by Cristian Rahadiansyah 18 November, 2021
Mencicipi Sajian Restoran Rumari di Bali
Oleh James Louie
Bagaimana caranya meningkatkan reputasi masakan Indonesia?”
Pertanyaan itu menghantui Gaetan Biesuz sejak dilantik sebagai Executive Chef Raffles Bali pada akhir 2019. Waktu itu, saat resor siap dibuka, pria asal Lyon ini ditugaskan merumuskan program kuliner, termasuk untuk restoran utama Rumari yang hinggap di puncak bukit dan menghidangkan menu Indonesia. Target Biesuz? Menampilkan masakan yang kurang diapresiasi—dan umumnya disalahpahami oleh warga dunia—melalui lensa fine dining.
“Orang berpikir mungkin makanan Indonesia terlalu berlemak dan berminyak,” jelas Biesuz, yang sebelumnya mengabdi untuk sejumlah hotel papan atas di Thailand, Singapura, dan Malaysia. “Tapi sebenarnya tidak seperti itu, asalkan bisa mengolahnya dengan benar, dengan hati-hati, dan memilih bahan yang tepat. Dan jika Anda sejak awal fokus pada rasa, maka menurut saya Anda di jalur yang benar.”
Usai riset dan pengujian beberapa bulan, mayoritas kreasi Rumari siap disajikan persis ketika pandemi Covid menjalar. “Sejujurnya, dan mungkin ini terdengar aneh, tapi Covid adalah anugerah, karena memberi kami waktu untuk mengeksplorasi berbagai hal bersama tim,” jelas Biesuz, sambil duduk di kursi berpunggung rotan di perpustakaan Raffles Bali, di mana dua lukisan orisinal karya Walter Spies digantung di dinding.
Di kondisi pandemi, restoran modern Indonesia ini pun dibuka dengan menghadapi tantangan berat: memuaskan pelancong domestik, dengan kata lain, kritikus makanan yang paling sukar dipuaskan (orang Indonesia pasti lebih paham tentang makanan tanah air mereka sendiri). Syukurlah, sambutan publik lokal sejauh ini positif.
Biesuz menegaskan, Rumari tidak berniat mereplika rasa Indonesia autentik, melainkan memberi tafsir yang berimbang, elegan, dan refined. Pesannya kepada para tamu domestik: “Beberapa hidangan akan membuat Anda mengingat momen-momen dari masa kecil, sementara hidangan lainnya akan membuat Anda berpikir ini bukan masakan Indonesia. Tapi hampir semua bahannya berasal dari Indonesia.”
Memang, 90 persen menu baru Rumari memakai bahan lokal, beberapa bahkan dipetik langsung dari Farm Terrace Garden di Raffles Bali. Di sinilah para tukang kebun menanam rosemari dan daun kari (yang terakhir ini dipakai untuk sorbet), serta cabai rawit, bunga telang, pisang, pepaya, serta markisa.
Satu hal lain yang penting dicatat, Rumari baru saja ditetapkan sebagai Krug Ambassade pertama di Indonesia, bergabung dengan liga premium berisi 150 restoran fine dining di dunia. Masing-masingnya dipilih oleh produsen sampanye terkemuka berdasarkan keunggulan gastronomi dan keunikannya.
Tentu saja, predikat baru Rumari sebagai Krug Ambassade sejalan dengan modus operandinya, termasuk dalam hal pilihan bahan dapur hingga kapasitas tamu. “Kami fokus pada kualitas, bukan volume,” klaim Biesuz. “Jangan berharap kami menyajikan brunch untuk 200 orang. Kami akan melayani hanya 40, atau 45 orang. Kami tak bisa berkompromi dengan kualitas layanan, kualitas minuman, juga kualitas makanan.”
***
Malam itu, saya berada di antara sekitar 20 tamu yang mencicipi sajian terbaru Rumari. Di atas meja, ada sourdough dengan sentuhan hijau dari daun katuk dan kemangi, plus saus pedas. Ini kreasi pembuka dari paket lima hidangan bertajuk Discovery. Setiap hidangan, katanya, punya arti berbeda, dan masing-masingnya memakai nama kabupaten atau daerah di Bali.
Karangasem, hidangan pertama, ditujukan untuk menghormati para nelayan di daerah Amed. Isinya: ceviche kakap dengan edible flowers, serutan jahe bakar, irisan tipis acar bit, serta bulir-bulir pomelo beku. Selain itu, ada mutiara berkilauan kaviar Siberian Baeri—satu-satunya bahan impor di atas piring. Semua ini dibingkai oleh saus jambon yang lembut dengan cita rasa asam manis dari jahe obor.
Di etape berikutnya hadir hidangan inventif bernama Klungkung. Isinya: udang sungai yang dibakar dan diasap ringan, ditemani serombotan (sayur tradisional Klungkung) dan saus kalas yang mengandung santan dan rempah. Satu bahan yang mengejutkan kali ini ialah labu pahit. “Proses penyempurnaan hidangan ini menyita waktu paling lama,” kenang Biesuz. “Kami mesti sangat berhati-hati dengan labu pahit. Jika rasanya terlalu kuat, rusak semuanya. Jadi, kami menyeimbangkan kepahitannya dengan manisnya udang dan sausnya… cara tepat memakannya adalah melahap semuanya dalam satu gigitan.”
Di tahap ini, saya telah menyadari intensitas dan kekayaan rasa yang terus meningkat seiring pergantian hidangan. Kini, giliran hadir hidangan bernama Gianyar, sebuah penghargaan untuk hidangan bebek klasik Bali, bebek betutu, yang acap disuguhkan sebagai persembahan dalam upacara di Ubud. Hidangan ini disertai labu madu dari Kintamani, sementara lada hitam asal Jawa dicampur dengan sari daging bebek.
Singaraja, hidangan berikutnya, terilhami kuliner kondang babi guling khas Bali. Dagingnya lumer di mulut, lalu bertemu tekstur kontras dari ubi ungu, jagung, dan kacang tanah.
Puncak sajian adalah Tabanan, yang digambarkan oleh sang koki sebagai “makanan penutup yang bombastis dan sangat nakal.” Dia tidak salah. Rasanya sangat kaya dan memanjakan. Hidangan ini terdiri dari sorbet kelapa dan cokelat putih yang disusupi rasa pandan, ditambah gula aren cair dan karamel asin. Pasangannya ialah Krug Grande Cuvée yang membelah rasa manis.
“Dua tahun terakhir, kita terus mendengar apa saja yang tidak bisa dilakukan: tidak bisa bepergian, tidak bisa pergi ke bioskop, tidak bisa makan di luar,” ujar Biesuz, yang berdiri di ujung meja. “Sekarang, kita bisa makan tanpa ragu.”
Rumari, yang terbuka untuk tamu dari luar resor, melayani makan malam dari Rabu hingga Minggu. Selain pilihan hidangan a la carte, ada enam paket menu yang unik, tiga di antaranya untuk vegetarian. Paket baru Krug Degustation Dinner bisa dipesan khusus dan sudah tercakup dalam paket menginap Raffles Bali Exquisite Opening Experience.
Raffles Bali, Jl. Karang Mas Sejahtera 1A, Jimbaran, Bali; 0361/2015-800; raffles.com