by Cristian Rahadiansyah 30 June, 2014
Waiheke, Pulau Seni Unik di Selandia Baru
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Rony Zakaria
Waiheke: seonggok pulau, serumpun komunitas, setumpuk galeri yang mengetuk imajinasi. Di pulau ini, 26 tahun silam, Kazu Nakagawa mendarat. Lalu tertambat. Kemudian terperangkap. Perangkap yang tak hendak dilepaskannya. Usai bertahun-tahun berkelana, perupa asal Tokyo itu akhirnya menemukan wadah yang membuat kreativitasnya mengalir deras. “Saya tidak pernah memilih Waiheke,” katanya. “Pertama tiba di sini, saya langsung tersedot oleh pesonanya dan sejak itu tak ingin beranjak.”
Saya menemuinya di depan sebuah perpustakaan umum. Pria gondrong itu sedang menggarap instalasi besar berbentuk ukiran kayu yang memberi efek ilusi optikal: rangkaian 49 huruf yang timbul-tenggelam mengikuti sudut cahaya. Berikut bunyinya: “Lots of Rain, Lots of Sun, Lots ofWind, Lots of Day, Lots of Night.”
Melalui karyanya itu, Nakagawa hendak menggambarkan Waiheke. “Di Tokyo,” katanya, “ada hujan, tapi kita tak benar-benar merasakannya. Di sana juga ada sinar mentari, tapi kita tak benar-benar merasakannya. Di sini, kita merasakan itu semua.”
Waiheke adalah satu dari sekitar 30 pulau di Teluk Hauraki, perairan di sisi timur North Island, Selandia Baru. Jarak Waiheke dari Kota Auckland hanya 19 kilometer, tapi keduanya seperti berasal dari galaksi yang berbeda. Waiheke dihuni hanya 8.000 manusia (Auckland 1,4 juta). Di sini tak ada bungy jumping, kemacetan, juga hotel bermerek internasional. Atraksinya yang paling “liar” bukanlah bar underground, melainkan nude beach.
Teluk Hauraki bagi warga Auckland mirip Kepulauan Seribu bagi penduduk Jakarta. Ke sanalah kaum urban melarikan diri dari keriuhan dan kemacetan. Tapi fenomena itu baru menggejala dalam 20 tahun terakhir. Sebelumnya, pulau-pulau di teluk ini ditinggali warga Maori. Penjajah Eropa meliriknya pada abad ke-18 usai tergoda oleh kayu-kayu di sini. Setelah hutan menipis, barulah Teluk Hauraki bersalin peran menjadi destinasi liburan. Puncaknya terjadi saat layanan feri cepat diperkenalkan pada 1987.
Hari ini, saya tidak datang dengan kapal feri, melainkan pesawat amfibi. Steve, pilot operator Auckland Seaplanes, membawa saya melayang di atas teluk yang terhampar menawan. Pulau-pulau bertaburan seperti noda di laut biru. “Feri memiliki rute tetap, tapi kami bisa melayani tur hingga pulau-pulau terjauh,” kata Steve berpromosi.
Pesawat mendarat di pelataran Waiheke, di antara kapal-kapal layar putih yang berlabuh di perairan tenang. Saya menggulung celana, lalu berjalan ke pantai di mana orang-orang membenamkan kaki di pasir dan anjing-anjing berlarian mengejar buih ombak.
Pemandu dari Ananda Tours (yang juga bernama Steve) lalu mengantarkan saya meniti jalan sempit yang membelah-belah pulau. Kami melewati rumah-rumah liburan mewah yang didesain dalam gaya klasik Eropa dan Mediterania. Rasanya sedang membolak-balik halaman Architectural Digest. “Banyak jutawan memiliki rumah di Waiheke,” ujar Steve. Dia menunjukkan sebidang tanah yang dimiliki Graeme Hart, orang terkaya di Selandia Baru. “Di sebelah sana,” kata Steve lagi, “ada tanah milik Li Ka-shing.”
Sudah 15 tahun memandu pelancong, Steve tak cuma mengenal tiap jengkel pulau ini, tapi juga gosip-gosip yang dibisikkan di sudut rumah. “Mulai banyak selebriti berlibur di sini. Terakhir, kami kedatangan Taylor Swift,” ujarnya, saat membawa saya ke ruang makan privat Lady Gaga di sebuah cellar bawah tanah.
Dibandingkan pulau-pulau tetangganya, Waiheke memiliki ukuran yang lebih besar, dermaga yang lebih modern, serta jarak yang lebih dekat dari Auckland. Tapi ada satu lagi alasan kenapa pulau ini begitu memikat: wine.
Kombinasi antara iklim maritim dan tingkat humiditas yang rendah membuat lahan-lahan di sini cocok ditanami anggur. Secara bertahap sejak 1950-an petani-petani anggur berdatangan dan menguji peruntungannya. Sekarang, pulau ini menampung lebih dari 20 kebun, mayoritas dilengkapi instalasi pengolahan wine.
Bisnis yang awalnya murni bersifat agrikultural itu kemudian melahirkan banyak kreasi turunan. Tur menaiki bus ke kebun-kebun wine sangat populer di kalangan wisatawan. Restoran-restoran wine premium menjamur. Sebuah festival wine digelar saban tahun dan memikat ribuan orang. Kata Steve lagi, banyak restoran wine juga rutin dijadikan tempat kenduri. “Tahun lalu, ada 600 resepsi pernikahan di Waiheke,” katanya.
Selama empat hari berkelana di sini, saya juga melihat bagaimana wine berfungsi layaknya lubrikan sosial yang merekatkan warga dalam atmosfer bohemian. Tiap siang dan malam, gelas-gelas berisi nektar itu menciptakan ruang-ruang diskusi yang akrab sekaligus cair.
Wine membuat Waiheke bukan hanya menarik dijelajahi, tapi juga dinikmati. Tempat terbaik untuk memulai petualang wine di sini adalah Mudbrick. “Jika orang berbicara restoran bintang lima, mau tidak mau dia akan menyinggung Mudbrick,” ujar Julia Cooke, staf Tourism New Zealand.
Mudbrick bersinar paling terang di antara pesaingnya. Dapurnya tak cuma menyajikan wine berkualitas prima, tapi juga sajian yang telah memberi warna baru pada dunia kuliner lokal. Kokinya, Matthias Schmitt, yang pernah bekerja di restoran bintang dua Michelin Im Schiffchen, meracik sajian atraktif yang mengingatkan saya pada Restaurant Andre di Singapura.
Wine pula yang berjasa mengubah Waiheke menjadi pulau yang kosmopolit. Industri wine dan segala turunannya mendatangkan pekerja dari negeri-negeri yang jauh. Tak sulit bagi kita untuk menemukan pramusaji asal Eropa atau pemetik anggur dari Amerika Selatan. “Merujuk sensus tahun lalu,” kata Steve, “ada lebih banyak orang yang berbahasa Prancis ketimbang Maori di pulau ini.”
Stephen Picard, jurnalis yang menetap di Waiheke sejak 1976, menjabarkan dengan ringkas bagaimana pulau ini membentuk komunitas akrab yang merangkul siapa saja, mulai dari miliuner pemburu tanah hingga pengusaha wine. “Pulau ini telah menjadi semacam suaka di Laut Selatan: wadah retret kelas pekerja, surga kaum hippie, panti terapi mental terapung,” tulisnya dalam buku Waiheke Island. “Kondisinya masih seperti itu dan menurut saya akan terus begitu.”
Pada 1980-an, suaka Laut Selatan ini menyambut satu kaum lagi: seniman. Kazu Nakagawa dan rekan-rekannya berdatangan untuk bermukim dan berkarya. Sekarang, kita bisa menemukan lebih dari 30 galeri dan 100 seniman di Waiheke. Pulau ini kadang mengingatkan saya pada Ubud, tapi Ubud yang dipenuhi kebun anggur ketimbang sawah.
Pada 1995, komunitas seniman melahirkan wadah bersama di mana mereka bisa memajang karya sekaligus mewarnai kehidupan di Waiheke. Wadah itu masih berdiri dengan nama Waiheke Community Art Gallery (WCAG). “Kami menampilkan kreasi-kreasi segar dari seniman. Koleksi di galeri ini kami ganti setiap dua hingga empat minggu,” ujar Robyn, wanita paruh baya yang sudah tujuh tahun bekerja secara sukarela di WCAG.
Institusi yang digerakkan dana publik tersebut bagaikan motor seni. Secara berkala, WCAG menggelar pameran di ruang publik, artis residensi, kelas seni musim panas, serta pemutaran film harian. Ajang terbesarnya adalah Headland Sculpture on the Gulf, pameran bienial yang rutin memikat puluhan ribu orang sekaligus menyulap Waiheke menjadi sebuah galeri terbuka yang kolosal.
Seni juga memberi alasan segar bagi turis untuk bertandang ke Waiheke. Tur galeri mulai populer, menyaingi tur ke kebun-kebun anggur. Sebuah peta seni gratis juga telah disediakan untuk memandu pelancong mengenal dan melacak lokasi galeri.
Saat saya datang, sejumlah artis menggarap pameran kecil di bulevar utama pulau. Bersama-sama mereka menginvasi ruang publik melalui aneka instalasi yang dipajang di tepi jalan. Orang-orang berhenti sejenak untuk melihat-lihat, kadang bertanya. Keleluasaan itulah yang agaknya membuat dunia seni berdenyut kencang. Perupa bisa menciptakan dialog dengan massa tanpa melalui galeri. Seni bukan lagi domain yang dimonopoli kritikus, tapi dimaknai bersama oleh publik.
Dan Waiheke tak cuma ditinggali seniman, tapi juga melahirkan seniman. Itulah kesimpulan yang bisa saya tarik tentang Paora. Pria berdarah campuran Irlandia dan Maori ini bermigrasi ke Waiheke dengan menggendong setumpuk rasa frustrasi akibat bisnisnya yang kandas. Bertahun-tahun menyelami alam pulau ini, serta bergaul dengan banyak musisi dan pujangga, Paora menemukan energi segar untuk membuka lembaran baru hidupnya: menjadi perupa dengan spesialisasi seni pahat. Dia kini seniman yang diperhitungkan di Waiheke. Bersama rekan-rekannya, Paora juga turut membidani kelahiran WCAG. “Pulau ini seperti meredefinisi diri saya,” kenangnya. “Dan saya bukan satu-satunya.”
Waiheke memang bisa menyulut pencerahan, baik ketika kita menyeruput wine ataupun saat merenungkan karya para senimannya. Tiap orang seolah diajak tenggelam dalam atmosfer pulau. Itu mungkin sebabnya dermaga Waiheke memasang pelang berisi petuah bijak, “slow down, you are here.”
PANDUAN
Rute
Waiheke berjarak sekitar 19 kilometer di sisi timur Kota Auckland, Selandia Baru. Rute Auckland-Waiheke dilayani oleh tiga operator feri setiap hari, dari pagi hingga larut malam. Jika ingin melihat panorama pulau lebih komprehensif, gunakan pesawat amfibi yang dioperasikan Auckland Seaplanes (161-173 Quay Street, Auckland Central; 64-9/390-1121; aucklandseaplanes.co.nz). Salah satu maskapai yang melayani rute Jakarta–Auckland adalah Singapore Airlines (singaporeair.com).
Penginapan
Waiheke steril dari jaringan hotel internasional. Mayoritas penginapan dikelola oleh keluarga dengan kapasitas rata-rata tiga hingga delapan kamar. Akomodasi termewah di pulau ini, Delamore Lodge (83 Delamore Drive; 64-9/372-7372; delamorelodge.com; doubles mulai dari NZD1.300), menawarkan spa, sauna, serta infinity pool yang menatap sunrise dan sunset. Pesaingnya adalah The Boatshed (Huia Street; 64-9/372-3242; boatshed.co.nz; doubles mulai dari NZD645), hotel berkapasitas tujuh kamar yang membatasi usia tamu minimum 12 tahun.
Aktivitas
Tur ke kebun anggur dilayani sejumlah operator, salah satunya Ananda Tours (64-9/372-7530; ananda.co.nz) yang memiliki pengalaman 15 tahun. Kebun anggur merangkap restoran wine yang menarik didatangi antara lain Wild on Waiheke (82 Onetangi Road; 64-9/372-3434; wildonwaiheke.co.nz), Cable Bay (12 Nick Johnstone Drive; 64-9/372-5889; cablebay.co.nz), dan Mudbrick (Church Bay Road, Oneroa; 64-9/372-9050; mudbrick.co.nz). Ada lebih dari 30 galeri dan studio di Waiheke, di antaranya Paora Gallery (139 Ocean View Road; ikonz.co.nz), Dead Dog Bay (100 Margaret Reeve Lane; 64-9/372-6748; deaddogbay.co.nz), dan Connells Bay Sculpture Park (142 Cowes Bay Road; 64-9/372-8957; connellsbay.co.nz). Informasi seputar pameran dan peta seni bisa didapat di Waiheke Community Art Gallery (2 Korora Road, Oneroa; 64-9/372-9907; waihekeartgallery.org.nz). Untuk informasi lain seputar tempat wisata di Auckland dan Selandia Baru, klik newzealand.com/id.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2014 (“Kantong Seni Hauraki”)