Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Phnom Penh Melepas Trauma

Seorang biksu berjalan di luar tembok kompleks istana. Potret jamak di Phnom Penh.

Oleh Rian Afriadi

Orang datang ke Kamboja untuk melihat Angkor Wat di Siem Reap, bukan untuk melihat Phnom Penh. Ibu Kota Kerajaan Kamboja ini adalah opsi ke dua. Untuk ukuran sebuah ibu kota negara, kota ini tergolong cukup sepi. Tidak ada wisata terpadu sekelas Bangkok, tidak ada antrean sepeda motor semrawut seperti Ho Chi Minh City, tidak ada deretan pencakar langit seperti Singapura atau Jakarta atau Manila. Sejauh ini gedung pencakar langit jumlahnya kurang dari lima. Absen pula kehadiran transportasi publik. Bersiaplah untuk tawar menawar dengan sopir tuktuk—sejenis delman yang kudanya diganti motor.

Kiri-kanan: Sudut kota Phnom Penh. Ada banyak kontras masa lalu dan masa modern di kota ini; potret diri para korban kekejaman Khmer Merah dipajang di Tuol Sleng Genocide Museum.

Secara garis besar, yang Phnom Penh tawarkan adalah wisata sightseeing di sekitar area istana dan wisata horor peninggalan Khmer Merah di area museum Toel Sleng dan Killing Field. Area Istana mencakup istana, museum, wat (kuil) Buddha, dan area sisi sungai (Sisowath Quaye alias Riverside) yang menawarkan banyak kafe, restoran, spa, dan pub. Sementara itu, di area horor kita bisa melihat sisa-sisa kekejaman Khmer Merah yang terdokumentasi dengan baik: foto-foto, cerita, alat-alat penyiksaan, dan dinding-dinding bisu sebuah bekas sekolah yang merekam jeritan para korban pembunuhan massal. Dua juta dari total delapan juta penduduk Kamboja tewas selama empat tahun kekuasaan Khmer Merah.

Royal Palace dan Wat Ounalom tampak di kejauhan, dikepung rumah susun, hotel, dan pasar.

Tapi tentu saja Phnom Penh memiliki lebih dari sekadar istana dan kisah horor jika kita mau melihatnya lebih dekat. Begitu menginjakkan kaki, kita bisa melihat sebuah proses transformasi dari kematian menuju kehidupan. Terlepas dari Khmer Merah, saat ini kehidupan sudah lebih mendominasi dibanding kematian. Di sebuah hari yang cerah kita bisa melihat anak-anak berseragam ramai-ramai ke sekolah, biksu Buddha berjalan kaki dengan jubah jingganya yang sederhana, berwibawa, tapi tampak gagah. Ibu-ibu secara melakukan senam massal di taman diiringi musik disko yang disetel super keras oleh si instruktur. Di pasar, orang-orang sibuk menjajakan barang-barang yang cukup unik bahkan bagi orang timur sekalipun. Di mal—yang dalamnya tidak terlalu mirip mal, para remaja ramai melihat-lihat telepon seluler terbaru atau mencari baju ala artis Korea setelah sebelumnya makan di restoran cepat saji yang sudah dilokalkan.

Aktivitas gratis favorit anak-anak Kamboja di depan Royal Palace: bermain dengan kawanan burung

Mulai ramai tapi belum terlalu ramai. Waktu masih terasa lambat di Phnom Penh daripada di kota-kota lain. Mungkin kota ini mirip Bangkok puluhan tahun yang lalu. Hanya saja, di Bangkok puluhan tahun yang lalu tidak ada remaja-remaja yang memperbarui status facebook di iPhone atau Blackberry setiap saat.

Ibu-ibu mengikuti senam masal di Riverside.
biksu 1 phnom penh skyline royal palace DSCF2218 (2)-lores
Kiri-kanan: Sudut kota Phnom Penh. Ada banyak kontras masa lalu dan masa modern di kota ini; potret diri para korban kekejaman Khmer Merah dipajang di Tuol Sleng Genocide Museum.