Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menengok Pariwisata Yordania

Teater kuno di Jerash.

Yordania bagai dikepung neraka, ujar seorang penyiar radio. Di utaranya ada Lebanon dan Suriah. Di sisi timurnya, Irak. Ke barat, Mesir dan Israel. Tanah monarki ini dikelilingi oleh negara-negara yang dijangkiti konflik dan kaos. Bukan lanskap geopolitik yang menarik bagi negara yang ingin mendulang devisa dari kantong peziarah dan turis.

Minyak bisa habis, tapi pariwisata tidak akan pernah habis. Kata-kata pemandu saya kembali terngiang. Wisata apa yang sebenarnya ditawarkan Yordania? Luas wilayahnya sekitar 89 ribu kilometer persegi, setara Provinsi Riau. Di sini tidak ada gunung hijau dan sungai jernih. Yang ada Sungai Jordan selebar empat meter yang sekaligus menjadi tapal batas dengan Israel.

Airnya keruh seperti sungai di Kalimantan. Wisatawan kini sedang sepi. Teluk Aqaba di Laut Merah terlihat lengang. Begitu pula lembah-lembah peninggalan nabi-nabi Yahudi, Nasrani, dan Islam; serta gua tempat persembunyian tujuh pemuda dan seekor anjing (disebut Ashabul Kahfi dalam Alquran).Jabal Nebo membentang sehabis pandang. Jabal Nebo merupakan salah satu gunung suci di dunia, selain Fuji yang disakralkan agama Shinto dan Machu Picchu yang keramat di Peru. Di Jabal Nebo inilah Nabi Musa kali pertama menyaksikan Tanah Yang Dijanjikan. Semua situs-situs spiritual yang dikelola apik itu sekarang bagai telantar tanpa peziarah.

Yordania juga penuh dengan kota-kota purba yang sarat akan catatan sejarah. Catatan yang tentunya berbeda dari kota-kota tua di Indonesia. Sejarah di Yordania bukan sejarah kolonial tiga abad kemarin, melainkan sejarah ribuan tahun yang terentang panjang. Ada Jerash, kota purba yang tahun ini genap berumur 6.500 tahun. Ada pula Petra, kota batu yang terpaut erat dengan sejarah penaklukan Romawi dan terkenal lewat komik Tintin.

Salah satu sudut Jerash, kota tua yang berumur lebih 6.500 tahun.

Yordania adalah jendela untuk melihat masa-masa yang telah jauh berlalu. Dari Amman, saya berkendara selama lima jam menuju Aqaba di tepi Laut Merah.  Saya melewati tanah yang gersang dan tandus, juga penggembala domba yang saling bersisian dengan tank baja yang merayap lamban. Kendaraan diperiksa di banyak pos yang dijaga tank. Semua alutsista seperti siap siaga menjaga kedamaian Bumi Urdun, Yordania.

Rel kereta tua membentang dari Aqaba. Rel yang sudah pensiun ini dibangun guna menghubungkan Yordania dengan tanah Saudi. Tiba di Wadi Rum, saya menginap di tenda. Siapa saja yang datang ke Wadi Rum akan memasuki dimensi purba: mengendarai unta, berkelompok dengan karavan di tengah gurun yang ditumbuhi bukit batu. Ke sinilah perwira Inggris T.E. Lawrence dikirim untuk memberangus para pemberontak Hashemite, walau dia akhirnya malah menulis tentang lembah-lembah dan gurun yang mengundang takjub. Tak heran Wadi Rum kerap disangkutpautkan dengan film Lawrence of Arabia yang mengguncang itu.

Wadi Rum, salah satu objek wisata yang menarik.

Sebelum konflik meletus di negara-negara tetangga, sebelum bom meledak di Amman pada 2005, hampir 3.000 turis datang ke Yordania saban harinya. Tapi apa mau dikata, dunia berubah dan kunjungan pelancong pun susut, walau negara ini sebenarnya jauh lebih aman dari Amerika Serikat sekalipun. Citra memang kerap melenceng dari fakta.

“Di kampung saya, hidup berkecamuk, cuma di sini saya menemukan harapan,” kata Muhammad, staf toko suvenir. Dia asal Yaman, sebuah negeri yang, katanya, sudah tak memiliki harapan. Bagaimana dengan Yordania? “Anda orang pertama yang masuk toko saya,” tambahnya lagi ketika suara azan magrib berkumandang dari menara masjid.Nenek Salma mengajak saya ke rumahnya, bertanya kabar, menepuk-nepuk bahu saya, menghidangkan teh hitam, dan melarang saya bersalaman dengan cucu perempuannya. Penghargaan dan sikap melayani tamu masih kentara. Barangkali ini yang disebut Menteri Pariwisata sebagai keramahan. Keramahan yang bukan basa-basi.

Dari rumah Salma, saya berpindah ke “keramahan” yang lain. Di restoran Burj Al Hamam, saya bertemu Lana, perempuan Brasil yang bekerja sebagai belly dancer. Saya dan Lana hanya dibatasi mansaf, hidangan daging domba yang menarik-narik air liur. Hidangan pembuka belum juga saya sentuh. Asap shisha dan bau tembakau saling bertukar tempat dengan aroma mansaf.

Lana, penari perut asal Brasil yang setia menghibur di sebuah restoran di pesisir Laut Mati.

Di sela-sela meja pengunjung yang dijejali makanan, Lana menari. Tubuhnya liat, melenggak-lenggok bagai boneka. Di beberapa sesi, dia memutar-mutar tongkat di atas kepala, di selangkangan, di depan dadanya. Beda tarian, beda pula warna kostum yang dikenakannya, walau potongannya tetaplah sama: minimalis. Malah teramat minimalis untuk jenis pakaian perempuan di Jazirah Arab.

Saya terdampar di tempat hiburan papan atas Timur Tengah, kawasan di mana nabi-nabi diturunkan ribuan tahun silam. Sebelumnya, saya berziarah ke lembah nabi-nabi, ke kota-kota tua yang masih tegak hingga hari ini, ke tempat terendah di muka bumi, mengarungi Laut Merah tempat Musa melemparkan tongkat, hingga akhirnya tertambat di sini, di Karak, di antara penari perut asal Brasil yang menggoda dan mansaf yang menggiurkan. Di Yordania, segala yang suci dan profan bersanding tanpa saling memusuhi.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2015 (“Damai di Antara Gaduhnya Tetangga”)

Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment

0.0/5