by Cristian Rahadiansyah 22 August, 2014
Petualangan Mencari Sisi Autentik Selandia Baru
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Rony Zakaria
Di West Coast, kita akan selalu dipaksa menengok masa lalu: tentang provinsi yang dihuni kota-kota yang makmur, di mana pesta-pesta bergulir tiap akhir pekan, kala manusia digerakkan oleh gairah pada emas dan batu bara.
Di perut bekas tambang batu bara, masa lalu itu direkam dalam sebuah film. Alkisah, seorang pria plontos terkulai lemas di lorong gelap. Kakinya terjepit bongkahan. Bebatuan acap kali rontok dari langit-langit. Pria itu berteriak-teriak meminta bantuan, tapi tak ada yang mendengar. Dia sendirian, terperangkap, merana. Kisah kelam di bukit Denniston, West Coast.
Pria itu bukan korban satu-satunya. Tambang di sini sudah mencabut banyak nyawa. Tapi orang-orang tak mau ambil pusing. Mereka terus saja menggali dan menggali. Berkat tambang pula mereka mampu mengerek permukiman. Di sebuah dusun kecil di atap bukit yang sulit dijangkau, kaum pekerja mendirikan rumah, sekolah, bar, juga klub rugbi yang berlaga di liga nasional. Bahkan tempat ini memiliki kantor posnya sendiri. Pada 1885, Denniston adalah produsen batu bara tersubur di Selandia Baru. Dan kita tahu, seperti di Indonesia, batu bara menelurkan banyak jutawan.
Abad lalu berganti dan emas hitam susut. Denniston perlahan kehilangan pamornya. Dusun kaya itu terbengkalai. Di sana-sini, perkakas besi warisan penambang berserakan dan berkarat dalam balutan kabut. Benda-benda ini sekarang dijadikan memorabilia. Sedangkan lorong-lorong tambangnya disulap jadi wahana tur. Salah satu suguhannya adalah film tentang si pria botak nahas tadi. Saya tak pernah membayangkan bioskop bisa dijejalkan di perut tambang. Apalagi dalam format tiga dimensi.
Saya memasuki wahana itu dengan mengendarai lori. Bersama sejumlah turis, saya meniti lorong-lorong hitam yang seolah tak berujung. Lorong ini terbelah tiap beberapa meter, terpecah menjadi terowongan yang lebih sempit, hingga membentuk sebuah kompleks labirin yang gelap dan lembap. Tapi pengunjung bukan cuma datang untuk melihat-lihat. Mereka diberi tugas yang spesifik. Ada yang menyekop batu bara, meledakkan dinamit mainan, memimpin serikat buruh, mendirikan balok-balok penyangga, lalu menonton film di akhir tur. Denniston Mine Experience, nama wahana ini, agaknya sedang menawarkan mimesis, sebuah reka ulang sejarah.
Di West Coast, masa lalu memang tak dibiarkan berlalu. Kita senantiasa diajak untuk membesuknya. Saya datang di musim panas. Udara cerah, tapi angin dingin yang terus berembus membuat tubuh tak sudi lepas dari jaket tebal. Awalnya saya mendarat di Kota Christchurch, lalu terbang dengan pesawat baling-baling menuju West Coast.
Di atas peta, Selandia Baru bagaikan kuldesak: seonggok negeri di ujung selatan bumi, sebuah tempat terakhir bagi peradaban di kaki khatulistiwa. Setelahnya, hanya ada samudera kosong yang berujung di Antartika. Buku-buku mencatat, Suku Maori yang pertama menemukan negeri ini. Mulai abad ke-17, pelaut-pelaut Eropa berdatangan.
“West Coast berbeda dari daerah lain di Selandia Baru; karakternya off the beaten track,” kata LeeAnne Scott, yang memandu saya selama delapan hari. “Tak banyak yang mau menetap di sini. Warganya adalah orang-orang yang telah mampu beradaptasi dengan alam. Dan alam di sini keras terhadap manusia.”
Menaiki van, kami membelah jalan-jalan sepi, melewati lahan-lahan peternakan dan perbukitan rindang yang menatap Laut Tasman, pemisah antara Selandia Baru dan Australia. “Tapi kami ingin memikat lebih banyak turis,” kata LeeAnne lagi. “West Coast punya alam yang asri dan sejarah yang kaya.”
LeeAnne menggambarkan West Coast sebagai versi autentik Selandia Baru. Dalam banyak hal, memang seperti itu keadaannya. Provinsi ini tidak memiliki mal. Hanya ada satu gerai McDonald’s. Terminal bandaranya lebih kecil dari kantor kecamatan. Hotel cukup banyak, tapi tak ada merek internasional. Mayoritas hotel hanya menampung tiga hingga tujuh kamar, dan biasanya dikelola langsung oleh pemiliknya yang bekerja rangkap sebagai manajer, resepsionis, koki, hingga petugas housekeeping.
Sepertiga kawasan West Coast telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia, sementara sisanya berstatus cagar alam atau taman nasional. Kota-kota menyempil di celah-celah yang tersisa di luar zona konservasi itu. Penataan inilah yang membuat alam di sini sangat terpelihara.
Saya kini singgah di Hokitika, kota yang juga sudah beralih dari bisnis tambang ke pariwisata. Seperti Denniston, kota ini dulu makmur. Mesin uangnya bukan emas hitam, tapi emas sebenarnya. Dari logam-logam yang berkilauan itu, warga membangun sebuah kota yang gemerlap di selatan bumi.
Saat Julius Haast, geologis terkenal asal Jerman, berkunjung pada 1865, Hokitika dihuni banyak toko dan bank. Bulevar utamanya disesaki hotel. Pelabuhannya sanggup menampung 40 kapal layar. Dalam buku Illustrated History of the West Coast, Anna Rogers mengenang masa itu dengan nada kagum: “Beberapa hotel berdesain apik dan mewah bermunculan, dilengkapi kamar mandi, neon bar yang memikat, serta gadis-gadis ayu yang menyuguhkan bir. Sarana hiburan juga tumbuh. Sebuah gedung opera yang sanggup menampung 1.400 orang dibuka.”
Setelah emas menipis, Hokitika merumuskan haluan baru: menjadi sentra kerajinan pounamu, batu mulia yang disucikan Suku Maori. Jalan-jalan di kota ini sekarang menampung banyak gerai pounamu. Sebelum berbelanja, turis diajak mengintip para seniman mengukir dan merangkai batu menjadi perhiasan. “Menurut tradisi, batu ini tidak kita beli untuk dimiliki sendiri, melainkan diberikan kepada orang lain,” kata LeeAnne sembari memberikan sekeping pounamu. Orang Maori percaya, pounamu mengandung roh. Dengan memberikannya, kita memberikan sepenggal dari roh kita guna melindungi pihak yang menerima.
Hokitika menatap turisme sebagai sandaran hidup. Pariwisata bagaikan sinar terang di ujung terowongan tambang yang tak lagi menjanjikan. Dan tren itu menjalar ke sudut-sudut West Coast. Banyak kota lain giat mendandani aset-aset sejarahnya, lalu mengubahnya menjadi wahana yang menghibur. Danau-danau tempat pelesir kaum penambang dialihfungsikan menjadi lokasi piknik. Jalur-jalur kereta kuda dimodifikasi menjadi lintasan sepeda. Dan situs mendaratnya Abel Tasman, petualang Eropa pertama yang mendarat di Selandia Baru, dijadikan sarana menonton anjing laut.
West Coast mengemas sejarah menjadi tur nostalgia yang renyah. Kelas-kelas napak tilas mudah ditemukan. Saya juga sempat singgah di Shantytown, kompleks yang mengawinkan museum dan taman rekreasi. Bagaikan diorama abad ke-19, tempat ini menampung lebih dari 30 bangunan tua. Untuk menjelajahinya, pengunjung bisa berjalan kaki sembari menjilati es krim atau menaiki sepur uap buatan Inggris.
Sejarah memang berdenyut kencang di West Coast. Namun, seperti yang saya temukan kemudian, provinsi ini sesungguhnya tak cuma menawarkan kenangan, tapi juga petualangan. West Coast pernah menjadi bagian dari Middle Earth, kendati hanya beberapa detik. Dari jendela pesawat, Ben Patterson menunjukkannya.
Pagi-pagi sekali, Cessna 206 lepas landas, lalu melayang di atas Alpen Selatan. Rangkaian gunung ini membelah pulau dari utara ke selatan, membentuk benteng salju yang mengurung West Coast dari provinsi-provinsi tetangganya. Pesawat saya melesat 200 kilometer per jam, tapi terasa begitu lambat di atas pasak-pasak bumi yang ditanam jutaan tahun silam itu.
Ben, pilot saya, pernah mengantar Peter Jackson berburuk lokasi syuting film The Lord of the Rings. Peter awalnya memilih pegunungan di dekat Queenstown sebagai inkarnasi Ered Nimrais, pegunungan putih yang melintasi Gondor dan Rohan. Dia hendak menyalakan obor di atap gunung itu, tapi karena ada larangan menyulut api, lokasi dipindah ke West Coast.
Di balik jendela pesawat, “Ered Nimrais” mulai terlihat. Lanskapnya sureal. Puncak salju, hutan, dan lereng cadas saling bertumpuk dan bersinggungan. Di antara mereka, sungai-sungai mengalir di celah sempit. Gumpalan awan kadang menabrak lereng rindang, lalu tersangkut di dahan-dahan pohon. Di sini, Ice Age seperti baru kelar kemarin sore.
Di hari yang lain, saya mengunjungi Alpen Selatan dengan helikopter, lalu mendarat di salah satu kakinya: Franz Josef Glacier, gletser yang paling mudah dijangkau manusia. Tempat ini menampilkan fenomena geologis yang sangat langka: permukaan es yang bersentuhan dengan hutan subtropis. Dua domain ini lazimnya tak berada di area yang sama.
Pemandu saya, Rookie, menuntun saya menjelajahi padang es. Dengan sepatu beralaskan besi-besi lancip seperti gergaji, kami mulai mendaki lanskap yang menyilaukan ini. Di atas kami, pilar-pilar putih menyembul layaknya tanduk kristal. Balok-balok es kadang tumbang dan menebarkan gemuruh yang menjalar di relung-relung lembah. Di kejauhan, gunung-gunung salju mengembuskan angin dingin. Tiap kali angin berembus, saya merapatkan jaket. Rookie sepertinya sudah kebal dengan kondisi ekstrem ini. Layaknya sedang bermain di pantai, dia hanya mengenakan kaus dan celana pendek.
Dengan susah-payah, kami berhasil memasuki sebuah lorong es. Bersimpuh di interiornya, saya mulai mengerti rasanya menjadi onggokan daging di dalam freezer. Air terus menetes dari langit-langit, lalu mengalir di kanal-kanal sempit.
Dalam perjalanan kembali ke landasan helikopter, Rookie menceritakan mitos-mitos Suku Maori seputar tempat ajaib ini. Katanya, Franz Josef dibentuk oleh air mata seorang wanita yang kehilangan kekasihnya di gunung, dan air yang kini terus mengalir di kanal-kanal es melambangkan kesedihannya yang tak berujung. Legenda lainnya menulis, keempat gunung di Alpen Selatan merupakan jelmaan empat anak raja langit yang turun ke bumi untuk menyapa ibunya.
Kisah-kisah semacam itu kerap dicemooh sebagai takhayul, klenik yang menyesatkan. Bagaimanapun, riwayat peradaban justru menunjukkan, manusia yang mengamini sains dan kitab suci kerap lebih merusak alam ketimbang kaum yang menyembah pohon dan bebatuan. Dan kerusakan itu kini mulai kentara di Franz Josef.
Sebelum menyambangi West Coast, saya sempat membaca berita tentang efek pemanasan global di Alpen Selatan, dan Franz Josef adalah topik yang paling banyak dikupas. Pangkal masalahnya adalah kemunculan sebidang dinding cadas di tengah gletser. “Mulai terlihat tiga tahun silam,” Rookie menjelaskan sembari memanggul kapak. “Entah apa yang terjadi dalam periode itu, tapi bumi sepertinya lebih hangat.” Secara teori, gletser memang selalu mencair, tapi di saat yang sama juga membentuk lapisan baru. Keseimbangan itulah yang diusik oleh pemanasan global: proses pencairan terlampau cepat.
Dalam sebuah artikel di koran lokal, Dr. Brian Anderson dari Victoria University menyimpulkan, Franz Josef susut 500 meter dalam empat tahun terakhir, sebuah rekor yang dianggapnya “tak lazim sekaligus memprihatinkan.” Kata-katanya bagaikan lonceng peringatan: bumi begitu rapuh di tangan manusia yang berpaling dari legenda dan menghamba pada uang. Selandia Baru memang memiliki rapor biru di bidang ekologi, tapi negeri tak bisa bersembunyi dari hantu pemanasan global yang berkeliaran mencakar-cakar dunia.
Sebelum kedatangan manusia pada abad ke-13, nyaris seluruh wilayah Selandia Baru diselimuti hutan. Sejarawan Michael King menggambarkannya sebagai “negeri tanpa manusia yang menanti manusia tanpa negeri.” Lahan hutan kini telah susut lebih dari 40 persen, namun West Coast tetap berhasil menjadi daerah yang terhijau. Kondisi ini adalah buah upaya serius warga dalam merawat lingkungan. Di West Coast, kita bisa lebih mudah menemukan kantor Departemen Konservasi ketimbang pos polisi. Di tepi jalan-jalannya, pohon-pohon berjejalan rapat di lereng dan lembah hingga menyerupai tumpukan brokoli.
Selama jutaan tahun, alam memahat-mahat kawasan sepanjang 600 kilometer ini dan melahirkan lanskap dengan karakter yang majemuk sekaligus memukau. Tapi yang lebih menakjubkan bukanlah panoramanya, melainkan fakta bahwa tempat ini tak banyak yang berubah dalam tiga abad terakhir.
Apa yang dilihat Kapten Cook dulu saat mendarat di sini dalam banyak hal masih relevan. Jumat, 23 Maret 1770, usai pelayaran yang melelahkan di atas Kapal Endeavour, James Cook menatap West Coast untuk pertama kalinya. Di jurnalnya dia mencatat: “Lereng-lereng tipis perbukitan menyeruak langsung dari muka laut, semuanya terbungkus pohon. Tak jauh di belakangnya terdapat rangkaian gunung—delapan gunung yang memesona. Mereka disusun oleh bebatuan tandus yang tertutup di banyak tempat oleh salju, dan mungkin telah berbaring di sana sejak masa penciptaan bumi. Tak ada negeri di muka bumi yang memiliki paras jantan dan dingin seperti kawasan yang terapung di laut ini.”
Cook memilih kata “ jantan dan dingin.” Mungkin karena dia memandang dari kejauhan. Kehidupan di belantara Selandia Baru sebenarnya lebih akurat disebut “ janggal dan ajaib.” Lihat saja kasus wabah possum.
Saat berkendara di West Coast, kita bisa dengan mudah menemukan bangkai possum. Melindas mereka bagai hobi nasional warga. Pemandu saya juga sempat menjadi pemburu hewan-hewan mirip musang itu. Dagingnya dimasak, bulunya dijual ke pabrik kaus kaki. Bantal di hotel saya juga dibungkus bulu-bulu possum. Possum dibenci bukan karena mereka buruk rupa, tapi karena telah menjadi hama yang menjengkelkan. Hewan ini mula-mulanya diimpor guna membasmi hama kelinci yang menghabiskan semak. Celakanya, possum justru berkembang menjadi hama baru. Malas menyantap kelinci yang gesit, mereka beralih membidik bayi-bayi kiwi.
Satu pertanyaan yang mengusik, kenapa Selandia Baru harus mengimpor possum? Bukankah hutan di sini punya cukup banyak predator untuk mengendalikan populasi kelinci? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata bisa dilacak pada kejadian epik 80 juta tahun silam, saat daratan Selandia Baru tercerai dari benua raksasa, lalu terisolasi di selatan bumi.
Dalam A Traveller’s History of New Zealand, John Chambers menguraikan dengan ringkas apa yang terjadi dalam kurun panjang tersebut. Dalam isolasi, katanya, Selandia Baru mengembangkan ekosistem anomali di mana predator natural raib dan siklus rantai makanan terputus. Inilah yang membuat kelinci bisa berkembang biak begitu cepat, karena memang tak ada ular atau macan yang menerkamnya. Saking damainya hutan, burung kiwi rela meninggalkan kemampuannya untuk terbang. “Di sini kita bisa berjalan-jalan di hutan tanpa khawatir diterkam hewan buas. Yang harus dikhawatirkan paling lalat pasir, mereka suka menggigit,” kata LeeAnne. Saya hanya bisa terdiam.
Menatap pohon-pohon yang bergerombol lebat, sulit dipercaya tak ada mamalia haus darah yang berkeliaran di sana. “Indonesia memiliki banyak hewan buas?” LeeAnne balik bertanya. Bingung harus memulai dari mana, saya mengambil contoh yang paling mudah: “Di Jakarta, kota yang tak punya hutan, yang populasinya lebih padat dari seantero Selandia Baru, kita masih bisa mendengar berita penemuan sanca di selokan.”
“The Coast hujan lagi/The Coast hujan lagi/The Coast hujan lagi/Beberapa idiot di Pleasant Point mencela/Hanya orang gila yang mau tinggal di sana.”
Sajak itu saya temukan tak sengaja di kamar hotel, dalam sebuah antologi berjudul Hokitika Live Poets Society. Isinya adalah serakan kegelisahan dan kelakar dari kaum awam perihal tempat hidup mereka—West Coast. Kata “hujan” diulang tiga kali di awal sajak. West Coast memang punya curah hujan tertinggi di Selandia Baru. Tapi sang penulis bukan hendak mengeluh. Dengan nada bangga, dia lantang menutup sajaknya: “The West is the Best.”
West Coast dihuni warga yang menyebut diri mereka Coaster. Awalnya sekadar julukan, Coaster berkembang menjadi sebuah identitas kultural dengan kaidah yang spesifik. Mirip geng, tapi bukan geng untuk semua orang. “Tidak bisa,” jawab Colleen, wanita kelahiran West Coast, tentang kemungkinan orang asing menyandang title Coaster. “Kamu harus lahir dan tumbuh di sini.” Colleen adalah pedagang suvenir di Pancake Rocks, formasi bebatuan purba di utara West Coast.
Anda pernah ke luar kota? Saya kembali bertanya. “Sekali, ke North Island, dan saya tak akan kembali lagi ke sana.” Kenapa? “Terlalu banyak manusia.” Di West Coast, keheningan sepertinya bersinonim dengan kenikmatan. Provinsi ini luasnya tiga kali Jakarta, tapi populasinya cuma 30 ribu jiwa. Selepas senja, kita bisa menghabiskan secangkir kopi di teras tanpa melihat satu pun mobil yang lewat.
Coaster lebih suka rugbi atau kriket? “Minum bir.” Bagaimana caranya meyakinkan Anda untuk mau kembali ke North Island? “Cekoki saya tequila, lalu paksa saya ke pesawat!” Belakangan saya tahu, Colleen tidak memiliki aliran listrik di rumahnya. Alasannya, Coaster adalah kaum yang “serba-berkecukupan.”
Coaster juga memiliki solidaritas yang kuat. Merekalah yang melahirkan Partai Buruh di Selandia Baru. Perdana menteri utusan West Coast, King Dick, adalah pemimpin pertama yang mencetuskan program pensiun. Solidaritas itu juga saya rasakan selama delapan hari wara-wiri di sini. Setiap kali mobil saya berhenti di sembarang tempat, pengendara lain akan berhenti dan mengecek apakah kami membutuhkan bantuan.
Apa yang memicu solidaritas itu? Saya tak tahu pasti. Mungkin sejarah gemilang sebagai sentra tambang. Mungkin alam yang keras. West Coast memang menyimpan catatan tragedi yang panjang: ledakan di perut tambang, badai yang ganas, juga banjir yang mengisolasi. Di hadapan bencana, manusia cenderung mudah bersatu.
Satu hal yang paling membuat saya betah adalah sifat mereka yang lugas dan kocak. Coaster ibarat Betawi, tapi Betawi yang masih punya banyak lahan dan sapi. Saat mengikuti tur di pabrik bir Monteith’s, saya menemukan kaus yang memuat “deklarasi politik” mereka. Saya pilihkan beberapa pasalnya: Coaster tidak boleh diminta bertindak disiplin; setiap orang yang tidak memiliki selera humor dilarang singgah di West Coast; karena Coaster tidak suka minum air, maka dia setiap saat dibolehkan menenggak minuman nasionalnya, yakni bir, baik di kereta, kenduri, bahkan gereja.
Di hari terakhir, saya menaiki bus menuju Stasiun Arthur’s Pass. Sopir bus, seorang Coaster, membuat hari penutup ini dipenuhi catatan kocak. Pria botak ini sebenarnya diminta pemilik bus menjelaskan obyek-obyek wisata di sepanjang jalan, tapi dia justru lebih sering membanyol. Ada satu leluconnya yang saya ingat: “Bapak ibu yang terhormat, lihat tikungan tajam di depan, kami menyebutnya Suicide Bend. Saya tak tahu sudah berapa orang bunuh diri di sana. Tapi namanya kini sudah diubah. Kata suicide mungkin dianggap terlalu kasar, karena itu diganti dengan kata yang lebih ramah di telinga, yaitu…”—dia terdiam sejenak, layaknya comedian berpengalaman, lalu menjatuhkan frasa penutup—“Death Corner!”
Coaster memang menjaga jarak dari tetangganya, tapi di saat yang sama gemar menghibur warga dunia.
PANDUAN
Rute
Tidak ada penerbangan langsung ke West Coast. Dari Jakarta, Anda bisa terbang dulu ke Kota Christchurch menggunakan Singapore Airlines (singaporeair.com), lalu meneruskan penerbangan dengan Air New Zealand (airnewzealand.co.nz) ke Hokitika atau menaiki kereta TranzAlpine (kiwirailscenic.co.nz) menuju Greymouth di West Coast.
Penginapan
Di Hokitika, Stations Inn (Blue Spur Road; 64-3/755-5499; stationsinnhokitika.co.nz; doubles mulai dari NZD150) menawarkan 10 kamar dan restoran yang sejak 2005 menyabet penghargaan tertinggi dari organisasi Beef + Lamb New Zealand. Opsi lainnya, Kapitea Ridge (Chesterfield Road SH 6; 64-3/755-6805; kapitea.co.nz; doubles mulai dari NZD283), menyuguhkan arsitektur paling atraktif di West Coast. Di kaki Franz Josef Glacier, hotel premium Te Waonui Forest Retreat (3 Wallace Street; 64-3/752-0555; tewaonui.co.nz; doubles mulai dari NZD699) melebur halus dengan hutan di sekitarnya. Lake Brunner Lodge (Lake Brunner R.D. 1, Kumara; 64-3/738-0163; lakebrunner.co.nz; doubles mulai dari NZD400) menawarkan rumah yang menghadap danau berisi kawanan trot. Sementara bagi pecandu sejarah, Archer House (75 Queen Street, Westport; 64-3/789-8778; archerhouse.co.nz; doubles mulai dari NZD195) mengajak Anda menginap di rumah buatan 1890 yang berkapasitas hanya tiga kamar.
Aktivitas
Treetop Walk: Jembatan besi yang melintang di dahan-dahan tinggi. treetopsnz.com.
Shantytown Heritage Park: Napak tilas dan tur kereta di kompleks replika kota tua. shantytown.co.nz.
Pancake Rocks & Blowholes: Pesisir berisi pilar-pilar batu yang terangkat jutaan tahun silam. punakaiki.co.nz.
Franz Josef Glacier: Naik helikopter, lalu mendarat di permukaan gletser. franzjosefglacier.com.
Danau Matheson: Tempat mincing paling fotogenik di West Coast, menatap Alpen Selatan. lakematheson.com.
Maori Cultural Centre: Pertunjukan budaya, termasuk tarian Haka, oleh warga Maori. maoriculturalcentre.co.nz.
Denniston Mine Experience: Tur ke bekas tambang batu bara di puncak bukit. dennistonmineexperience.co.nz.
Monteith’s Brewery: Melihat proses pembuatan bir di perusahaan bir terkenal di West Coast. monteiths.co.nz.
Wilderness Wings: Tur udara menaiki Cessna di atas Alpen Selatan. wildernesswings.co.nz.
Informasi
Tourism West Coast (westcoastnz.com) dan Tourism New Zealand (newzealand.com/id).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Ags 2014 (“Teratak Kuldesak”)