by Fatris MF 31 January, 2017
Penjelajahan di Mamasa
Oleh Fatris MF
Foto oleh Yusuf Ahmad
Mobil uzur tanpa penyejuk udara melarikan saya ke dataran tinggi di Provinsi Sulawesi Barat. Dari Polewali di pesisir barat Sulawesi, mobil mengetes nyali di medan yang buas: meniti jalan di tepi jurang yang menganga bak mulut buaya. Lengah sedikit saja, saya dan 10 penumpang lainnya bakal ditelan. Usai lima jam berkendara, mobil saya mirip kerbau yang baru keluar dari kubangan lumpur. Gerbang kota telah tampak. Patung sepasang muda-mudi tengah tersenyum.
Di sekitar kota, sawah berjenjang di lembah-lembah curam dan perkampungan terserak di lereng yang berlapis. Inilah Mamasa, artinya “lembah kasih” dalam bahasa setempat. Lembah penuh kasih yang terkurung kabut inilah yang digadang-gadang sebagai destinasi andalan Sulawesi Barat sejak 2008.
“Benar sekali,” kata Arruan Pasau, Kepala Dinas Pariwisata Mamasa. Saya menemuinya di sebuah gedung dua lantai yang menampung hampir semua instansi pemerintah kabupaten. Menurut Arruan, Mamasa punya banyak amunisi untuk menjala turis. “Bila Toraja memiliki patung Yesus tertinggi, kami memiliki patung Bunda Maria. Tertinggi di Asia Tenggara!” ujarnya. “Dan kami telah menghubungi Jaya Suprana, kami akan memecahkan rekor peniup seruling bambu terbanyak.”
Arruan terus bertutur seperti brosur. Katanya, Mamasa siap menggelar festival panjat gunung dan lomba merancang busana. “Target kami adalah kunjungan wisatawan dari seluruh dunia,” jelasnya. Dunia yang mana?
Arruan tidak menjawab, melainkan menerangkan hal lain kepada saya, seorang pelancong yang baru saja datang. “Lihat, apa saja ada di Mamasa. Air terjun banyak, air panas lebih dari sepuluh titik. Mangngaro, ritual mengeluarkan mayat dari liang itu kami gelar setiap tahun di Nosu. Acara tari-tarian, budaya, religi, Alu’ Mappurondo…..”
Mappurondo? Ajaran tua yang telah pudar itukah yang dijadikan magnet wisata? Bukankah ajaran itu sudah lenyap, setidaknya sejak kedatangan agama langit ke dataran tinggi ini? Di tepi jalan masih terpampang spanduk peringatan satu abad kedatangan penginjil. Masihkah Mappurondo bertahan di tengah gempuran agama impor? Di desa mana?
Pegawai kantor yang semula duduk-duduk makan gorengan, kini sibuk mencari peta. Hasilnya nihil. Di kantor Dinas Pariwisata Mamasa tak satu pun peta Mamasa tersimpan. Saya berencana ke Rambusaratu, Mambi, dan Nosu—kampung-kampung yang menurut Arruan masih memelihara adat. Tapi, kata seorang pengojek, jalan ke sana rusak parah.
Ojek adalah moda transportasi utama di sini.Mamasa tidak memiliki angkutan umum,tidak pula menawarkan mobil sewaan. Lagipula hendak ke mana dengan mobil sewaan? Berjalan kaki di tengah kota saja kita harus rela mengarungi lumpur yang meluap.
Ojek di sini mematok tarif kelewat mahal: jarak 20 kilometer setara harga segram emas. Ojek akan meluncur di tubir jurang, juga menembus rimba yang belum memiliki jalan layak. Tapi jangan salah, di destinasi andalan Sulawesi Barat ini, jaringan 3G telah memenuhi sudut-sudut ibu kota kabupaten hingga ke desa-desa terpencil. Di Mamasa, manusia lebih mudah bersua melalui gawai.
Saya menginap di kamar hotel yang pengap di tengah kota. Di ibu kota kabupaten yang tidak memiliki lampu merah ini, polisi menggelar razia saban hari. Baliho perburuan sindikat teroris Santoso terpampang di tengah kota. Spanduk festival mendaki Gunung Mambulillin membentang tak kalah besar, begitu pula spanduk-spanduk kepala daerah yang mengimbau ini dan itu agar masyarakat bisa ini dan bisa itu.
Di tengah kebingungan, saya bertemu Royzzel, pria yang baru dua tahun lalu menyabet gelar sarjana di Makassar. “Mau cari apa ki di Mamasa?” dia membuka obrolan denga nsebuah pertanyaan yang kemudian dijawabnya sendiri, “Apa saja ada di sini, kecuali jalan dan harapan.” Kemudian ia tertawa,entah menertawakan apa.
Royzzel membawa saya ke rumahnya di Desa Rambusaratu. Kami berkendara melalui jalan yang brutal: lubang seluas rumah dan sedalam lutut; luapan lumpur dan longsoran tebing di mana-mana. Sepeda motor kerap terpaksa didorong demi melalui jalan rusak yang melintang berkilo-kilometer. “Jangankan pekerjaan, jalan saja susah. Wisata?” Royzzel kembali bertanya satir. Berjuang di jalan yang memicu frustrasi, teman baru saya mulai mengeluarkan guyonan janggal. “Ini bukan lubang. Ini tempat wisata memancing.”
Saya tiba di Rambusaratu, desa adat yang teduh. Kala malam, apalagi bila listrik padam, lembah kasih yang menurut Royzzel tak menjanjikan harapan ini dipagut kabut. Saban pagi, di depan kamar saya, anak-anak sekolah melenggang seraya menjinjing sepatu.
Siang hari, mereka pulang dengan menjinjing sepatu. Sepatu hanya dikenakan di sekolah. “Di sini masih ada harapan, hanya saja semua mulai berubah,” Emiaty Limbonglola’, ibu Royzzel, bergabung dalam perbincangan. Di rumahnya yang hangat dan lapang, saya disuguhi beragam makanan dan ceramah.
Apa yang berubah? Bukankah zaman selalu membawa sesuatu yang tidak bisa ditolak siapa pun—perubahan? “Ajaran adat kian pudar, kebijakan lama banyak yang hilang,” jawab Emi sembari menerangkan aturan-aturan lama yang dianut moyangnya. “Mamasa sekarang hanya dikenal lewat ritual mayat berjalan, yang bagi sebagian orang yang tidak tahu budaya, dianggap ritual hitam. Selebihnya apa?”
Kabut menggerayangi lembah dan pepohonan, menembus kisi-kisi jendela. Rambusaratu dikepung gelap dan dingin. Hening. Hanya suara riak Sungai Mamasa yang keruh bergemuruh di belakang rumah Emi. Beberapa bulan lalu, sungai suci penuh mitos ini mengamuk dan mengirimkan banjir. “Berarti sudah banyak yang berbuat salah,” jelas Emi.
Di seberang sungai, rumah-rumah dengan atap menjulang berjejer. Mamasa Cottages namanya. Selusin bungalonya tak berpenghuni dan lapuk. Restorannya yang besar, kosong pengunjung, begitu pula kolam renangnya yang menebarkan bau belerang. “Dulu sering orang Barat ke sini; sekarang tidak lagi,” kata Emi menutup perbincangan malam. Saya menginap di anjungan rumahnya yang berlantai papan. Di ketinggian 1.200 meter, papan menyimpan hangat.
Di belakang Mamasa Cottages, sawah berjenjang hijau dan Gunung Mambulillin merentangkan bahu bagi para pendaki. Tiap sore, saya mampir ke pemandian air panas. Orang-orang di Rambusaratu begitu dimanjakan oleh air panas dari perut bumi. Seperti kata Arruan di awal trip, Mamasa memang punya banyak kolam pemandian air panas.
Pagi-pagi sekali, kabar duka tersebar. Seorang pria di kampung tetangga meninggal di usia muda. “Pergilah ke sana,” Emi menitipkan bungkusan dan meminta saya melayat almarhum yang tak saya kenal. Dia sudah tak sanggup berjalan jauh. Kesehatannya telah menurun dan jalan di sini penuh lumpur. Sepanjang Mei, curah hujan tinggi, membuat semua yang diinjak terasa licin.
Perempuan dan lelaki dengan pakaian serba-hitam datang dan pergi silih berganti, menggotong babi, membawa buntalan-buntalan berisi gula, kopi, beras, serta penganan. Di sebuah rumah panggung, Minah tersedu-sedu dengan mata lebam. Tangannya yang keriput tak henti-henti mengusap kepala Simon, anaknya yang terbujur kaku. Keluarga ini menempati kasta terbawah, karena itulah mayat Simon ditelentangkan di tengah rumah dan bukan didudukkan.
“Kau masih sangat muda, anakmu masih terlalu kecil untuk ditinggal,” suara perempuan lain merintih saling berimpitan. Di luar rumah, laki-laki berbalut tenun bermain kartu di kolong tongkonan, sementara kaum perempuan menghidangkan penganan dan kopi panas kepada para tamu. Orang-orang terus berdatangan dengan memikul babi, ubi, dan beras. Tawa pemain kartu, tangisan perempuan, dan pekik babi—semuanya bercampur aduk di tengah suasana berkabung.
Selama tiga hari jenazah Simon dibaringkan dan diberi makan layaknya orang sakit. Setelah itu, keluarganya menggelar upacara Rambu Solo. Seekor kerbau bertanduk muda akan disembelih. Tumbal inilah yang akan mengantarkan roh Simon ke pallondong, alam astral dalam ajaran Mappurondo.
Orang-orang berpakaian hitam melapah daging, menyanyi, berdendang dalam bahasa yang tidak saya pahami. Di Mamasa, Rambu Solo digelar sederhana, tidak kolosal seperti di Toraja di mana belasan hingga puluhan ekor kerbau dikorbankan. Seusai Rambu Solo, jasad Simon direlokasi ke tempat pembaringan terakhir: pondok kecil dengan atap melengkung seperti tanduk kerbau.
Terpisah satu lembah dari tempat Simon berbaring, Yusuf Arruannbonga tengah bersukacita. Anaknya, Arjein, lulus SMA dengan predikat siswa terbaik, dan saya diundang untuk merayakannya. Di malam dingin yang menyengat, saya menuruni dua lembah untuk menjangkau rumah Yusuf. Makanan yang disuguhkan oleh istrinya masih mengepulkan asap: ayam, ikan, sayur-mayur, mi instan.
Rumahnya dipenuhi belasan orang, termasuk saya dan seorang pendeta. Usai perapalan doa oleh pendeta, sesi santap dimulai. Pencuci mulutnya bernama ballok, sari nira yang berkhasiat menghangatkan tubuh, walau dengan efek samping khas minuman keras: mata merah, enteng bicara, mudah tertawa, gampang marah. Anehnya, ballok tak mengenal batasan usia. Semua menenggaknya, termasuk bocah tiga tahun. Bila seorang penggemar ballok mangkat, maka minuman itu akan terus disuguhkan ketika jasadnya tengah dibaringkan di rumah duka.
Lebih dari seabad sejak kedatangan misionaris ke Mamasa, tradisi perburuan kepala Bulu Londong memang telah dihapus, tapi tidak serta-merta semua kaidah ajaran lama lenyap. Warga Mamasa kini seakan hidup di antara dua peradaban dari kutub yang berseberangan. >>