by Cristian Rahadiansyah 19 August, 2020
Mengunjungi Galeri Foto Pertama di Inggris
Teks & foto oleh Fransisca Angela
Keluar dari stasiun kereta bawah tanah Oxford Circus, saya langsung terkepung oleh turis yang memadati sentra komersial terpadat di London—Soho. Pemburu gawai berkerumun di Apple Store gigantik di Regent Street. Pencinta kuliner keluar masuk pub dan restoran di Carnaby Street. Penggemar busana berkeliaran di pertokoan yang menempati bangunan bersejarah Liberty.
Soho, pusat industri hiburan, busana, dan kuliner, juga merupakan rumah bagi The Photographers’ Gallery (TPG), galeri umum pertama di Britania Raya yang didedikasikan untuk fotografi. Fasadnya masih melestarikan elemen bata khas bangunan Soho masa lampau. Persis di seberangnya, selembar foto hitam putih retro berukuran besar karya John Goldblatt menghadirkan kontras pada barisan toko di jalan utama.
Didirikan pada 1971 di area Covent Garden, TPG mengungsi ke Ramillies Street pada 2012 dan menempati sebuah gedung bekas pabrik tekstil yang sudah direnovasi. Dalam bangunan lima lantai, lembaga ini sekarang menaungi zona ekshibisi, ruang kegiatan, kafe, serta toko.
Memasuki area resepsionis, seorang staf menyarankan saya memulai kunjungan di lantai lima, di mana pameran bertajuk Shot in Soho sedang bergulir. Ekshibisi ini mengajak pengunjung melakoni napak tilas Soho dan menyaksikan keragaman manusianya. Fotografer gaek William Klein memajang foto-foto dari masa dinasnya di The Sunday Times pada 1980. Corinne Day memperlihatkan studio di mana beberapa potret ikonis dihasilkan. Sementara John Goldblatt mendedahkan cerita di balik ruang rias klub striptis.
Pengalaman visual menyelami sejarah itu diperkuat oleh kisah-kisah verbal dalam siniar Soho Then. Sambil duduk santai di kursi panjang, tamu menyimak serpihan kenangan personal mengenai Soho langsung dari mulut warganya, termasuk pedagang buah, penjahit, hingga aktivis LGBT. “Sekarang kita ada di Pasar Berwick Street, di kios bunga milik ayah saya,” kenang Laecia Stannett, salah seorang narasumber dalam siniar. “Dulu, saat dia bekerja mendaur ulang koran, seorang pria paruh baya menawarkan kios bunganya. Kini, sudah hampir 60 tahun kami menjalankan usaha ini.”
Shot in Soho adalah perwujudan dari agenda baku TPG untuk menggelar pameran bertema Soho secara berkala. Tiap pameran menyoroti isu yang spesifik. Kali ini, TPG merespons kehadiran moda transportasi Crossrail yang berdampak pada banyak bangunan. “Pameran ini mengkritisi perubahan yang akan terjadi akibat pembangunan Crossrail, lewat peran fotografi dan bagaimana fotografi diilhami oleh Soho,” ujar Janice McLaren, Kepala Program Edukasi TPG.
Di bagian lain galeri, semangat “lokal” serupa melandasi kemasan Feast for the Eyes – The Story of Food in Photography. Pameran ini memperlihatkan bagaimana makanan merepresentasikan identitas, antara lain lewat karya Cindy Sherman, Martin Parr, dan Nan Goldin. Untuk memandu pengunjung, alih-alih mengutus fotografer atau kurator, TPG justru mengundang seorang pemilik restoran di Soho. “Kami berpikir bahwa orang yang datang ke restoran pasti juga akan tertarik dengan food photography,” tambah Janice.
Baca Juga: Apa Kabar Museum Fotografi Tertua?
Berbeda dari Shot in Soho yang digarap oleh duet kurator galeri dan kurator tamu, Feast for the Eyes adalah pameran keliling yang diselenggarakan oleh Aperture Foundation dari New York. Kontras warna panel dan karya pameran ini memperlihatkan pendekatan visual yang variatif, mulai dari seni rupa, vernakular, hingga gambar komersial dan ilmiah. Melayani segmen muda, salah satu instalasinya memakai bingkai Instagram dan dibubuhi tagar #foodphotography.
Dalam skena fotografi Inggris, TPG adalah destinasi yang populer bagi pencinta foto, antara lain berkat suguhannya yang variatif dan atraktif. Mengusung misi demokratis yang simpel—“menghadirkan fotografi untuk semua”—galeri ini rutin menanggap kegiatan untuk insan fotografi dan publik, contohnya Exhibition Tour, Talk, Curator Tour, Film Screening, serta TeachMeet atau program pelatihan untuk pengajar.
Dalam memikat khalayak umum, pameran merupakan magnet terkuatnya. TPG pernah memajang karya-karya emas buatan figur berpengaruh sekaliber Robert Capa, Andreas Gursky, hingga Sebastiao Salgado. Ajang-ajang blockbuster inilah yang menjadikan TPG layaknya situs wisata seni di London, bersanding dengan institusi bergengsi semacam V&A Museum atau The National Gallery. “Galeri ini selalu memiliki pameran yang menarik; selalu ada alasan untuk kembali ke sini,” kata Tony dan Lorraine Fry, pasangan asal Portsmouth yang mengaku rutin ke TPG tiap kali melawat London.
Mengimbangi pameran-pameran laris tadi, TPG memiliki sejumlah program yang relevan dengan konteks setempat. Institusi ini ingin menjawab tantangan lokal, merespons keresahan warga sekitar, juga menjadi bagian dari denyut kehidupan komunitasnya. Mengunjungi TPG, kita tak hanya melihat foto, tapi juga Soho dan London. Dan lewat TPG, fotografer Inggris menemukan saluran untuk menjangkau audien luas. Komitmen inilah yang turut mengantarkan sang direktur galeri, Brett Rogers, meraih gelar kehormatan Order of the British Empire pada 2014.
Program Develop adalah contoh lain dari misi sosial TPG. Program ini memberi bimbingan karier bagi pemuda usia 14-24 tahun. (Di Inggris, pelajar diharapkan telah menentukan minat kariernya pada usia 14 tahun.) Uniknya, “karier” di sini bukan berarti hanya menjadi fotografer. Para mentor memetakan ekosistem fotografi dan memperkenalkan ragam profesi di dalamnya, termasuk redaktur foto, kurator, penyunting gambar, hingga akuntan untuk fotografer.
Melalui Develop, TPG tak cuma berperan sebagai lembaga pendidikan alternatif, tapi juga berupaya menjawab tantangan lokal. Di Inggris, pelaku fotografi didominasi pria dari kalangan menengah di kisaran usia 40 tahun ke atas. “Museum dan galeri biasanya adalah institusi elitis. Program seperti ini penting untuk menghilangkan batasan dan mempromosikan kemajemukan dalam industri fotografi,” ujar salah seorang partisipan Develop.
Kegiatan Develop dipusatkan di ruang Eranda Studio. Di sini, tidak ada acara yang sama setiap harinya. Saban Kamis ada sesi Talk bersama editor dan fotografer untuk membahas topik seputar karier atau presentasi karya. Sehari berselang, ada Folio Friday di mana publik bisa bertemu para pelaku industri untuk mendapatkan kritik karya. Esoknya, ada lokakarya fotografi. “Percakapan yang terjadi saat acara berlangsung sangat menarik. Menurut saya, penting untuk memiliki diskusi terbuka yang informal di luar universitas,” jelas Marina Vitaglione, Assignments Editor Panos Pictures, yang menjadi panelis dalam acara The Social: Working Locally.
Baca Juga: 3 Ruang Fotografi Rekomendasi Fotografer
Beberapa program TPG mengenakan biaya pendaftaran, tapi pengelola kerap memberi dispensasi bagi mereka yang kurang mampu. Keluwesan ini ditunjang oleh pembukuan organisasi yang sehat. Seperempat anggaran operasional galeri bersumber dari Art Council England. Menambal sisanya, TPG menggalang sumbangan dari lembaga donor dan korporasi, plus penjualan tiket program dan foto cetak. Sedari awal berdiri, TPG memang menjajakan karya sejumlah fotografer.
Kemandirian finansial itu memudahkan TPG dalam berinovasi, juga membantu komunitas fotografi. Lewat ajang tahunan Deutsche Borse Photography Foundation Prize, galeri ini memberikan dana hibah kepada para fotografer. Untuk edisi 2019, fotografer Amerika Susan Meiselas menyabet hadiah utama £30.000 lewat karya retrospektif berjudul Mediations.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Setelah tiga jam berkeliling galeri, saya merasakan dinamika yang berbeda pada setiap lantainya. Obrolan lintas generasi mengalir di kafe. Ruang pamer dipadati pengunjung. Para fotografer sibuk bertukar ide di Eranda Studio.
Lahir sebagai galeri hampir 50 tahun silam, TPG telah berevolusi dengan mengambil peran edukasi, komersial, juga agen sosial. Lembaga mapan ini tak larut dalam kemapanan.