Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mereka Yang Hidup dalam Benteng 

Kawasan Benteng Pendem Ambarawa yang kerap dijadikan kawasan foto pranikah hingga sekadar swafoto untuk konten media sosial.

Teks & Foto oleh Rosa Panggabean

Rumahku istanaku. Di Benteng Pendem, kata mutiara itu telah bergeser jadi “rumahku bentengku”—dalam arti yang harfiah.  

Di pelataran Benteng Pendem Ambarawa, dua pasang remaja sibuk saling memotret, berulang kali melakukan swafoto. Melihat arsitekturnya, baluarti warisan VOC ini memang fotogenik. Serasa di Eropa, mungkin itu alasan pengunjung memperlakukannya bak properti foto.

Di salah satu bagian kompleks terdapat seutas tangga yang terkoneksi ke lantai atas. Kontras dari fasadnya yang gagah perkasa, lantai dua lebih mirip asrama. Mengintip dari jendelanya, terlihat sejumlah manusia hidup di dalamnya.

Mahmudi, salah seorang penghuni, mengaku sudah menetap di sini sejak 1980-an. Pria berusia 58 tahun ini adalah pensiunan sipir Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) IIA. Katanya, sebagian Benteng Pendem memang difungsikan sebagai rumah dinas (atau “benteng dinas”) untuk para pegawai dan pensiunan Lapas.

Mimin yang tinggal di bastion atau bangunan untuk memantau musuh pada zamannya.

Joko Setianto, warga lainnya, mendiami Benteng Pendem sejak 1984. Dia dan istrinya juga bekerja di Lapas. Berbeda dari Mahmudi dan Joko yang berstatus “pendatang,” Endang Kastari lahir di Benteng Pendem. Ayah dan ibunya sudah bermukim di sini sejak 1950-an. Awalnya Endang menetap bersama keenam saudaranya, tapi kini hanya dia yang bertahan. Banyak keluarga memang telah hengkang dari tempat ini.   

Ada 75 individu dari 25 kepala keluarga yang mendiami Benteng Pendem. Mereka bukanlah magersari ataupun penghuni liar. Komunitas ini bernaung di bawah satuan administrasi yang legal. Mahmudi menjabat Ketua RT Benteng Pendem.

Mengamati tiap hunian, setiap keluarga rata-rata mendapat jatah luas ruang hidup yang sama. Jika dihitung secara kasar, tiap unit residensial luasnya setara rumah tipe 45. Interiornya lazimnya dibagi jadi empat zona: ruang tamu, kamar tidur, ruang makan, dan dapur. Untuk mandi, warga mesti berjalan ke luar benteng di mana bedeng-bedeng toilet dibariskan berjajar.

Interior rumah Mimin yang dulunya merupakan bastion.

Benteng Pendem dikonstruksi pada 1834 dengan nama Fort Willem I. Lokasinya sekitar 35 kilometer di selatan Semarang dan tak jauh dari Danau Rawa Pening. Memiliki banyak jendela, tanpa bastion dan lubang meriam, benteng ini lebih difungsikan sebagai barak militer, gudang logistik, serta pos pemeriksaan. Di masa penjajahan, Ambarawa adalah titik strategis di antara Semarang dan Surakarta.

Kata Sunarti, salah seorang penghuni, perubahan nama Fort Willem I menjadi Benteng Pendem terinspirasi oleh tampilan benteng. “Pendem” adalah kata Jawa yang berarti “terpendam.” Dalam konteks Fort Willem I, maksudnya bukanlah terpendam tanah, melainkan tanaman. Dilihat dari kejauhan, benteng yang dikelilingi sawah ini menyerupai kebun yang digerayangi tanaman.

Sebelum menjadi hunian seperti sekarang, Benteng Pendem sudah beberapa kali berganti peran. KNIL pernah bermarkas di sini, begitu pula Tentara Keamanan Rakyat. Benteng ini sempat pula diakuisisi Jepang untuk mengurung musuh-musuhnya. Semenjak Indonesia merdeka, Benteng Pendem dijadikan Lapas, dan hingga kini pun masih tersisa area yang berfungsi sebagai LP Kelas II. Apa rasanya hidup di tempat dengan riwayat kelam seperti ini?

Interior ruang tengah rumah Mahmudi. Sebagian kawasan Benteng Pendem memang dijadikan hunian atau asrama untuk para pegawai lapas saat benteng berubah fungsi menjadi penjara sejak Indonesia merdeka.

Selama menjelajahi benteng, saya ditemani Mahmudi. Katanya, tamu memang sebaiknya ditemani. “Kalau sama orang sini yang ‘halus-halus’ sudah kenal,” begitu alasannya. Sebagaimana bangunan renta, Benteng Pendem dianggap bertuah. Ada penghuni yang mengaku pernah dicolek makhluk halus. Ada yang mengklaim melihat noni Belanda jadi-jadian. Seperti adegan ikonis film Shutter, ada pula yang merekam penampakan misterius dalam foto.

Urusan hantu mungkin bisa diperdebatkan, tapi problem riil yang sulit disanggah dari gedung tua ialah perawatan. Beberapa bidang tembok benteng sudah retak akibat ditembus tanaman, dan perbaikannya tidaklah mudah lantaran situs sejarah ini mesti dipertahankan keasliannya. Terkait status itu pula, warga dilarang memodifikasi bangunan atas alasan kenyamanan. Untuk membagi interior, berhubung tidak boleh mendirikan dinding partisi, penghuni memasang sekat-sekat temporer berbahan tripleks.

Mobil milik penghuni diparkir di kawasan Benteng Pendem Ambarawa.

Warga dengan tekun merawat unit yang mereka tempati layaknya rumah sendiri, walau sewaktu-waktu izin tinggal mereka bisa diambil negara. Di masa awal menetap, mereka jugalah yang mengusahakan pemasangan kabel PLN dan pipa PAM. Konsumsi energi di sini lumayan hemat. Berkat udara Ambarawa yang sejuk, ditambah tinggi bangunan yang mencapai hampir empat meter, AC tidak dibutuhkan.

Mayoritas penghuni telah beradaptasi dengan kondisi itu selama bertahun-tahun, sebagian sepanjang hidupnya. Mimin misalnya, sudah melewati tiga generasi di sini. Dia menghuni bastion pemantau musuh. Ayahnya, Martodiardjo, tinggal di benteng sejak bertugas sebagai juru masak tahanan militer pada 1950-an. Sepeninggal Martodiardjo, Mimin mengambil alih bastion, hingga dia menikah, beranak, bahkan bercucu.

Demam media sosial sedikit banyak membawa perubahan (dan perhatian) pada Benteng Pendem. Lantaran bentuknya mirip kastel dalam dongeng karangan Hans Christian Andersen, struktur sepuh ini kerap dijadikan lokasi swafoto, juga foto pranikah. Fenomena itu pula yang menggeser citra horor Benteng Pendem semenjak empat tahun belakangan. Alih-alih dijauhi, ia justru menjadi wahana wisata.

Sunarti, salah satu penghuni Benteng Pendem Ambarawa. Sunarti salah satu saksi sejarah yang menyaksikan evolusi Benteng Pendem.

Pada 2013, pamor benteng juga sempat melambung usai dipakai sebagai salah satu lokasi syuting film Soekarno arahan Hanung Bramantyo. Ada dua adegan yang direkam di sini: sebagai Penjara Banceuy, tempat Soekarno dibui di Bandung; serta latar sebuah kota kecil di mana Belanda menerapkan jam malam demi meredam pergerakan pemuda menjelang kemerdekaan RI.

Naiknya minat berwisata ke benteng memberi warga sumber pendapatan baru. Mereka mematok tarif masuk sebesar Rp10.000 per turis. Layaknya objek wisata pula, benteng ini juga dilengkapi fasilitas publik, termasuk lahan parkir sepeda motor. Didirikan untuk memantau lawan, Benteng Pendem sekarang menyambut ramah pendatang.  

Rosa Panggabean
Setelah 10 tahun bekerja untuk Antara, Rosa memutuskan beralih ke jalur independen pada 2018. Fotografer yang berbasis di Jakarta ini pernah menerima penghargaan Anugerah Adiwarta dan Anugerah Pewarta Foto Indonesia, serta mengikuti Erasmus Huis Fellowship di Amsterdam. Buku foto karyanya, Exile, terbit pada 2014. rosapanggabean.com

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5