by Yohanes Sandy 12 February, 2014
Panorama Alam Surgawi Patagonia
Oleh Joe Yogerst
Foto oleh Macduff Everton
Puluhan tahun silam, dari sebuah majalah yang tak bisa saya ingat namanya, saya mengenal Taman Nasional Torres del Paine, kawasan berisi pegunungan yang menjulang dramatis di tengah padang rumput. Melihat puncak-puncaknya yang runcing, saya kira Torres del Paine berarti “Towers of Pain.”
Tiga puluhan tahun kemudian, hari ini, saya mendarat di Santiago. Kota ini saya kunjungi terakhir kali pada 1999, saat melakukan riset untuk buku bertema Pan-American Highway. Di jeda antara kedua kunjungan itu, wajah Ibu Kota Chile ini telah berubah total hingga nyaris sulit dikenali. Dulu, Santiago tak sanggup menyaingi pamor Rio atau Buenos Aires. Kota ini sekadar titik transit dalam perjalanan ke lokasi-lokasi menarik lain di Chile, seperti Gurun Atacama atau belantara Patagonia. “Di ujung dunia,” begitu penulis Isabel Allende menggambarkan kota masa mudanya itu.
Tapi masa itu telah lewat. Santiago kini tampil pongah dan canggih. Metropolis berpopulasi enam juta jiwa ini berlagak bak pusat semesta. Operasi permak wajahnya dimulai pada 1990, tepatnya di akhir masa kekuasaan rezim Pinochet. Setelah itu, usai satu dekade berjuang keluar dari zaman kegelapan, kota ini tak mau lagi menengok masa lalunya yang kelam.
Dengan 48 jam tersisa sebelum bertolak ke selatan Chile, saya menjelajahi Santiago dengan kaki dan sepeda. Hampir di setiap sudut terpampang sesuatu yang baru, sebut saja Gran Torre Santiago, gedung terjangkung di Amerika Latin, yang berlokasi di kompleks pencakar langit yang dijuluki “Sanhattan” oleh warga setempat. Bagian-bagian kota lainnya juga telah berubah. Struktur raksasa milik junta militer Pinochet telah disulap menjadi Centro Cultural Gabriela Mistral. Namanya diambil dari nama orang Chile pertama yang menyabet Nobel. Rumah-rumah Art Nouveau di distrik kota tua yang selama ini diabaikan, sedang dirombak untuk menampung restoran trendi, bar jazz, klub salsa, dan galeri seni. Bahkan bangunan bobrok Mercado Central sudah diubah menjadi oasis bagi pemburu kuliner favorit warga—seafood.
Dari Santiago, saya mengambil penerbangan pagi menuju Puerto Montt di Lake District, wilayah berisi puncak-puncak salju Andes dan danau-danau biru yang memagari tepian utara Patagonia. Didirikan di abad ke-19 oleh pemukim asal Jerman, kantong-kantong uzur di kota pesisir ini masih memancarkan atmosfer Eropa masa lampau. Rumah-rumah bergaya gingerbread bertengger di atas pelabuhan yang dijejali kapal nelayan. Saya menyewa mobil pikap kecil, lalu membawanya ke perut kapal feri yang melayani jurusan Chiloé, pulau terbesar di gugusan selatan Chile.
Etape singkat di Selat Chacao menawarkan pelajaran tentang dinamika fluvial. Air yang mengalir antara Teluk Ancud dan Samudra Pasifik menaikkan permukaan air secara signifikan, lalu memproduksi arus kencang dan gelombang setinggi dua meter. Beberapa singa laut menikmatinya dengan berselancar.
Usai feri berlabuh di desa nelayan Achao, saya mengunjungi pasar jalanan yang semarak di Jumat sore. Petani menjajakan apel dan kentang. Nelayan menawarkan salmon, kepiting, dan kerang. Nada-nada pan flute mengalir dari jendela di lantai dua. Obrolan dalam dialek Chilote lamat-lamat mengalir dan bercampur dengan bahasa Mapuche.
Sebuah menara megah terlihat dari pantai. Disusun oleh balok-balok besar dan sirap, gereja-gereja di Chiloé tampil mencolok. Tapi yang paling tersohor adalah Santa María de Loreto, gereja kayu tertua di Chile, yang disucikan oleh kaum Yesuit pada 1730. Altarnya memperlihatkan desain funky bercorak biru-putih.
Santa María adalah contoh sempurna dari cultura de madera (tradisi kerajinan kayu), sebuah industri yang ditunjang oleh melimpahnya pasokan kayu, contohnya alerce, coigue, dan cypress. Sayangnya, aset berharga ini sekarang kian langka.
Saya menemui Ramón Yáñez, kepala atase budaya daerah, di seberang plaza balai kota. Dia sangat menggemari cerita-cerita rakyat. Tak butuh waktu lama hingga diskusi kami berpaling ke tema-tema supranatural. >>