by Fatris MF 05 April, 2018
Pintu Pertama Masuknya Islam ke Indonesia
Oleh Fatris MF
Foto oleh Zulkifli
Mau tahu sejarah Barus? Tepat kalinya itu, ini malam Jumat,” Kasman Sembiring memelototkan matanya. Wajahnya yang tadinya riang berubah tegang.
“Bawa dulu kemenyan putih, arang, batok kelapa, terus kertas sama pena. Jangan lupanya itu bakar kemenyan. Kosongkan pikiran. Nanti pena kau itu akan menulis dengan sendirinya,” Kasman mengembuskan asap tembakau ke udara November yang basah, lalu meneruskan ceritanya. “Yang menulis itu, kalok kau bisa lihat, cewek kurus, hidungnya mancung, kulitnya putih, rambutnya panjang.”
“Saya pernah lihat itu perempuan. Benar memang!” Marganda Tobing menyela sembari membenarkan posisi bangku panjang yang didudukinya. Perbincangan sejarah yang awalnya santai, kini meruncing ke persoalan pelik: dunia gaib. Marganda, yang sehari-harinya bekerja sebagai petugas keamanan, bahkan bertekad menulis buku sejarah Barus berdasarkan penerawangan gaibnya itu. “Sejarah Barus yang sebenarnya,” tegasnya dalam dialek Batak yang penuh penegasan.
Magrib sebentar lagi datang. Di seberang tempat kami berbincang, murid-murid SMA 1 Barus berhamburan dari gedung sekolah, berseliweran di jalanan basah, melewati jembatan licin yang mengangkangi Sungai Sirahar menuju perkampungan-perkampungan lengang. Dua siswa mampir di warung milik istri Kasman untuk membeli minuman dingin, lalu menyeruputnya dengan sedotan sembari berjalan dalam hujan. Danau-danau mini dan keruh mulai mengembang di muka warung.
Sejarah Barus mungkin sama keruhnya dengan air kubangan itu. Kisahnya ditaburi catatan yang meragukan, berita yang simpang siur, juga rumor dari alam yang tak kasatmata. Untuk yang terakhir ini, saya urung membuktikan kebenarannya. Pembakaran kemenyan untuk menguak tabir sejarah Barus terpaksa ditunda akibat hujan yang tak kunjung reda.
Sore hengkang dan malam menyelinap di antara tetes hujan, mengirimkan kegelapan ke kota kecil di pesisir barat Sumatera ini. Kasman masih terdiam. Gadis berhidung mancung yang entah jin entah siluman, yang akan dipanggilnya untuk menuliskan sejarah, tidak kunjung tiba. “Bagaimana akan tiba kalau kemenyan belum menyala!” kata Kasman.
Gadis misterius itu mungkin tak pernah ada. Tapi sejarah Barus sesungguhnya sudah bisa diceritakan dari kemenyan di depan saya. Barus, kota dagang yang dulu kondang, kota dengan riwayat yang gilang-gemilang dan membentang hingga ke zaman Firaun, memulai riwayatnya memang dari kemenyan, juga kamper. Dua komoditas inilah yang membuat pamornya mencuat di masa silam.
Menurut Gusti Asnan, guru besar ilmu sejarah di Universitas Andalas, kemenyan dan kamper telah menjadi komoditas utama di sini sejak awal milenium pertama. Barus, tulis Sitor Situmorang dalam Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, telah berperan sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper sejak abad ke-5.
Banyak aspek dalam hidup Anda, sejak lahir hingga mati, membutuhkan kemenyan dan kamper—dan kemenyan dan kamper asal Barus (yang kemudian melahirkan istilah “kapur barus”) tersohor akan kualitasnya sejak lama. Sejarawan dari Universitas Sumatera Utara, J. Fachruddin Daulay, menyebut kapur barus pernah ditemukan dalam makam-makam tua Mesir sebagai pengharum mumi Firaun. Alquran juga sempat menyinggung kapur barus dengan menyebutnya “kafur” yang berarti “mata air dari surga.”
Berkat kemenyan dan kapur barus, Barus punya jejak dalam peta perdagangan global. Seperti Banda yang memproduksi pala atau Ternate yang menghasilkan cengkih, kecamatan di Tapanuli Tengah ini menjadi titik tolak bagi hasil bumi Nusantara untuk menjangkau tanah-tanah yang asing. Sejarah Barus adalah sejarah perjalanan panjang kapur barus selama ribuan tahun, yang di Barus sendiri sekarang pohonnya bagai raib dan asing.
Tapi bukan berkat komoditas semata Barus terkenal. Membuka riwayatnya, kota bandar ini juga menyimpan episode penting lain yang berpengaruh pada kehidupan Indonesia hingga hari ini. Sebuah episode yang mencengangkan, walau bisa juga meragukan.
Maret 2017, Presiden Joko Widodo melawat Barus untuk meresmikan Tugu Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara. Pemerintah percaya, di sinilah ajaran Islam pertama kalinya memasuki gugusan pulau di ekuator yang kemudian dinamai Indonesia. Barus menyambut tugu itu dengan pergelaran. Musik-musik Islam ditabuh, tambur-tambur besar dipukul, warna-warna Islam menyala menyapu kota. Setelah itu, Barus giat menengok masa lalunya kembali. Masa lalu sebagai titik pijak Islam pertama di negeri ini. Tapi betulkah? Di mana lokasi kampung-kampung Arab pertama di Nusantara itu?
Dalam The Preaching of Islam, T.W. Arnold menyebut pada 674 M di pantai barat Sumatera pernah hidup seorang pembesar Arab yang menjabat kepala daerah pendudukan bangsa Arab. Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7, dan di Barus terdapat kompleks Mahligai yang menyimpan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada 672 M. Berdasarkan referensireferensi itukah Barus dinobatkan sebagai gerbang Islam Nusantara?
“Tidak ada bukti!” sanggah pakar sejarah Gusti Asnan. “Saya tidak pernah membaca catatan yang menunjukkan Islam di Indonesia disebarkan pertama kali lewat Barus.” Sejalan dengan Gusti Asnan, sejumlah pihak di Aceh juga menyanggah keras keputusan pemerintah dengan membeberkan kembali dokumen seputar jejak Islam yang lebih tua di Aceh. Di Indonesia, pelurusan sejarah memang proyek yang kelewat sensitif, apalagi pelurusan sejarah yang terpaut agama.
Tapi mungkin memang pernah ada kerajaan kuno Islam di Barus. Dalam The Suma Oriental, pengelana Portugis Tome Pires sempat menyinggung Kerajaan Panchur, walau dia tidak menjelaskan lebih jauh apakah rajanya berkiblat ke Kakbah. Dulu, tulis Pires lagi, Barus adalah kota persinggahan yang makmur, mengingat banyaknya benda berharga yang ditemukan di dalam tanah di ibu kota kunonya. Hasil-hasil penggalian para arkeolog di sini menemukan tembikar, piring, liontin cincin, prasasti Tamil, dan keramik.
Suatu malam, saya bertamu ke Istana Barus: sebuah rumah semi permanen yang terletak di pinggir jalan utama. Di sini, saya bertemu Maisura Pohan yang tengah duduk menemani anaknya yang terlelap. Di dekat keduanya, asap mengepul dari obat nyamuk bakar yang ditaruh di mulut botol.
Maisura, putri Raja Barus, hidup di rumah beratapkan seng dan berdinding kayu dan tripleks. Ayahnya, sang raja, berprofesi sebagai tukang urut. Saya hendak menemuinya, tapi dia tidak ada di rumah. “Tengah di Sibolga berobat diabetes,” kata Maisura. “Istana Raja di mana?” tanya saya lagi. “Istana sudah hanyut,” Maisura menyeringai.
“Dulu masih banyak barang-barang antik, sekarang entah ke mana, mungkin telah dijual ke pemburu barang antik,” jelas Maisura. “Hanya ada ini yang tersisa, tapi tidak boleh dibawa, ya.” Dia menyuguhi saya segepok kertas berisi ketikan, foto-foto, tahun-tahun dan silsilah-silsilah berangkai huruf Latin. Dia menunjukkan satu per satu moyangnya, opungnya, buyut segala buyut dalam kerajaan yang kini tersimpan dalam tumpukan kertas itu.
Maisura tak hidup layaknya anak raja. Kemiskinan telah merenggut kedigdayaan keluarganya. Barus telah jauh melewati masa keemasannya. Pamornya sebagai kota bandar sudah lenyap ditelan zaman. Akan tetapi, mulai tahun ini, kondisinya mungkin akan berbeda. Riwayat Barus kini ramai ditengok kembali. Tugu sejarah penyebaran Islam telah didirikan dan pemerintah setempat mungkin akan memakainya sebagai amunisi promosi pariwisata. “Selamat datang di Barus, Titik Nol Peradaban Islam Nusantara!” Wisata seperti apa yang akan ditawarkan?
“Ziarah!” R. Pasaribu menjawab tegas. Saya menemuinya di sebuah pelabuhan yang tidak lagi disinggahi kapal. Matahari memacak kekuningan di batas cakrawala. Tugu Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara menjulang di dekat pelabuhan, di tepi Kuala Barus yang di masa lalu menjadi tempat diangkutnya bahan pengawet dan parfum mumi melintasi benua.
“Pelabuhan ini bukan tempat masuknya Islam saja. Semua agama yang ada di Indonesia masuk lewat pelabuhan ini, termasuk Kong Hu Cu,” lanjut R. Pasaribu dengan nada bicara yang menolak perdebatan. Sesekali dia menarik tali pancing, mengumpulkan ikan seluas dua jari. R. Pasaribu, guru SD yang sebentar lagi pensiun, lalu menunjuk sebuah bukit dan berkata: “Di sana, di puncak bukit itu, semua misteri tentang Barus tersimpan. Di sana bersemayam seorang keramat!”
Tak jauh dari tempat R. Pasaribu memancing, bilah-bilah penjemuran ikan bertaburan di pantai dan ombak menampar-nampar tiang pelabuhan. Di warung-warung, laki-laki muda menyeduh kopi instan dan duduk bercerita. Di Barus, tuak memang tidak dijual telanjang, tidak seperti di kecamatan sekelilingnya yang dulu juga bernama Barus.
Azan zuhur berkumandang, tapi hempasan domino kian lantang dari tangan yang mempertaruhkan garis nasib dengan lembaran uang di warung reyot. Arus Kuala Barus makin kencang meluap ke warung, ke jalan-jalan, ke pesta perkawinan yang sedang berlangsung.
“Ini pintu gerbang Islam Nusantara, tempat pedagang Arab-Muslim melabuhkan kapal dan membangun perkampungan Islam, tapi sekarang tempat menambatkan perahu saja tidak ada,” kata Sahlan Simalulang, ketua pemuda kampung nelayan itu. “Kau tidak lihat itu, semua menganggurnya, tidak ada pekerjaan, melaut susah, banjir tiap sebentar.” Arus makin kencang, tamu di warung reyot bubar.
Di sebuah lapo, lelaki paruh baya Lasdel Simatupang sedang memasak anjing dengan campuran andaliman, bumbu warisan nenek moyang. Pagi baru saja dibuka, tapi lapo sudah ramai. Di dalamnya, segerombolan lelaki berbincang serius. Gitar, perkakas wajib di lapo, kini tergantung begitu saja pada paku, dan tak seorang pun berminat memetiknya.