by Cristian Rahadiansyah 30 March, 2020
Negara Paling Misterius di Eropa
Empat hari di Vaduz, saya menghabiskan banyak waktu menyelami denyut pelan kehidupan kota. Di luar lonceng katedral yang berdentang tiap 15 menit, kota ini sangat kalem. Orang-orang berbicara santun. Tombol klakson kendaraan terasa mubazir. Kehidupan selepas pukul 10 malam jauh kalah meriah dibandingkan Jakarta atau Bali. Di sejumlah bar, saya menemukan hanya beberapa orang berbincang. Tak ada musik yang berdentum. Tak ada orang di lantai dansa.
Vaduz juga tidak memiliki pencakar langit. Bangunan rata-rata menampung empat hingga lima lantai. Jalan-jalannya didominasi mobil BMW, VW, dan Audi, preferensi yang sejalan dengan bahasa nasional negara ini—Jerman.
Selama di sini, saya menyaksikan pula puluhan turis Tiongkok lalu lalang. Hanya lalu lalang. Tidak menginap. Kota guyub ini rutin tercantum dalam sirkuit wisata Eropa, bersama Vienna dan Zurich. Tapi mungkin karena objek wisatanya relatif minim, banyak turis hanya sudi singgah sebentar.
Mengingat populasi negara sangat kecil dan sepertinya banyak orang sudah saling mengenal (atau bahkan bersaudara), saya sempat bertanya tentang kiat mencari pacar. Kata seorang ibu, anak muda biasanya menemukan pasangan saat berkuliah. Seorang pramusaji mengaku dating app sangat populer. Suatu malam, saya iseng membuat akun Tinder dan menemukan belasan orang dalam radius dua kilometer, salah satunya karyawan LGT. Saya bingung harus menggeser ke kanan atau kiri. Siapa tahu dia anggota keluarga kerajaan.
Akibat kendala bahasa, berbicara dengan orang lokal yang asli lokal kerap tidak mudah. Kendati begitu, ekspatriat yang berbahasa Inggris cukup berlimpah. Dari 38.000 populasi negeri, lebih dari 30 persennya berstatus pendatang—profil demografis yang disebabkan oleh tingkat kebutuhan karyawan yang sangat tinggi. “Rasio antara jumlah perusahaan dan penduduk di Liechtenstein ialah satu banding delapan, artinya ada satu perusahaan untuk delapan orang. Di Swiss, rasionya satu banding 14,” jelas Simon Tribelhorn, Direktur Liechtenstein Banking Association.
Kendati belum menjadi destinasi wisata yang populer, Liechtenstein rupanya tersohor “destinasi pencari kerja.” Di sini ada lebih banyak lapangan kerja ketimbang manusia, begitu banyak sampai-sampai kehadiran ekspatriat pun belum memadai. Tahun lalu, Liechtenstein didatangi sekitar 21.000 karyawan komuter lintas negara saban harinya. Selain godaan gaji besar, mereka memilih tempat ini berkat jatah liburnya yang royal: empat minggu dari perusahaan, plus dua minggu dari negara.
“Pekerja asing memang sangat banyak, tak cuma di sektor bisnis, tapi juga di kampus,” ujar Dr. Leona Chandra Kruse, wanita asal Padang yang menetap di Zurich dan bekerja di University of Liechtenstein. Kata Leona, hampir semua profesor di kampusnya berasal dari luar negeri. Kendati begitu, dia juga menambahkan bahwa Liechtenstein menerapkan semacam kebijakan “proteksionis” untuk melindungi warganya dari arus pendatang. Izin tinggal sulit didapatkan. Rumah atau apartemen, jika pun masih ada yang tersisa, hampir mustahil bisa dibeli oleh orang asing.
“Warga hidup dengan ikatan sosial yang kuat,” tambah Leona. “Jika kita datang baik-baik, mereka sangat menerima pendatang. Tapi untuk menetap permanen di sini, prosesnya rumit, kecuali jika kita menikah dengan orang lokal.”
Sektor finansial merupakan salah satu motor ekonomi Liechtenstein. Banyak jutawan menabung asetnya di sini. Dulu, negeri ini sempat tersohor sebagai tempat pelarian uang panas, walau sektor perbankannya kemudian berhasil keluar dari daftar hitam pada 2009. Sektor utama lainnya ialah industri. Hilti, pembuat alat konstruksi, berasal dari sini, begitu pula produsen alat dental Ivoclar Vivadent. Prince Philipp sempat berkelakar dengan mengatakan, “Presiden Rusia dan Sri Paus dihangatkan oleh pemanas buatan Hoval, perusahaan asal Liechtenstein, walau mungkin mereka tidak menyadarinya.”
Liechtenstein adalah contoh lain negara kecil yang cerdik menemukan tempatnya di dunia, seperti juga Singapura atau Qatar. Kendati tak punya laut, ia mengidap ambisi yang melintasi samudra. Bank-banknya giat menjala nasabah dari penjuru bumi. Perusahaan-perusahaannya agresif merambah pasar. Tanpa visi global ini, Liechtenstein sulit bertahan dalam percaturan dunia. Kekuatan militernya nihil. Pasar domestiknya kecil. “For God, Prince, and Fatherland” adalah semboyan nasional Liechtenstein. Dalam praktiknya, negara Katolik ini berkomitmen pada tritunggal yang lain: modernisme, liberalisme, dan kapitalisme.
“Ini monarki konstitusional di mana swasta berperan besar di banyak sendi kehidupan. Orang tidak bersandar pada negara untuk menyelesaikan sesuatu,” jelas Profesor Martin Wenz, ekonom dari University of Liechtenstein. “Pemerintahan berisi hanya lima menteri. Public spending cuma 24 persen dari GDP, lebih rendah dari Swiss yang mencapai 30 persen.”
Andai datang untuk mencari kerja (atau jodoh), Liechtenstein memang destinasi yang ideal. Tapi berhubung datang sebagai wartawan majalah wisata, saya mesti mencerna negeri ini dari kacamata turis. Dari Vaduz, saya meluncur ke Malbun. Princess Marie sempat menyebut ski resort ini sebagai tempat liburan favoritnya.
Pagi-pagi sekali, saya menaiki bus menuju perbukitan di sisi timur. Jalur ini penuh liku, sementara bus kelewat tambun. Kadang, mobil dari arah berlawanan terpaksa mundur saat berpapasan di tikungan. Di balik jendela tersaji vista yang menyerupai foto desktop. Rumah-rumah petani bertaburan di lereng hijau. Di antara mereka, ada sapi-sapi berkalung lonceng dan kuda-kuda yang merumput di lereng.
Di suatu titik, bus berhenti dan penumpang turun untuk memotret. Dari ketinggian, saya bisa menangkap betapa kecilnya Liechtenstein. Jaraknya dari utara ke selatan hanya 25 kilometer, artinya Anda tidak bisa berkilah dengan alasan “jauh” saat menerima undangan pernikahan.
Dua per tiga kawasan Liechtenstein ditumbuhi bukit, sementara kota-kota utama bersemayam di tepi Sungai Rhine yang memisahkan negeri ini dari Swiss. Di atas sungai ini jugalah terbentang seutas jembatan kayu dengan marka demarkasi persis di tengahnya. Anda bisa berdiri mengangkang dengan satu kaki di Swiss dan satu lagi di Liechtenstein. Kecuali untuk truk barang, tidak ada pemeriksaan di check-point perbatasan.
Menurut pemandu di bus, Elizabeth, kemudahan melintasi perbatasan itu dimaknai ambivalen oleh warga. Contohnya dalam kasus cross-border shopping. Banyak Liechtensteiners berbelanja bulanan di Swiss atau Austria, lantaran harga barang di sana jauh lebih murah. “Harga daging di Austria bahkan bisa sampai separuh lebih murah,” tambah Elizabeth. Kendati begitu, kebiasaan ini telah memukul para pengusaha di dalam negeri. Sejumlah toko kelontong gulung tikar.
Beberapa tahun terakhir, terbukanya perbatasan itu kian mencemaskan akibat aksi kejahatan yang diduga dilakukan oleh orang asing. Persis tadi malam, butik arloji di samping hotel saya dirampok. Media lokal memberitakan pelakunya kabur mengendarai SUV. Polisi sempat mengetuk beberapa pintu kamar di Hotel Residence untuk mencari saksi kejadian itu. Dikawal hanya oleh 120 polisi, negara penyerap karyawan migran ini rupanya dilirik pula oleh buruh dari dunia gelap—maling.
“Liechtenstein sebenarnya aman. Kita bisa berjalan sendirian di tengah malam,” jelas fotografer lokal Eddy Risch yang ikut serta dalam trip ke Malbun. “Problem terbesar kini ialah pencurian barang. Dulu warga biasa tidak mengunci pintu rumah. Sekarang, sepeda pun harus dikunci.”
Bus akhirnya mendarat di Malbun. Eddy langsung berburu foto, sementara saya menyerap lanskap yang mengagumkan. Malbun seperti mangkuk yang dilingkari bukit-bukit tampan dan gunung-gunung rupawan. Di dasar lembah bertaburan pondok liburan dan restoran. Kata Elizabeth, puncak keramaian berlangsung di musim dingin. Di sinilah para atlet ski, juga penerus mereka, berlatih. “Keluarga-keluarga juga gemar datang lantaran Malbun relatif kecil, berbeda dari ski resort lain di mana kita butuh GPS agar tidak tersesat,” tambahnya.
Menaiki chairlift, saya menuju atap salah satu bukit, lalu memasuki restoran Sareis yang terpisah satu menit jalan kaki dari perbatasan Austria. Sebelum masakan terhidang, Renate Bachmann, Head of Tourism Liechtenstein Marketing, menerangkan daya tarik wisata negaranya. Saya tidak ingat sebagian besar presentasinya, tapi satu bagian yang paling menarik ialah ketika dia menjelaskan daftar orang terkenal asal Liechtenstein.
Renate memulainya dengan Simone Bargetze, seorang stuntwoman Hollywood. Saya tidak kenal, tapi ini awalan yang lumayan. Setelah itu muncul foto Norman, seorang pawang elang yang terkenal setia dengan elangnya. Di sini, saya mulai mengernyitkan dahi, tapi Renate masih punya kejutan lain: Jules Hoch, polisi yang gemar naik sepeda.
Liechtenstein memang berpengaruh di jagat bisnis, tapi tidak di dunia pop. Di akhir presentasi, saya mulai berpikir kenapa Eddy, sahabat baru saya, tidak masuk daftar selebriti nasional. Dalam 40 tahun kariernya sebagai fotografer, dia sudah meliput empat Olimpiade Musim Dingin dan menggelar lima pameran. Eddy begitu terkenal sampai-sampai saya sempat melihat Perdana Menteri Lichtenstein menyalaminya. Sebelum pulang, saya menghampiri Eddy dan bertanya apakah dia satu-satunya fotografer di Liechtenstein. “Tentu saja tidak,” jawabnya. “Di sini ada 30 fotografer, salah satunya istri saya.”
PANDUAN
Rute
Liechtenstein, negara kecil di antara Swiss dan Austria, bisa dijangkau lewat Zurich dengan menaiki antara lain Swiss Air (swiss.com) dan Turkish Airlines (turkishairlines.com). Dari sini, Anda bisa menaiki kereta jurusan Sargans, disambung bus menuju Vaduz.
Wisata
Dua restoran bergengsi yang menawarkan wine pairing ialah Maree (sonnenhof.li) dan Torkel (torkel.li). Sejarah negeri dirangkum di National Museum (landesmuseum.li), sedangkan karya seni kontemporer tersaji di Kunstmuseum (kunstmuseum.li). Vaduz Castle bisa dimasuki dengan izin khusus, sementara Gedung Parlemen (landtag.li) bisa dijelajahi bersama pemandu. Di musim dingin, banyak orang melawat Malbun untuk bermain ski. Di musim lainnya, dataran tinggi ini melayani pencinta trekking. Dari sini pula Anda bisa mengarungi Liechtenstein Trail (tourismus.li) yang diluncurkan untuk merayakan tiga abad Liechtenstein.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2020 (“Liktenstyne”)