by Yohanes Sandy 11 February, 2016
Ekspedisi Gua Raksasa Vietnam
Oleh Gabrielle Lipton
Foto oleh Ryan Deboodt
Gua adalah objek wisata alam yang paling saya remehkan. Saya pernah menyelam jauh demi mencari karang yang sehat, rela menyeret kaki ke puncak gunung demi menyaksikan mentari pagi, sudi membiarkan tubuh menggigil demi menyaksikan gletser. Tapi saya belum pernah sekalipun memasuki gua. Kini, sikap tak acuh saya resmi hilang. Saya berhasil menemukan kenikmatan di sisi tergelap dunia.
Kenikmatan itu saya rasakan saat melawat ke Vietnam, persisnya ke Taman Nasional Phong Nha–Ke Bang di Provinsi Quang Binh. Di sinilah, pada 2009, sekelompok penjelajah Inggris berhasil menjadi tim pertama yang memasuki Son Doong, gua terbesar sejagat.
Tak lama berselang, Chau Nguyen, pria asli Phong Nha, mendirikan Oxalis, operator tur yang merangkap jagawana bagi kawasan ini. Oxalis mengedukasi warga perihal prinsip-prinsip konservasi, juga mendorong pemerintah setempat untuk mengesahkan regulasi perlindungan hutan dan gua. Gerakan mereka menuai banyak simpati. Kini, sekitar 200 orang mengantre untuk bisa bekerja sebagai pemandu, koki, atau porter bagi Oxalis. Dan operator ini punya banyak lowongan untuk menampung mereka, seiring melambungnya pamor Vietnam di kalangan caver.
Paket tur dari Oxalis beragam, mulai dari satu hingga lima hari. Karena tur ke Gua Son Doong sudah dipesan banyak orang, saya pun memilih Gua Tu Lan. Tripnya empat hari, mencakup trekking 35 kilometer serta blasak-blusuk enam gua.
Perjalanan dimulai dengan menjelajahi padang kering dan menonton kerbau-kerbau pemalas yang berendam di Sungai Rao Nan. Sungai penuh cabang inilah yang selama jutaan tahun mengukir pegunungan kapur dan membentuk lorong-lorong Tu Lan.
Salah satu kenikmatan berada di alam liar adalah—meminjam kata-kata novelis Joan Didon—“perubahan berlangsung instan.” Sesaat setelah kami mencapai bukit pertama, medan ekstrem langsung menghadang. Jalan yang tadinya datar berubah menjadi tanjakan curam. Kami memanjat dan merangkak seraya menghindari daun-daun hijau kekuningan yang rentan memicu gatal selama lima hari.
Saat kedua paha saya tengah mengerang kelelahan, jalan perlahan terbuka. Pohon-pohon kian berjarak dan sebuah lubang besar pun muncul di hadapan. Dipadati oleh stalagmit, gua ini bisa dengan mudah dinobatkan sebagai aset wisata andalan sebuah negara.
Tapi, bagi kami, ia sejatinya hanya sebuah jalan pintas untuk menjangkau Gua Tu Lan. Pemandu saya adalah pemuda lokal yang menjuluki dirinya sendiri “Jungleman Ken.” Dia berjanji, pemandangan yang lebih menawan sudah menanti di perkemahan. Dia bahkan menyebutnya “bumi perkemahan tercantik sejagat!”
Selang satu jam, usai melompat-lompat di antara batu dan akar, kami tiba di area perkemahan. Awan mendung mulai berkerumun. Untungnya, porter kami sudah kelar merangkai terpal, ruang makan, serta toilet kompos berdinding bambu. Semuanya ditata di bantaran sungai. Di kejauhan, sebuah lorong hitam menumpahkan air terjun menuju laguna bertingkat dua. Jungleman Ken tidak berbohong.
Ini memang bumi perkemahan tercantik. Martin Holroyd, salah seorang turis di rombongan saya, adalah caver gaek asal Inggris sekaligus kawan lama Deb Limbert, penemu gua fenomenal Son Doong. Sejak 1997, Martin sudah beberapa kali datang ke kawasan ini guna melacak gua-gua baru, dan Gua Hang Ken adalah salah satu temuannya.
Kami menghampiri Gua Hang Ken, lalu berenang menyusuri sungai di perutnya. Kami terus merangsek, terus menembus gelap. Bagaikan maling, saya meraba mengandalkan senter seraya menyoroti pahatan-pahatan unik yang diukir oleh air. Tiba di ujung gua, saya menemukan formasi bebatuan yang sangat memukau: pilar setinggi gedung enam lantai dengan permukaan yang menyerupai Braille.
Mungkin berkat tidur pulas semalaman di hammock, atau mungkin karena keindahan Gua Hang Ken masih membayangi kepala, pagi ini saya terbangun dengan perasaan bahagia, dengan tubuh yang tak sabar menanti petualangan di hari kedua.
Di Gua Tu Lan, kami mengenakan harness dan menuruni tebing setinggi 15 meter menuju sungai. Selanjutnya, kami menaiki rakit dan mendayung menuju air terjun di rahim gua.
Senter dipadamkan dan kami mendengarkan deru air dalam kegelapan yang pekat. Kami lalu berbalik arah dan mendayung ke arah mulut gua. Seperti adegan di film, matahari menyinari stalaktit dan membentuk siluet dengan latar belantara berkabut.
Di pemberhentian berikutnya, rombongan menikmati makan siang ala DIY: melintang sendiri lumpia berisi jamur hutan. Selanjutnya, kami menembus gunung melalui Gua Hang Kim, singgah di sebuah danau untuk berenang, lalu duduk-duduk malas di kaki jeram dan membiarkan tubuh dipijat oleh siraman air.
Perjalanan diteruskan menuju Gua Hung Ton yang dipenuhi stalagmit raksasa hingga menyerupai kulit landak. Jungleman Ken berulang kali mengingatkan trip hari ketiga ini bakal lebih memukau: mendaki 13 kilometer menuju bumi perkemahan yang dilengkapi “kolam renang terindah” di dekat “gua terindah.”
Mengenang panorama dari dua hari terakhir, saya tak lagi meragukan sesumbarnya. Kami mendaki dengan santai, berpindah dari satu etape ke etape berikutnya dengan transit di tiap sungai dan danau di sepanjang jalan, layaknya manusia yang meniru rutinitas kerbau: berenang, berjalan, makan; berenang, berjalan, makan.
Di etape berikutnya, kami menikmati sesi barbeku yang disiapkan oleh porter. Menu malam ini: daging babi, sapi, ayam, tahu goreng, telur rebus dalam saus tomat segar; sop berisi telur rebus dan sayuran; tumis kangkung dan kubis; serta arak lokal. Menikmati sajian yang kaya endorfin itu, saya sebenarnya sudah merasa terpuaskan. Tapi para porter berhasil membuat atmosfer lebih menyenangkan dengan menyanyikan lagu-lagu rakyat Vietnam.
Salah seorang porter memimpin kor dengan energik hingga membuat saya terpaku. Tiba-tiba, semua porter berpaling ke arah peserta tur dan meminta kami menyumbangkan lagu. Rombongan saya terdiri dari satu orang Australia, satu Jerman, enam Amerika, dan tiga Inggris. Tidak mudah menentukan lagu yang dipahami bersama. Pilihan akhirnya jatuh pada nomor-nomor populer dari zaman kaset, sebut saja Country Roads, Coming ‘Round the Mountain, serta Hokey Pokey.
Pada 1994, musim hujan memaksa Deb mengurungkan salah satu ekspedisinya. Gua dilanda banjir. Seorang pria lalu mengajaknya masuk lewat pintu alternatif—Gua Hang Tien. Gua inilah yang menjadi target terakhir dalam trip saya. Jungleman Ken lagi-lagi benar, Hang Tien adalah gua yang cantik. Usianya ditaksir sekitar 550 juta tahun. Sosoknya seperti istana bagi para dewa.
Kami menjangkau mulut gua dengan melewati bebatuan yang seolah terus membesar. Di teras liang, matahari menyinari stalaktit yang bergelantungan sekitar 30 lantai di atas kepala, sementara di kakinya terdapat kolam-kolam berbentuk kelopak bunga. Kami menyusuri bilik-bilik di perut bumi, menembus gulita, melakoni apa saja yang lazim dilakoni seorang caver: duduk di interior cemani, menyimak suara kepakan kelelawar, melantunkan gema, mengagumi pahatan alam.
Ketika saya berpikir petualangan sudah rampung, Deb meminta kami menjajal jalur sulit di belakang gua. Seperti tengah mengikuti sirkus akrobat, kami menjaga keseimbangan di atas jalur setipis tambang, memasuki aula berisi air, menyelinap di celah sempit, hingga akhirnya mendarat di sebuah danau hijau.
Kata Deb, tak seorang pun pernah melampaui danau itu. Dibutuhkan peralatan selam untuk melakukannya. Untuk sementara, Hang Tien tetap menjadi gua yang belum tuntas dipetakan. Dan mungkin lebih baik dibiarkan seperti itu. Sisi tergelap dunia lebih memikat jika dibiarkan dalam kegelapan.
PANDUAN
Rute
Phong Nha, titik awal pendakian bersama operator Oxalis, berjarak sekitar satu jam dari Dong Hoi, Provinsi Quang Binh. Penerbangan dari Ho Chi Minh City ke Dong Hoi dilayani oleh Jetstar (jetstar.com) dan Vietnam Airlines (vietnamairlines.com). Kedua maskapai tersebut juga melayani penerbangan ke Ho Chi Minh City dari Jakarta.
Informasi
Gua-gua raksasa Vietnam tersebar di area Taman Nasional Phong Nha-Ke Bang. Operator tur Oxalis (oxalis.com.vn) menawarkan beragam paket ekspedisi, misalnya Adventure Tours (mulai dari Rp1.200.000 per orang untuk tur sehari ke Gua Tu Lan) dan Expedition Tours (mulai dari Rp40.000.000 per orang untuk tur ke Gua Son Doong). Penting diingat, beberapa paket tur tidak tersedia di musim hujan yang berlangsung dari September hingga Januari. Datanglah di April untuk cuaca terbaik.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2016 (“Liang Yang Lekang”).