by Yoppy Pieter 16 December, 2013
Rumah Adat Toba Terancam Sirna
Oleh Yoppy Pieter
Pagi meninggalkan sisa ronanya saat saya menghampiri sepasang Jabu Bolon, rumah adat Batak yang menyimpan memori masa silam. Keduanya dikepung ilalang. Atapnya dibalut rumbia yang compang-camping. Sebagian dindingnya yang penuh ukiran berjatuhan.
Sang pemilik tanah, Tunggul, terlihat kusut bertelanjang dada. Pori-porinya seperti mengucurkan garam yang bercampur puyan. “Mau beli barang antik?” tanyanya seraya mempersilakan saya masuk. Dia tidak sedang menawarkan mebel, melainkan Jabu Bolon. Kedua dua rumah uzur tersebut dilego.
Cukup dengan Rp75 juta, siapa pun bisa mengepak satu set Jabu Bolon beserta semua kenangan yang terpatri di tubuhnya. Bayangkan, dengan uang setara harga mobil bekas, sebuah aset sejarah dapat dicabut begitu saja dari akarnya. Jabu Bolon dirangkai tanpa paku. Ia bisa dengan mudah dipereteli dan direlokasi.
Tunggul mendapatkan Jabu Bolon dari desa-desa di perbukitan Samosir. Mengapa warga memperlakukan rumah sesepuh layaknya hewan ternak yang layak dijual saat menua? Jabu Bolon adalah tempat drama panjang sebuah keluarga besar ditorehkan. Di sinilah dongeng leluhur disampaikan dan mantra-mantra kuno dirapalkan. Rumah ini adalah entitas yang sakral, dan secara ajek disakralkan. Pinangan senilai 75 juta rupiah memang terkesan tak sepadan, tapi nilai uang sangatlah relatif. Menurut Tunggul, sudah empat unit Jabu Bolon laku terjual. Dua yang tersisa kini menanti peminat. Dan dia punya banyak kandidat pembeli selain saya.
Di sisi yang lain, Museum Huta Bolon menjalani kisah yang berbeda. Bangunan ini dikerumuni turis berusia senja yang menghabiskan masa pensiun berkeliling dunia. Mereka datang untuk menonton penari Tor-Tor bersorak horas, horas. Mereka juga melihat boneka sigale gale memamerkan gerakan-gerakan mistis layaknya marionette yang digerakkan oleh dalang dari alam astral. Menonton kedua pertunjukan itu seperti agenda rutin pelancong di tanah Samosir, atau mungkin operator-operator tur sudah kehabisan akal dalam menjamu para tamunya.
Sudah lama denyut pariwisata Toba melemah, seolah terisap pusaran air menuju dasar danau. Bagaimana mungkin dunia melupakan danau vulkanis yang dicap terluas sejagat? Saya telanjur menciptakan setumpuk sketsa imajiner dari berbagai literatur sebelum menginjakkan kaki di sini. Dunia khayal saya menciptakan visual-visual yang begitu sempurna, tentang danau purba yang kemunculannya mengubah lanskap bumi, jauh sebelum sejarah ditulis.
Siapa yang salah? Sederet jawaban yang saya terima berujung pada dua kesimpulan: Bom Bali dan Tragedi Malam Natal di Medan. Toba seperti menanggung dosa yang tidak pernah diperbuatnya. Seorang teman pernah berbagi pengalamannya di Samosir dengan nada kesal. Selembar ulos ditawarkan dengan harga empat kali lipat dari harga aslinya. Dia beranjak tanpa menawar, sembari bergumam penuh serapah. Barangkali dosa orang lain bukan penjelasan final yang mencukupi. Toba juga menanggung dosa-dosa kecilnya sendiri. Kita kerap mendengar suara-suara protes tentang komersialisasi yang berlebihan, konservasi yang lemah, juga infrastruktur yang payah. Dosa-dosa itu terus menumpuk hingga cawan Toba pun kewalahan menampungnya.
Belum terlambat untuk kembali menghidupkan asa di Toba. Sebelum semua orang sepakat melanggar tabu dengan menjual rumah adat leluhurnya.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2013. (View Finder: “Toba Tabu”)