by Cristian Rahadiansyah 30 March, 2020
Negara Paling Misterius di Eropa
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Gaia Squarci
Di sebuah ruang rapat, seorang kakek berbalut jas abu-abu menerangkan tentang LGT, perusahaan yang dipimpinnya. Dia membeberkan banyak angka dan nama, lalu menyampaikan LGT adalah grup manajemen aset dan bank partikelir terbesar yang dikelola oleh sebuah keluarga. Ini presentasi bisnis yang biasa saja sebenarnya, kecuali untuk satu hal: orang di hadapan saya bukanlah semata bankir, tapi juga pangeran.
Prince Philipp, Chairman LGT, adalah anggota keluarga penguasa Liechtenstein, salah satu negara monarki di Eropa. Saya menemuinya akhir September silam. Negaranya, yang sangat kecil dan sangat sugih ini, terselip di antara Swiss dan Austria. Kecuali sering membaca statistik ekonomi, Anda mungkin belum pernah mendengar tentang Liechtenstein—dan mereka yang pernah mendengarnya mungkin tak tahu cara melafalkannya, seperti juga saya setidaknya hingga dua minggu sebelum mendarat di sini. Dengan ukuran setara Kupang dan populasi hanya 38.000 jiwa, Liechtenstein memang nama yang mudah luput dari buku sejarah ataupun peta dunia.
Prince Philipp melanjutkan presentasinya. Dia bicara santai, kadang tersenyum kecil, dengan tubuh yang masih luwes di usia 73 tahun. Sosoknya tidak berjarak, tidak terasa ningrat. Kecuali di acara resmi, katanya, bangsawan Liechtenstein memang berperilaku layaknya warga biasa. Mereka menempuh pendidikan di sekolah umum, terbang dengan pesawat komersial, dan berkeliaran tanpa pengawal. Menemuinya, saya tidak perlu memberi salut membungkuk, tapi cukup berjabat tangan.
“Keluarga kerajaan tidak mendapatkan sepeser pun uang pajak warga. Mereka hidup dari bisnis,” Prince Philipp kini menerangkan kenapa dia mesti bekerja walau sudah kaya raya. Berbeda dari banyak monarki lain, klan aristokrat Liechtenstein tidak hidup bersandar pada upeti, melainkan keringat sendiri. Para pangeran dan putri memegang jabatan di beragam sayap bisnis, termasuk agrikultur, wine, serta properti. Inilah negeri di mana pangeran merangkap pengusaha, barangkali juga atasan Anda. Perusahaan mereka punya jaringan di banyak belahan dunia.
Melalui bank yang dipimpinnya, Prince Philipp jugalah yang mengundang saya ke sini. Tujuannya untuk merayakan ulang tahun Liechtenstein ke-300. Anda tidak salah baca; negeri ini memang lebih tua dari Indonesia. Jika diringkas, riwayatnya bermula pada 1699 saat Johann Adam Andreas von Liechtenstein menebus kawasan Schellenberg yang terlilit utang, lalu membeli Vaduz. Klan Liechtenstein saat itu sangat sugih, punya banyak tanah, tapi mereka bukan “lord,” karena itu tak punya kursi dalam lingkaran satu Holy Roman Empire. Hingga akhirnya pada 1719 mereka diizinkan melebur Schellenberg dan Vaduz di bawah payung Principality, setingkat di bawah Kingdom.
Bagi penggemar Game of Thrones, babad Liechtenstein itu mungkin mudah dicerna. Walau begitu, Liechtenstein saat ini adalah sebuah anomali yang membingungkan dari kaca mata umum. Terlepas dari usianya yang tua, negara ini tak punya atribut-atribut lumrah sebuah negara modern. Ia tidak punya bandara, tidak punya maskapai nasional, tidak punya tentara, tidak punya mata uang (memakai Swiss franc) dan karena itu pula tidak butuh bank sentral. Selain sepur mainan yang difungsikan sebagai moda hop-on hop-off, di sini juga tidak ada kereta, trem, maupun subway.
Tapi setidaknya Liechtenstein memiliki ibu kota—Vaduz, sebuah permukiman elok yang dikepung gunung. Beberapa hari pertama, saya menginap di kota ini. Hotel saya, Residence, beralamat di bulevar yang sepertinya merangkum seluruh isi kota. Di sisi selatannya ada katedral, gedung parlemen, serta rumah sakit satu-satunya di Liechtenstein. Di sisi tengah ada butik arloji, toko cokelat, serta museum. Sementara di ujung utara ada terminal bus. Tak jauh selepas terminal, saya sudah berada di luar kota. Vaduz begitu kecil sampai-sampai warga kerap menyebutnya “town” ketimbang “city.”
Bangunan paling ikonis di Liechtenstein juga berada di Vaduz. Tidak satu jalur dengan hotel saya, melainkan persis di atasnya. Vaduz Castle, kompleks berusia 900 tahun, bertengger anggun di tebing tinggi, menatap lanskap kota hingga perbukitan di tepi Swiss. Mendarat di muka kastel, saya kembali berpapasan dengan Prince Philipp, kali sedang mengendarai Audi. Walau bank miliknya membukukan profit hampir Rp4,5 triliun pada 2018, sang pangeran lebih memilih menyetir tanpa sopir.
Vaduz Castle masih dihuni oleh keluarga kerajaan, karena itu tertutup untuk umum. Tapi berhubung datang atas restu pangeran, saya pun diizinkan masuk. Diiringi tatapan sebal para turis yang cuma bisa memotret dari luar pagar, saya menyusuri rute berbatu menuju teras bangunan. Tiba di dalam, Dr. Johann Kraftner, pengurus koleksi seni kerajaan, memandu saya menjelajahi interior kastel. Saya dibawa memasuki paseban, gudang alutsista, ruang keluarga, serta instalasi konservasi lukisan. Sepanjang tur, saya kerap menginjak-injak karpet antik yang sepertinya cocok menghiasi meja lelang Sotheby’s.
Kata Dr. Johann, dalam rangka 300 tahun Liechtenstein, sebagian harta dan pusaka kerajaan dipinjamkan ke National Museum. Sebenarnya hari ini museum sedang tutup. Tapi lagi-lagi berkat koneksi ningrat, saya punya “kartu terusan” ke semua wahana, walau tidak berarti kedatangan saya disambut gembira. Di lobi museum, pemandu menyambut dengan mengatakan dia terpaksa kerja di hari liburnya.
National Museum memajang memorabilia yang merangkum masa lalu Liechtenstein, termasuk mahkota dan akta pembelian lahan. Di sini saya mendapati sejarah Liechtenstein sebenarnya tak melulu ditaburi kisah manis. Sebelum menjadi negara makmur dengan pendapatan per orang menembus Rp2 miliar per tahun, Liechtenstein sempat merana. Selepas Perang Dunia II, dinasti penguasanya terpaksa melego lukisan Ginevra de’ Benci karya Da Vinci demi menambal kas istana. Orang-orang tua di Swiss menjelaskan kemiskinan itu lewat sebuah anekdot satir: “Tak sulit mengenali warga Liechtenstein. Mereka biasanya berjalan tanpa sepatu.” (Menurut legenda lokal, penguasa Liechtenstein Prince Hans-Adam II hingga kini masih hobi nyeker saat joging.)
Pemandu museum kemudian menuntun saya ke ruang peta Liechtenstein. “Jika kita membandingkan peta Holy Roman Empire dengan peta sekarang,” katanya, “maka teritori politik lama yang masih utuh hanyalah Liechtenstein.” Fakta yang patut dirayakan memang. Ketika banyak imperium terbelah dan keluarga istana tercerai, Liechtenstein mampu bertahan dengan perbatasan yang sama di bawah titah klan yang sama selama tiga abad.
Di luar National Museum, syukuran tricentennial hadir dalam beragam bentuk. Di banyak tempat terpajang surat kabar edisi khusus perayaan 300 tahun. Kunstmuseum (semacam Museum Macan versi Vaduz) menggelar pameran retrospektif akbar, sementara dinas pariwisata meluncurkan rute trekking baru yang menghubungkan seluruh kabupaten. Negara ini sepertinya memanfaatkan maksimal momentum tiga abad untuk berkata kepada dunia: kami ada, sudah lama! Tak ketinggalan, pihak kerajaan menanggap pesta kebun di kastel. “Kami mengundang banyak orang, walau beberapa dari mereka barangkali tidak tahu lokasi Liechtenstein di atas peta,” ujar Prince Philipp bergurau.
Kenyang menyelami warisan masa lalu Liechtenstein, kini saya mencicipinya. Suatu pagi, saya memasuki cellar Princely Winery. Di depan saya berdiri Princess Marie, menantu Yang Mulia Prince Hans-Adam II. Sang putri juga tampil tidak berjarak, bahkan kelewat ramah hingga membuat saya salah tingkah. Saat saya datang, dia justru lebih dulu menghampiri saya.
Wanita kelahiran 1975 ini menyebut dirinya “country girl.” Rambutnya pendek, wajahnya dirias tipis, tubuhnya dibalut busana Michael Kors. Saya perhatikan, dia tidak memakai anting, kalung, maupun cincin kawin, mungkin khawatir berliannya akan menyilaukan mata saya. Sosoknya yang bersahaja sejenak mengingatkan pada Putri Diana, baik secara pembawaan maupun genetik. Keduanya sama-sama lahir tanpa darah biru.
Princess Marie bekerja untuk winery milik kerajaan. Perusahaan ini memproduksi antara lain Riesling, Pinot Noir, dan Profundo. Kata sang putri, budi daya anggur di sini berakar panjang, tapi bisnis wine baru digarap pada 1950-an. Saya mencicipi beberapa wine buatan kerajaan itu di Torkel, restoran dengan satu bintang Michelin. Tiap hidangan hadir dengan segelas wine yang berbeda. Seperti artefak di National Museum, wine negeri ini terasa kian mahal jika kian tua.