by Yohanes Sandy 11 March, 2013
Relasi Pemburu dan Elang di Mongolia
Teks oleh Ron Gluckman
Penderitaan dalam membuat sebuah karya seni berbeda-beda bagi tiap orang. Untuk fotografer sekaliber Palani Mohan yang ingin mengabadikan elang-elang suku Kazakh di Mongolia bagian barat, penderitaan tersebut termanifestasi dalam wujud berjalan di tengah kepungan suhu dingin, bermalam di rumah bertubuh batu, dan kehilangan beberapa kilogram berat badan akibat hanya mengonsumsi daging yak dan kuda.
Berasal dari Australia dan kini menetap di Hong Kong, Mohan mengenal masyarakat Kazakh nomaden sekitar dua dekade silam ketika seorang rekan kerjanya memperlihatkan beberapa foto kaum pemelihara elang tersebut. Gambar-gambar itu diambil di sebuah festival musim panas di Provinsi Bayan-Ölgii, ajang yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata di kawasan tersebut.
Mohan tergoda untuk mendatanginya, tapi dia membawa agenda yang lebih ambisius. “Saya tak ingin hanya berkunjung ke festival tersebut,” ujarnya. “Saya ingin benar-benar merasakan gaya hidup penduduk aslinya, bermalam di rumah mereka, dan mengenal mereka lebih akrab. Mereka telah hidup dengan cara yang sama selama ratusan tahun.”
Dia juga ingin berkunjung di musim dingin, persisnya musim berburu. Di momen inilah target favorit para pemburu, rubah corsac berbulu merah, terlihat kontras di atas medan salju. November 2011, Mohan merealisasikan agendanya. Dia berkunjung ke Bayan-Ölgii, menantang suhu beku ekstrem yang menyentuh minus 35 derajat celsius di malam hari!
“Ini adalah hal tersulit yang pernah saya lakukan,” katanya. Memastikan bahwa kamera dan peralatan bekerja di suhu super dingin saja sudah menjadi tantangan tersendiri. “Saya tidur dengan baterai di bawah ketiak untuk menjaganya tetap hangat. Ketika mengambil gambar, saya harus memakai beberapa lapis pakaian yang membuat saya susah bergerak. Prosesnya sangat susah.”
Menjangkau kaum pemburu nomaden adalah tantangan lain yang harus dihadapinya. Kebanyakan dari mereka tinggal di area terpencil dan senantiasa berpindah mengikuti pergantian musim. “Waktu sepertinya tak pernah cukup untuk menjelajahi wilayah ini,” ujarnya sembari tertawa saat mengenang ekspedisi berat melintasi padang tanpa jalanan di atas jip tua. “Dan ketika saya sampai di tujuan, mereka sudah pindah tempat!”
Namun kunjungan menyiksa selama dua minggu itu terbayar oleh foto-foto hitam putih yang memukau (foto-foto lainnya bisa dilihat di palanimohan.com). Alih-alih fokus pada proses perburuan, Mohan mendokumentasikan budaya kaum pemburu, serta hubungan unik antara mereka dengan burung pemburu. Semuanya tersaji dengan latar indah Pegunungan Altai.
Dengan rentang sayap mencapai dua meter, elang emas (Aquila chrysaetos) tergolong burung predator terbesar di dunia. Mereka bisa terbang menukik dengan kecepatan 280 kilometer per jam. Mohan mempelajari bahwa dalam proses perburuan, melatih burung adalah tahap yang paling sukar. Pemburu biasanya mengumpulkan selusin elang dulu sebelum akhirnya memilih satu ekor yang terbaik. Relasi yang terjalin antara burung dan tuannya sangat intim. Menurut pepatah klasik Kazakh, hubungan itu bahkan lebih erat dibandingkan antara suami dan istri.
Berburu dengan memanfaatkan radar elang dipraktikkan di sejumlah negara dan dikultuskan oleh para penduduk padang pasir di Timur Tengah, tapi tradisi ini mulai dilupakan di kalangan Suku Kazakh Mongolia, kaum yang terusir dari Kazakhstan 200 tahun lalu akibat perluasan kekaisaran Rusia. “Mungkin hanya sekitar 70 orang pemburu elang yang tersisa yang masih menggunakan cara lama,” tutur Mohan. “Tak seorang pun generasi muda di Mongolia yang tertarik mempelajarinya, jadi bisa saja tradisi tersebut akan punah dalam waktu dekat.”
Mohan berharap dia bisa kembali lagi ke sana untuk mengumpulkan foto-foto yang rencananya dijadikan sebuah buku bertema kaum pemburu. “Saya ingin menghabiskan waktu bersama setidaknya 50 pemburu, jadi proyek ini jelas bakal berdurasi lama,” jelasnya. “Sayangnya, eksistensi mereka sepertinya bakal segera tertelan oleh waktu.”
Diterbitkan pertama kali di majalah DestinAsian edisi Agustus/September 2012 (“Eagle Eye”). Alih bahasa oleh Yohanes Sandy.