Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Potret Kehidupan Sekte di Tanah Tengger

Penganan yang disajikan dalam sebuah upacara Buddha Jawa Sanyata.

Oleh Yoppy Pieter

Ngadas mengajarkan kita tentang keyakinan, tentang perbedaan, juga tentang tenggang rasa. Di desa ini, kedamaian adalah rumah yang dirangkai oleh banyak agama, termasuk agama yang dicap “marginal.”

Langit senja menyisakan semburat jingga saat saya menemui keluarga Nur. “Pinarak mas,” ujar sang kepala keluarga yang menyeruak dari dapur. Rumahnya bersahaja, tak ada kejutan yang menyita perhatian, kecuali saat istri Nur menyuguhkan air putih mengepul yang dicampur gula.

Keluarga Nur hidup di bawah atap yang sama, tapi dengan kiblat yang berbeda. Nur dan istrinya menganut Buddha Jawa Sanyata, sementara kedua anaknya memilih agamanya masing-masing. “Anak kami yang paling besar sudah masuk Islam sebelum menikah. Kalau yang kelas empat SD mualaf tanpa desakan dari siapa pun,” ucap Nur. “Hal ini sudah biasa terjadi di Ngadas: satu rumah didiami oleh anggota keluarga yang berbeda keyakinan.”

Lanskap dataran tinggi Ngadas yang dibalut kabut.

Toleransi adalah angin sejuk yang berembus halus di Ngadas. Warganya memilih agama berdasarkan pertimbangan personal, bukan semata atas faktor keturunan, apalagi rayuan dan paksaan. Ngadas mungkin hanya sebuah daerah “udik” di Jawa Timur, tapi tempat ini berhasil mempraktikkan prinsip kebebasan beragama secara ideal. Contoh bagus bagi negeri yang kerap dikoyak konflik akibat perbedaan tafsir atas ayat.

Desa Ngadas bersemayam di pintu barat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kawasan yang sudah didiami Suku Tengger selama lebih dari tiga abad. Di dataran tinggi inilah Buddha Jawa Sanyata menancapkan akarnya sebagai sekte Buddha yang terlahir di bumi Jawa. Keyakinan yang baru seumur jagung ini dibentuk oleh kombinasi faktor pergolakan politik, isolasi lanskap, dan ajaran leluhur.

Kudu welas asih marang sepada-pada ning urip, ojo teksio marang sepada-pada ning urip,” jelas Ngatono tentang pilar ahimsa dalam ajaran Buddha Jawa Sanyata. Terjemahannya: “harus saling mengasihi sesama makhluk hidup, jangan semena-mena terhadap makhluk hidup.”

Kiri-kanan: Pergi ke tempat ibadah dengan menaiki truk; para pria dengan sarung khas Tengger.

Ngatono, sesepuh dalam majelis Buddha Jawa Sanyata, menghampiri saya dengan sarung khas Tengger bermotif kecubung yang merengkuh bahunya. Melalui dialah saya berkenalan dengan Buddha Jawa Sanyata, sebuah keyakinan minoritas yang merekah di Jawa Timur.

Buddha Jawa Sanyata bisa dibilang adalah sebuah agama “hibrida.” Jawa Sanyata hadir lebih dulu sebagai agama Suku Tengger, semacam kebatinan Kejawen Jawa. Sedangkan Buddha adalah agama “impor” yang didapuk atas tuntutan zaman. Persekutuan iman ini bisa dilacak akarnya pada masa transisi dari rezim Orde Lama ke Orde Baru.

Pada 1965, Indonesia diguncang pergolakan politik. Warga Ngadas yang mengalami momen tersebut merasakan bagaimana Indonesia seolah terbelah antara pemeluk agama dan pendukung komunis yang dianggap ateis. Polemik pun muncul. Agama memiliki definisi yang presisi, begitu pula komunisme, sementara keyakinan-keyakinan lokal semacam Jawa Sanyata berada di daerah abu-abu—tidak ke “kiri” ataupun “kanan.”

Umat merapal doa dalam sebuah pemberkatan pernikahan.

Atas tuntutan zaman, penganut Jawa Sanyata kemudian mengambil solusi darurat. “Saat itu, sekitar tahun 1970, kami memutuskan untuk memeluk Buddha. Alasannya jelas, ajaran Jawa Sanyata memang lebih mengarahkan kami untuk memilih ajaran Buddha. Kami juga mengenal sosok Sri Raja Mahadewa Buddha. Dari situlah ajaran Buddha Jawa Sanyata lahir,” ujar Ngatono.

Tanpa disadari, keputusan tersebut memberi keuntungan jangka panjang. Pada 1978, pemerintah melakukan perampingan agama dengan mengakui hanya lima agama resmi: Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Islam. Dengan menjadi sekte Buddha, Jawa Sanyata bukan cuma selamat dari cap “komunis,” tapi juga lolos dari stempel “menyimpang.”

Proses peleburan Jawa Sanyata dan Buddha berlangsung pelan. Warga baru mengenal sosok Siddhartha Gautama pada 1992. “Saya masih ingat, tanggal 2 bulan 11 tahun 1992 saya memutuskan untuk menggali ajaran Buddha itu seperti apa,” kenang Ngatono. “Dan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995, saya mencari informasi bagaimana membentuk kepengurusan organisasi di Walubi Kabupaten Malang, sekalian belajar ajaran darma.”

Kiri-kanan: Tangga menuju salah satu tempat sakral dalam Buddha Jawa Sanyata, keyakinan minoritas yang merekah di Jawa Timur; jalanan yang membelah lanskap hijau Desa Ngadas.

Latar sejarah yang rumit itu turut membentuk kaidah-kaidah kompleks yang kini dijalankan oleh Buddha Jawa Sanyata. Dalam konsep teologinya, terlihat gamblang beberapa elemen Kejawen masih memberikan warna yang dominan, sementara sentuhan Buddha hadir dalam bentuk terminologi dan filosofi.

Dalam Buddha Jawa Sanyata, Tuhan diberi nama Sang Hyang Wenang ing Jagad. Tapi Dia tidak berdiri tunggal. Umat juga menyembah Eyang Ibu Bumi sebagai sosok yang mengalirkan kesuburan pada bumi. Selain itu, ada Ki Semar dan Sri Raja Mahadewa Buddha (yang kemudian mereka kenal sebagai Siddhartha)—dua figur yang dipandang sebagai pembawa wahyu Tuhan dan guru spiritual yang mengajarkan welas asih.

Iman yang penuh lapisan itu termanifestasi dalam praktik peribadatan. Rabu siang, saya menghadiri prosesi ibadah yang disebut “Reboan.” Warga menghentikan kegiatan berkebun, lalu berduyung-duyun memasuki Wihara Paramitha. Ibadah ini kental nuansa Jawa. Seorang pendeta merapal ayat-ayat Adam Makna (kitab Buddha Jawa Sanyata yang ditulis dalam huruf Hanacaraka) menggunakan irama lantunan mocopat seraya bersujud kepada triumvirat Sang Hyang Wenang ing Jagad, Ki Semar, dan Sang Buddha.

Kiri-kanan: Para penganut Buddha Jawa Sanyata umumnya adalah kaum sepuh; udeng batik dan kemeja hitam merupakan seragam ibadah umat Buddha Jawa Sanyata.

Terlepas dari kompleksitas ajarannya, Buddha Jawa Sanyata mungkin lebih patut dikenal sebagai ajaran yang mewartakan toleransi. Pada pertengahan 1980-an, Islam dan Hindu mulai mengisi ruang-ruang keyakinan di kawasan Tengger. Batas-batas toleransi pun diuji, dan Ngadas berhasil lolos dengan rapor biru. “Jadi kita hidup harus saling menyayangi, dan jangan sampai kebahagiaan manusia terhalang oleh perbedaan” ujar Ngatono.

Umat Buddha Jawa Sanyata percaya, perbedaan diciptakan Tuhan sebagai sumber kebahagiaan, bukan pangkal malapetaka. Di antara para turis yang sibuk memotret sunrise, di antara jip-jip uzur yang menderu di padang pasir, di antara harum edelweiss dan aroma busuk belerang, Bromo ternyata menyimpan petuah penting tentang bagaimana kita menjalankan keyakinan dan mengelola perbedaan. Namo Buddhaya.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2015 (“Tabula Rasa Tengger”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5