by Yoppy Pieter 05 September, 2019
Patuh di Rumah, Jantan di Hutan
Awalnya ditujukan untuk melindungi lahan pertanian dari serangan hama, buru babi bergeser jadi hobi massal yang melebur sekat sosial. Setidaknya dua kali per pekan, kaum pria dari beragam nagari di Sumatera Barat merangsek hutan dengan membawa anjing-anjing pelacak untuk berburu babi liar.
Tradisi buru babi menyebar di banyak tempat di Ranah Minang. Untuk proyek fotonya, Yoppy Pieter memotret di Bukittinggi, Dharmasraya, dan Sawahlunto. Bersama para pemburu, dia mengarungi rawa berlumpur dan menembus hutan—sebuah dokumentasi yang sarat bahaya. Selain harimau, ancaman dihadirkan oleh target buruan. Babi yang terluka lazimnya menyerang serampangan—amuk brutal yang dikenal dengan istilah “membabi buta” di kalangan pemburu.
Buru babi tidaklah bermotif ekonomi. Buruan yang tewas atau sekarat tidak dijual, melainkan ditelantarkan, kadang diangkut oleh warga Suku Anak Dalam. Tapi kegiatan ini melibatkan uang besar. Di baliknya bergerak bisnis pelatihan dan jual-beli anjing. “Satu ekor anjing terlatih bisa dihargai satu mobil SUV lewat transaksi di hutan atau tepi sawah,” jelas Yoppy.
Buru babi kadang juga menjelma jadi kegiatan akbar yang terorganisasi. Dalam ajang perburuan besar Baburu Baralek misalnya, pesertanya bisa menembus 3.000 orang. Bahkan telah ada organisasi Persatuan Olahraga Buru Babi yang menaungi ratusan orang. Mereka memiliki jadwal berburu yang rapi. Di grup Facebook, para anggotanya giat berdagang anjing dan parang.
Sebagian orang percaya buru babi berakar dari adat yang eksis sebelum masuknya Islam ke Sumbar. Tapi klaim ini runtuh lantaran perburuan terbukti tidak melibatkan perempuan sebagai aktor utama adat. Di sisi lain, gerakan pemurnian Islam oleh kaum Padri juga tidak melarangnya. Satu tesis yang paling meyakinkan ialah buru babi merupakan bagian dari negosiasi kaum pria di tengah dominasi adat matrilineal—dan inilah yang menjadi narasi proyek foto Yoppy. “Buru babi,” jelasnya, “telah bertransformasi jadi medium politik identitas bagi pria untuk menegaskan maskulinitas mereka.”—CR
Proyek foto ini dipilih lewat proses seleksi oleh editor tamu Beawiharta dan telah diterbitkan dalam DestinAsian Indonesia edisi Juli-September 2019.
Yoppy Pieter
Buku foto pertamanya, Saujana Sumpu, memperlihatkan dampak urbanisasi di Sumatera Barat. Pada 2017, Yoppy, salah seorang pendiri Arka Project, terpilih untuk mengikuti 6×6 Global Talent Program garapan World Press Photo. Tahun ini, atas pilihan lembaga yang sama, dia menjadi orang Indonesia pertama yang berpartisipasi dalam Joop Swart Masterclass. yoppycture.com.