by Yohanes Sandy 15 June, 2016
Menjelajah Kawasan Lower Manhattan
Seraya mengunyah bagel, saya meluncur ke National September 11 Memorial & Museum di Ground Zero di mana World Trade Center dulu berdiri. Jalan-jalan sudah sibuk, tapi Memorial masih sepi manusia. Di dekat air mancur dan hamparan kolam, sebuah lempengan granit hitam mengukir hampir 3.000 nama korban 9/11. Di luar itu, tak ada tulisan lain.
Tidak ada papan informasi. Tidak larangan bersandar. Tidak ada pula pelang verboten bagi skuter. Bagi sebagian orang, tempat ini merupakan tugu peringatan yang muram. Bagi sebagian lainnya, ia ruang publik yang menawan.
Memorial adalah tempat “pemanasan” sebelum menghampiri museum. Dari sini, saya melewati gerbang yang dirancang oleh firma Snøhetta asal Norwegia, kemudian memasuki galeri yang mengenang tragedi melalui beragam benda berbalut duka: karya seni, rangkuman sejarah Al-Qaeda, cetak biru menara, film dokumenter, puing menara, klip televisi, serta rekaman pembicaraan telepon.
Dibutuhkan sekitar tiga jam untuk menghayati semua koleksinya. Museum ini berikhtiar memotret bencana seobjektif mungkin, tapi pada akhirnya ia seperti sambal yang dicipratkan ke mata. Banyak orang beranjak dengan isak tangis. “Museum ini bukanlah objek wisata,” kata pemandu Sonia Agron, yang terlibat sebagai petugas penyelamat pasca-9/11. “Mayoritas orang mengaku datang agar anak-anak mereka bisa memahami 9/11.
Mereka datang karena 9/11 bukanlah tragedi bagi New York semata, tapi juga dunia. Agaknya penting bagi mereka untuk menyaksikan kembali hari nahas yang mereka alami 15 tahun silam. Beberapa New Yorker masih berat hati melawat area ini, tapi berdasarkan pengalaman pribadi saya, kunjungan ke sini bisa menjadi titik awal dari terapi.”
Di utara Memorial berdiri One World Trade Center, menara pengganti yang didesain oleh arsitek David Childs. Tubuhnya dibungkus kaca seluas 93.000 meter persegi. Fasadnya mendemonstrasikan sebuah permainan geometris: beberapa formasi segitiga yang saling melekat dalam posisi bolak-balik.
Jika antena di puncaknya dihitung, gedung ini memiliki ketinggian total 541 meter, menjadikannya struktur terjangkung di belahan bumi barat. Seperti kebanyakan gedung jangkung, One World Trade Center menawarkan “gardu pandang.”
Menaiki lift berkecepatan tinggi, saya melewati 100 lantai dalam waktu hanya 47 detik, kemudian mendarat di One World Observatory yang menyuguhkan panorama 360 derajat lanskap Manhattan dan distrik-distrik di sekitarnya. Para staf di sini menggunakan teknologi “gesture-recognition” untuk menunjukkan titik-titik spesifik di seantero kota.
Selain itu, terpasang selembar layar yang menginformasikan ketinggian permukaan jalan secara real time. Saya memilih menghampiri sebuah jendela dan bermain I Spy: melacak kantor lama saya, apartemen nenek saya, serta jalan-jalan di mana saya gemar berkendara.
Dua jam berlalu dan perut saya keroncongan minta disuapi. Untuk makan siang hari ini, saya memilih The Odeon, ikon lama kota. Barangkali Anda pernah melihat sosoknya, baik di sampul novel Bright Lights, Big City ataupun dalam imajinasi Anda tentang tipikal restoran New York yang dicirikan oleh pelang neon jingga-merah, taburan bohlam, hiasan dinding berbentuk cermin, serta suara denting gelas dan gelak tawa sepanjang waktu.
Pada era 80-an, The Odeon adalah wadah favorit John Belushi dan awak Saturday Night Live untuk bersantai pascasyuting. Ia juga tempat kegemaran Robert De Niro dan Martin Scorsese untuk menenggak minuman. Untungnya, kendati mengoleksi banyak pelanggan VIP, The Odeon tak lantas berlagak congkak. Servisnya tetap prima, menunya mudah dicerna, dan tawaran utamanya masih berlaku: membunuh waktu dengan gaya lokal. Saya mencomot surat kabar, memesan minty Tabini martini dan sup bawang Prancis, kemudian membiarkan dua jam berlalu.
Dalam waktu dekat, The Odeon akan memiliki tetangga baru yang tak kalah memikat: restoran-restoran milik koki selebriti semacam Nobu Matsuhisa dan Jean-Georges Vongerichten. Saat ini, Lower Manhattan memang terlalu menggiurkan untuk dinafikan para pengusaha restoran. Tapi keputusan untuk memasuki kawasan ini sebenarnya tidaklah dilandasi oleh kalkulasi bisnis belaka.
“Sebelumnya saya mengabdi untuk Gordon Ramsay selama tujuh tahun di Midtown, dan saya mencintai budaya makan di sana,” ujar Markus Glocker, koki asal Austria. “Tapi saya kemudian mendambakan sebuah tempat di mana saya bisa fokus melayani tamu, bisa berbincang dan menghafal nama-nama mereka. Dengan begitu saya bisa mengingat semua pelanggan, dan saya suka gaya seperti itu.”
Mengusung tekad itu, Markus bermigrasi ke Lower Manhattan dan mendirikan Bâtard pada 2014. Kini, restorannya telah menyabet satu bintang Michelin dan penghargaan Best New Restaurant dari James Beard. Kesuksesannya didasarkan pada kemampuan mengemas sajian dengan simpel di atas piring dan membuang semua ornamen mubazir yang kerap ditawarkan restoran di New York.
Paket makan berisi empat menu dibanderol hanya $79, harga yang agak tak masuk akal mengingat tawaran sang koki mencakup gurita segar yang disajikan dalam format pastrami, jeroan dengan labu bakar, dan branzino (ikan bass) terlezat yang pernah saya cicipi. >>>