu rasa sesak. Saya merasa terkungkung lalu memutuskan untuk keluar. Duduk di tepian, saya melemparkan pandangan ke Martinus, rumah-rumah tetangga, juga pohon-pohon asam rimbun yang menghadirkan keteduhan. Ada yang janggal di sini. Tak seorang pun berpakaian adat.
Modernisasi telah menyentuh kampung ini. Begitu pula ajaran-ajaran samawi. Protestan dan Katolik telah mengisi kartu-kartu identitas sipil, walau titel agama belum sepenuhnya mengambil alih kepercayaan terhadap bulan, matahari, sungai, hutan, dan laut. Ada fragmen-fragmen tertentu di mana konsep Trinitas dipilih dalam menuntun hidup. Penduduk Takpala masih merawat mesbah, sebuah mikrokosmos dalam kepercayaan nenek moyang yang diamini Abui.
Mesbah, peninggalan Zaman Megalitikum, adalah tumpukan batu di mana persembahan digelar. Sebuah situs yang sakral. Sulit dimungkiri, waktu sudah jauh meninggalkan Suku Abui. Dan mereka tidak sendiri. Banyak warga pribumi sudah terlempar dari roda zaman yang berputar kencang. Banyak pihak berusaha mempertahankan mereka, tapi upaya ini tak melulu dilandasi niat bijak yang tulus. Banyak warga suku justru diubah menjadi artefak yang dikomersialisasikan, juga obyek yang dipertontonkan.
Autentisitas pun menjadi barang langka. Saya masih ingat perjalanan ke pedalaman Mentawai di Sumatera Barat. Rumah yang saya tinggali dihuni sebuah keluarga, tapi sejatinya dibangun pemerintah setempat guna menampung turis. Suku-suku pedalaman memang sedang terdesak oleh perubahan zaman.
Sejumput kopi diseduh di gelas bermotif bunga. Matahari menembus ranting-ranting pohon asam. Saya kembali duduk di tepian fala foka seraya menatap semburat pagi di atas Laut Flores. “Selamat pagi,” Martinus menyapa dengan senyum berwarna burgundi. Kami membuka pagi dengan diskusi serius tentang jati diri Abui dan kiprah kampung mereka. Keduanya saling menguatkan dalam simpul yang melahirkan jiwa-jiwa kesatria. Kata Martinus, adalah ayahnya, Piter Kafilkae, yang mewakafkan tanahnya sebagai lahan berdirinya Kampung Takpala, lima tahun sebelum Indonesia merdeka. Katanya lagi, meski hutan Alor masih menawarkan banyak babi liar, orang-orang Abui akan berpikir ulang untuk menggantungkan hidupnya pada berburu semata. Uang kini sudah menjadi alat pertukaran yang lumrah. Transaksi barter adalah kisah lawas.
Saya lalu bertanya kapan persisnya Takpala mulai mementaskan tarian bagi turis, tapi Martinus hanya menjawabnya dengan tawa. Agaknya tak ada yang tahu pasti kapan pariwisata dirintis di sini. Untungnya, dilihat dari banyak aspek, komersialisasi Takpala masih dalam koridor yang wajar. Kampung ini bagaikan museum hidup yang bergerak bersama langkah penghuninya.
Udara hangat mengiringi para kerabat yang berdatangan. Martinus beranjak untuk menyambangi orang-orang yang berbalut kain tenun dengan rambut terurai layaknya ranting-ranting asam. Takpala yang sunyi kini bertransformasi menjadi panggung pertunjukan, sebuah teater tribal yang semarak. Di tepian kiri, di mana tali-tali direntangkan, berjajar lusinan kain tenun yang senantiasa tersibak angin. Saat tamu-tamu Eropa datang, Martinus menari dengan otot-otot yang berdenyut di balik kulitnya yang legam. Matanya menggeliat mengikuti sapuan pedang. Dia lalu mengelilingi mesbah. Gerakannya liar, indah, sekaligus menakutkan.
Di sisi yang lain, hadir satu koloni perempuan. Diiringi syair Abui, mereka berhamburan dan membentuk lingkaran Legolego. Gemerincing gelang kaki dan tangan yang saling bertaut menyimbolkan eratnya persaudaraan. Ketulusan mereka mengisi udara. Menari di depan turis kerap dicemooh sebagai pentas pabrikasi, noda bagi autentisitas adat. Tapi rasanya tak adil menuntut Suku Abui untuk mempertahankan cara hidup lama di tengah dunia yang tak menghargai masa lalu. Di mata mereka, keinginan melestarikan tradisi kini harus berkompromi dengan kebutuhan untuk menyambung hidup.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Agustus 2014 (“Teater Takpala”)