by Muhammad Hafiz 04 August, 2017
Mencari Kuliner Autentik Singapura
Oleh Muhammad Hafiz
Foto oleh Ore Huiying
Garis kariernya ditulis sejak kecil. Berstatus anak tunggal, Mel Dean bisa leluasa mempelajari teknik meracik masakan Melayu langsung dari pakarnya: nenek dan ayahnya.
Dia mengamati keduanya di dapur, kemudian menggelar eksperimennya sendiri. “Daya tarik masakan Melayu terletak pada rasanya yang kaya, berani, dan tajam, berkat penggunaan banyak bumbu dan rempah segar,” ujar Mel Dean, koki selebriti sekaligus penulis kolom kuliner di Berita Harian, surat kabar Melayu di Singapura. “Masakan Melayu tergolong comfort food, tapi dengan rasa yang semarak—karakter yang menurut saya juga mencerminkan fondasi kuliner Singapura.”
Saya menemui Mel Dean untuk mengetahui adakah masakan Melayu yang khas Singapura. Kita tahu, masakan Melayu di negeri ini kerap tumpang tindih dengan, atau setidaknya merupakan hasil adaptasi dari, masakan Indonesia dan Malaysia—fakta yang tak bisa dipisahkan dari riwayat demografis negeri ini: leluhur warga Melayu di Singapura berasal dari kedua negara tetangga tersebut
Sejarah mencatat, banyak pemukim awal Singapura memiliki darah Sumatera, Bugis, dan Jawa. Kaum pendatang itu membawa serta tradisinya masing-masing, termasuk dalam urusan memasak. Merekalah yang memperkenalkan jahe, serai, lengkuas, juga petis racikan semacam terasi belacan dan komponen dasar masakan seperti santan. Bahan-bahan tersebut memperkaya nomenklatur boga Singapura, dan semuanya masih digunakan hingga kini untuk menghasilkan beragam hidangan dengan rasa yang—seperti kata Mel Dean—kaya, berani, dan tajam.
Salah satu menu Melayu yang populer di Singapura adalah sate. Pedagangnya tersebar di penjuru negeri, tapi ada satu tempat yang berhasil menuai banyak penggemar sejak didirikan hampir 40 tahun silam—HaronSatay. Kios ini setia melestarikan resep buatan sang pendiri, almarhum Haron Abu Bakar, pria yang pernah diganjar gelar Singapore Hawker Master oleh harian The Straits Times.
Sate di Singapura tak jauh berbeda dari sate umumnya: daging ditusuk biting, dibakar, lalu disajikan dengan saus kacang serta potongan mentimun dan bawang yang berkhasiat menetralisasi efek karsinogenik karbon. Yang membedakan satu tukang sate dari lainnya hanyalah kualitas dagingnya dan sausnya.
Kasusnya berbeda dari nasi lemak. Menu ini bisa dibilang merupakan inovasi lokal. Nasi lemak terdiri dari nasi gurih yang mengandung santan, ditambah sambal pedas-manis, ikan bilis atau ayam, serta potongan mentimun dan telur, yang kemudian dibungkus dalam daun pisang. Malaysia memiliki versi nasi lemaknya sendiri. Di Indonesia, menu yang paling mendekati adalah nasi uduk.
Di Singapura, nasi lemak lazim disantap untuk sarapan. Kita bisa menemukannya di pujasera (hawker), restoran, hingga warung mamak di kompleks perumahan di mana nasi lemak galibnya disiapkan dalam format takeaway sejak pukul tujuh pagi untuk melayani para pekerja yang tak punya banyak waktu.
Satu tempat di mana orang rela menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan nasi lemak adalah Boon Lay Power. Di jam sibuk, kita kadang harus mengantre hingga 30 menit. Nasi lemak di sini hadir dengan ayam goreng, ikan kering, serta otak-otak ikan makerel. Kata sang pemilik, Badrul Hisham Ramli, kekuatan masakannya terletak pada nasinya. “Berasnya berbeda,” ujarnya. “Selain itu, teknik memasaknya, juga campuran bahannya, membuat rasa nasinya menonjol.”
Banyak orang mempertanyakan identitas masakan Singapura. Adakah masakan asli negeri ini? Bukankah masakan di sini sekadar imitasi atau setidaknya saduran dari masakan negara lain? Keraguan semacam ini bisa dimaklumi jika kita membuka buku sejarah. Singapura, negara muda yang baru merdeka 52 tahun silam, bermula sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan-kerajaan besar, kemudian beralih status menjadi pulau koloni Inggris pada 1819. Sebagai negara modern, akar budayanya relatif pendek. Leluhurnya mayoritas pendatang. Singapura, bandar yang strategis di mulut Selat Malaka, lebih mirip sebuah balai pertemuan raksasa ketimbang entitas politik yang berjejak panjang seperti Indonesia atau Malaysia.
Tapi balai pertemuan itu tidaklah statis. Pertukaran budaya berlangsung ajek di antara kaum imigran yang terdiri dari komunitas Melayu, Cina, India, dan Eurasia (blasteran Asia-Eropa). Mereka berbagi metode memasak, pengetahuan akan bumbu, serta resep-resep warisan. Alhasil, selain hidangan autentik dari masing-masing kelompok etnis, kita bisa menemukan menu hasil adaptasi dan akulturasi. Dengan kata lain: menu khas lokal.
Singapura sejatinya sebuah kuali pelebur. Fakta inilah yang kadang gagal dipahami saat mencerna lanskap kulinernya yang majemuk. Dalam konteks ini, kasus chilli crab bisa menjadi pelajaran. Pada 2009, sebuah insiden pecah saat Ng Yen Yen, Menteri Pariwisata Malaysia, mengklaim chilli crab sebagai menu asli negaranya. Pernyataan kontroversial itu jelas memicu protes keras di Singapura.
Melihat aktanya (versi Singapura), chillicrab dicetuskan oleh Cher Yam Tian pada 1956. Menu ini lahir dari keluhan: suami Cher merasa bosan menyantap kepiting rebus. Usai serangkaian eksperimen, misalnya dengan menambahkan tomat dan cabai, Cher berhasil merumuskan hidangan baru yang tak cuma membungkam mulut suaminya, tapi juga memperkaya ensiklopedia kuliner Singapura.
Kini, chilli crab hadir dalam sejumlah varian, tapi fondasinya tetaplah sama. Menu ini menggunakan mud crab Sri Lanka yang digoreng sejenak, kemudian dimasak dengan bumbu manis-pedas berbahan campuran tomat dan cabai, lalu disajikan dengan roti mantou yang renyah dan hangat. Chilli crab pernah tercantum dalam daftar 50 makanan terlezat sejagat versi CNN Go. Prestasi yang berkesan tentunya bagi Cher dan suaminya, juga bagi anak mereka yang kini melestarikan resep warisan orang tuanya di restoran Roland.
Laksa adalah menu lain yang juga kerap memicu perdebatan, bukan hanya dengan negara tetangga, tapi juga di dalam negeri. Bertanya kepada warga lokal tentang laksa yang paling autentik, kita pasti akan mendapatkan rekomendasi yang bervariasi.
Jenis laksa yang paling tersohor disebut Katong laksa, yakni laksa lemak dari daerah Katong di sisi selatan Singapura. Hidangan ini terdiri dari mi tepung beras yang direndam dalam kuah kaldu ikan dengan kandungan santan, rempah, dan udang kering. Laksa memang memiliki akar Malaysia, tapi laksa lemak sepenuhnya kreasi Singapura.
Laksa lemak diciptakan pada 1940-an di kawasan Marine Parade oleh Ng Juat Swee, pria yang dijuluki “janggut” berkat bulu-bulu panjang yang tumbuh dari tahi lalatnya. Laksa racikannya hadir dengan sambal, fishcake, dan kerang. Oleh Janggut, minya dicetak pendek agar mudah dilahap memakai sendok.
Makanan adalah salah satu alasan utama turis mengunjungi Singapura. Di jagat kuliner, negara ini mengoleksi cukup banyak magnet. Merujuk daftar terakhir Asia’s 50 Best Restaurants, Singapura menempatkan sembilan wakil. Tahun lalu, Singapura terpilih sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang dievaluasi oleh tim Michelin.
Prestasi tersebut adalah pengakuan akan komitmen restoran-restoran di Singapura dalam berkreasi, berinovasi, serta merawat tradisi kulinernya. Bermodalkan pengakuan itu pula, sejumlah merek lokal kini memiliki kepercayaan diri lebih untuk menembus pasar asing. Makan sutra misalnya, pujasera modern yang dikelola koki selebriti KF Seetoh, kini telah hadir di Manila.
Untuk memahami khazanah kuliner Singapura, kita mesti memahami beragam budaya yang membentuk tradisi dapurnya. Nasi ayam (chicken rice) adalah contoh yang menarik. Aset nasional ini awalnya diperkenalkan oleh komunitas Hainan dengan nama Wenchang chicken.
Tak sulit mencari nasi ayam. Tiap kali melewati pujasera, kita pasti akan menemukan barisan daging ayam utuh yang bergelantungan di balik etalase kaca. Nasi ayam orisinal memakai ayam rebus putih, walau opsi ayam panggang mulai populer dalam beberapa tahun belakangan. Menu ini hadir dengan nasi berminyak yang wangi, irisan jahe, saus cabai, serta potongan mentimun.
Satu tempat kondang yang menjajakan nasi ayam adalah Tian Tian Hainanese Chicken Rice, restoran yang pernah dipuji-puji oleh Anthony Bourdain. Gerai inilah yang membuat Maxwell Food Centre senantiasa riuh tiap jam makan. Opsi lain yang tak kalah tenar adalah MacKenzie Rex Restaurant. Di restoran berusia 51 tahun ini, Wenchang chicken telah diadaptasi menjadi nasi ayam oriental yang dilabeli sertifikat halal. “Rasa orisinal masakan tak pernah kami ubah,” jelas Roldy Koh, pemiliknya. “Pelanggan saya kini melintasi tiga generasi.”
Kebudayaan lain yang turut membentuk khazanah kuliner lokal adalah India. Etnis India (termasuk Sri Lanka) mewakili Sembilan persen populasi Singapura. Imigran India paling awal mendarat pada 1800-an untuk berdagang rempah dan kain, sebagian menjalani tugas militer. Sebagaimana kebudayaannya, masakan India sangat kaya warna dan aroma. Kita bisa menemukannya saat menelusuri daerah Tekka atau Little India di mana indra kita akan dibuai oleh beragam rempah dan sayur, kedai-kedai kari yang menebarkan bau tajam, serta berhelai-helai kain sari sutra yang halus sekaligus semarak.
Mayoritas etnis India di sini berdarah Tamil, dan hidangan kreasi mereka yang paling kondang adalah kari kepala ikan. Sebenarnya tak jelas benar siapa penciptanya, tapi banyak pihak percaya Veerasamy merupakan orang pertama yang menyempurnakan menu tersebut pada 1963 di sebuah kedai miliknya yang berlokasi di Tank Road. Resepnya diteruskan hingga kini di Samy’s Curry, restoran masyhur yang bersemayam di area Dempsey dan dikelola oleh cucu Veerasamy, Nagajyothi Maheyndran.
Bahan utama kari kepala ikan adalah kepala kakap merah. Aromanya tajam dan semerbak, sementara rasanya pedas, menohok, dan segar. “Saya setia mempertahankan resep, rasa, dan teknik warisan kakek saya,” ujar Nagajyothi. Sejumlah orang pernah memberi masukan agar ketajaman bumbu masakannya dikurangi, terutama demi mengakomodasi lidah sensitif orang Barat. Tapi Nagajyothi bergeming. Baginya, kekuatan hidangannya terletak pada keaslian rasanya. “Mohon maaf,” katanya, “kami ingin tamu menikmati masakan ini sesuai khitahnya”.
Menu India lain yang punya tempat khusus dalam peta kuliner Singapura tentu saja meeg oreng mamak (“mamak” berarti “paman”dalam bahasa Tamil). Meski hampir setiap negara di Asia memiliki versi mi gorengnya sendiri, mee goreng mamak memiliki sejumlah keunikan yang membuatnya khas Singapura. Saya pernah menetap selama sebulan di India dan mencicipi banyak mi goreng, tapi versi yang paling mendekati mee goreng mamak di sana adalah chow mein, walau sebenarnya keduanya tetap mengidap perbedaan dalam hal tekstur dan presentasi.
Mee goreng mamak dibuat dari bahan-bahan eklektik yang melintasi sekat tradisi—sebuah contoh ideal dari identitas kuliner Singapura di mana autentisitas tidak melulu berarti orisinalitas. Menu ini terdiri dari mi kuning Cina dan rempah India yang digoreng dengan teknik wok Melayu. Konon, mee goring mamak dipopulerkan oleh komunitas Muslim Chulia asal Madras. Tempat ideal untuk mencicipinya kini adalah kawasan barat Singapura.
Kelompok etnis terkecil yang menyusun Singapura adalah Kristang dan Peranakan. Keduanya berakar di Malaka dan Penang, dua daerah di mana kebudayaan Portugis berbekas dalam banyak sendi kehidupan. Beberapa menu kreasi mereka adalah kari debal (devilcurry), babi pongteh, cambarang kari nanas, dan singgang serani.
Banyak menu Kristang dan Peranakan telah melewati proses adaptasi dan modifikasi yang disebabkan oleh pergeseran selera atau faktor ketersediaan bahan. Krim misalnya, telah diganti santan. Sementara chorizo disubstitusi oleh sosis lap cheong. Quentin’s Eurasian Restaurant adalah satu dari sedikit tempat yang masih menyajikan masakan Kristang. Sementara Violet Oon mengelola sejumlah restoran dengan spesialisasi masakan Peranakan semacam ayam buah keluak dan sambal petai dengan udang.
Satu hal yang selalu saya camkan ketika mengulas masakan Singapura adalah potensinya untuk berubah. Tradisi kuliner di sini senantiasa berada dalam ketegangan: antara agenda untuk melestarikan resep masa lalu dan keinginan menciptakan kreasi segar. Per tahunnya, Badan Sensus mendokumentasikan setidaknya 18.000 warga baru di Singapura. Mereka datang dengan membawa selera dan tradisi memasaknya masing-masing. Bagi para pemilik restoran, mereka bukan sekadar pasar, tapi juga aktor yang turut memengaruhi arah industri kuliner.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Singapura dilayani dari banyak kota di Indonesia oleh banyak maskapai, antara lain Garuda Indonesia (garudaindonesia.com) dari Jakarta dan Bali; Silk Air (silkair.com) dari Balikpapan dan Makassar; serta Tigerair (tigerair.com) dari Surabaya.
Kuliner
Makanan adalah salah satu daya tarik utama Singapura. Dalam daftar terakhir Asia’s 50 Best Restaurants (theworlds50best.com), negeri ini berhasil menempatkan sembilan wakil. Tahun lalu, Singapura juga terpilih sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang dievaluasi oleh tim Michelin (guide.michelin.sg). Situs resmi Pariwisata Singapura (visitsingapore.com) mencantumkan 10 menu yang dianggap khas Singapura, antara lain nasi ayam, chilli crab, kari kepala ikan, dan laksa. Untuk mencicipinya, cara paling mudah adalah mengunjungi pujasera semacam Makansutra (makansutra.com) atau Maxwell Food Centre. Opsi lain, Anda bisa mengikuti tur kuliner yang ditawarkan banyak operator, misalnya Wok ‘n’ Stroll (woknstroll.com.sg) dan Food Tour Singapore (foodtoursingapore.com).
Rekomendasi
- Haron Satay East Coast Lagoon Food Village; 65/6441- 0495; haron-satay.com; Selasa-Jumat: 14:00-23:00, Sabtu-Minggu:11:00-24:00
- Boon Lay Power Nasi Lemak; #01-106, 221B Boon Lay Place, Boon Lay Place Market and Food Centre; 65/6266-4466; powernasilemak.oddle.me; setiap hari: 05:00-02:00
- Tian Tian Hainanese Chicken Rice; #01-10/11 Maxwell Food Centre, 1 Kadayanallur Street; 65/9691-4852; Selasa-Minggu: 11:00-20:00
- Mackenzie Rex; 66 Prinsep Street; 65/6336-1702; macrex.com.sg; setiap hari: 11:30-22:00
- Roland; Blk 89, Marine Parade Central, #06-750; 65/6440-8205; rolandrestaurant.com.sg; Senin-Sabtu: 11:30-14:30, 18:00-22:30, Minggu: 11:00-14:30, 18:00-22:30
- Janggut, The Original Katong Laksa; Roxy Square, 50 East Coast Road #01-64; setiap hari 08:30-17:30
- 328 Katong Laksa; 51 East Coast Road; 65/ 9732-8163; 328katonglaksa.com.sg; setiap hari: 10:00-22:00
- NM Abdul Rahim Stall; Blk 503 Ayer Rajah Food Centre, 01-60; 65/6447-7500; setiap hari: 08:30-01:00
- Samy’s Curry; 25A Dempsey Road, Tanglin Village; 65/6472-2080; samyscurry.com; Rabu-Senin: 11:00-15:00, 18:00-22:00
- Quentin’s Eurasian; 139 Ceylon Road, Level 1, Eurasian Community House; 65/6348-0327; quentins.com.sg; setiap hari: 11:30-14:30, 18:30- 22:30
- National Kitchen by Violet Oon; National Gallery 02-01; 65/9834-9935; violetoon.com; setiap hari: 11:00-23:00
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Pelebur Kuali”).