by Yusni Aziz 18 June, 2019
Kyoto ‘Melawan’ Arus Turis
Teks dan foto Yusni Aziz
Di bawah langit mendung musim panas, kawanan turis memadati Matsubaradori, jalan setapak menuju Kuil Kiyomizu. Di tepi jalan, para penjual sahut-menyahut menawarkan dagangannya di muka rumah-rumah tua machiya. Beberapa turis tergiur, walau lebih banyak yang melengos pergi.
Dalam kelimun itu, beberapa turis berjalan tertatih dalam balutan kimono. Jubah mereka menyala bak cenderawasih di tengah hutan gelap. Turis pria tampak gagah. Turis perempuan terlihat anggun. Menjelajahi Kyoto dalam busana lokal memang membuat pengalaman wisata terasa lebih autentik. Tapi percayalah, tiap langkah dalam kimono adalah sebuah kerja keras. Saya tahu persis, karena saya juga sedang mengenakannya pagi ini.
Sabuk obi yang mengikat kencang pinggang membuat saya sulit bergerak, sementara bakiak geta yang licin rentan memelintir pergelangan kaki. Kondisinya diperparah oleh gerah yang menggerayangi tubuh akibat kain yang berlapis tebal. Saya berjuang menembus gerombolan turis menuju kuil. Matsubara-dori begitu padat hari ini, padahal saya sengaja datang di musim panas, karena katanya di periode inilah Kyoto sepi turis. Jika ini dikatakan sepi, bagaimana puncaknya nanti?
“Kalau lagi musim ramai, saya malas turun di tengah kota. Jalan susah sekali, seperti di Shibuya,” ujar Cahaya Rizka Putri, mahasiswi Universitas Kyoto, yang saya temui di sebuah kafe di tengah kota. Shibuya, tempat yang disinggungnya, merupakan salah satu distrik terpadat di Tokyo. “Dan jalanan di Kyoto lebih sempit daripada Tokyo,” tambahnya.
Sesaknya jalan-jalan Kyoto diperparah oleh kehadiran wisatawan Tiongkok yang menyeret koper-koper gemuk untuk keperluan “bakugai” atau belanja borongan. Banyak orang terganggu oleh aktivitas itu. “Banyak penduduk Jepang juga marah dengan aturan bebas pajak untuk turis,” tambah Cahaya. “Kenapa pemerintah memberi kemudahan kepada turis, sedangkan warga harus membayar pajak tinggi sekali?” Saya, yang turut diuntungkan oleh kebijakan itu, hanya merespons dengan anggukan.
Saya datang ke Kyoto pada September 2018, ketika banjir turis sedang menjadi isu panas di Jepang. Rentetan komplain menghiasi media, beberapa cukup tajam hingga membuat keluhan saya menghadapi lautan turis tadi terdengar manja.
Kyoto, tanah kelahiran Haruki Murakami, pada 2017 disatroni 15 juta turis, kira-kira 10 kali populasi kota ini. Kondisi itu berdampak besar terhadap keseharian warga. Mereka kerepotan saat menyetop bus, kian sukar mendapatkan meja di restoran favorit, juga kian sering terjebak macet. Perkara lainnya tentu saja volume sampah yang terus bertambah.
Semua masalah itu mungkin terdengar remeh bagi sebagian kita yang menetap di Jawa. Tapi bagi warga Kyoto yang lazim hidup teratur dan damai, rasa jengah agaknya sudah tak tertahankan. Media-media Jepang merangkum ekses buruk pariwisata itu dengan istilah “kanko kogai,” artinya polusi turis.
Rioh Haryu, manula yang sudah menetap di Kyoto lebih dari 40 tahun, mengatakan kelakuan miring pelancong sering disiarkan stasiun-stasiun televisi lokal. Tahun lalu sempat viral video yang memperlihatkan turis-turis Tiongkok menendang, menggoyang, hingga memanjat pohon sakura di Tokyo demi mendapatkan foto unik. Hanami, tradisi khidmat menghormati sakura, tercemar. Dua tahun lalu, Kyoto juga sempat dihebohkan oleh turis Tiongkok yang menceburkan diri ke kolam suci Kuil Kiyomizu untuk meminum airnya.
Kisah-kisah tercela semacam itu, ditambah model pemberitaan yang bombastis, mengantarkan kanko kogai jadi topik nasional, dan Jepang sepertinya masih bingung merumuskan cara terbaik untuk menjawabnya. Negeri homogen ini memiliki budaya yang tertutup, tapi masyarakatnya senantiasa ramah menyambut pendatang. Bagaimana caranya menanggapi tamu yang agresif dan destruktif?
Apa pun jawabannya, Jepang kini berpacu dengan waktu. Pelancong terus berdatangan. Pada 2017, lebih dari 28 juta turis asing melawat Negeri Sakura, melonjak hampir 20 persen dari tahun sebelumnya. Dan grafik itu akan terus digenjot oleh pemerintah pusat demi menyokong perekonomian yang goyang, salah satunya akibat susutnya populasi. Untuk 2020, bertepatan dengan Olimpiade Tokyo, Jepang menargetkan 40 juta turis.
Dalam kalkulasi ambisius itu, Tiongkok adalah negara yang diperhitungkan sekaligus dikhawatirkan. Walau memasok turis terbanyak ke Jepang, Tiongkok dipersepsikan buruk oleh penduduk tuan rumah. Pada Desember 2017, survei lembaga Genron NPO di Jepang menyimpulkan 88,3 persen responden mengidap opini negatif terhadap tetangga dari seberang itu. “Pebisnis sangat kesal jika ada turis Tiongkok bertingkah laku buruk,” kata Rioh lagi. “Mereka pernah merusak bungkus suvenir, mencuri perabot, hingga mengotori onsen.”
Tapi sebenarnya bukan cuma “oknum” asal Tiongkok yang berperilaku buruk. Mei silam, sekitar seratus batang bambu di Arashiyama menjadi korban vandalisme. Sejumlah orang mengukir tulisan di batang-batang mistis itu dalam bahasa Inggris, Korea, dan Mandarin. Rioh pun punya pengalaman buruk dengan turis bule. “Saya pernah menyapa pria Jerman, tapi malah dibalas dengan peringatan,” kenangnya kesal. “Sepertinya mereka kira saya seperti kaum gipsi Eropa yang suka menjual paksa barang ke turis.”
Dilatari sentimen terhadap turis, sejumlah warga Kyoto mencoba mengatasi sendiri masalahnya. Mereka, misalnya, memutuskan tak lagi menerangi pohon sakura di daerah Shinbashi. Tradisi yang sudah berjalan 27 tahun itu pun terhenti, semata demi mencegah turis bergerombol di depan pagar sewaktu malam. Selain itu, warga menyebar poster berisi larangan memotret rumah pribadi, serta penolakan terhadap Airbnb di area residensial. Mereka tak lagi merasa nyaman dengan kehadiran tamu asing.
Menanggapi resistensi itu, pemerintah turun tangan dengan mencari titik kompromi antara kepentingan lokal dan pariwisata. Sejak Juni 2017, sesuai hasil revisi undang-undang penginapan, tiap minpaku (hunian privat yang disewakan) wajib didaftarkan ke otoritas setempat. Dampaknya luar biasa. Di bulan yang sama, jumlah properti Airbnb di Jepang langsung drop sebesar 80 persen.
“Banyak minpaku ilegal tidak memedulikan keamanan dan keselamatan tamunya. Mereka juga tidak terkoneksi dengan pusat kesehatan lokal, sehingga kami harus melarangnya,” tegas Takuya Nishimatsu, Direktur Kebijakan Pariwisata Pemkot Kyoto.
Tak sekadar memberantas hunian ilegal, pemerintah merekayasa pola arus turis demi mengurai kepadatan. Salah satu caranya dengan gencar mempromosikan festival di kurun sepi turis, contohnya Kyo-no-Tanabta di musim panas. Di bawah taktik serupa, pemerintah meminta pengelola kuil membuka ruang atau harta rahasianya hanya di periode sepi. Upaya “iming-iming” tersebut berbuah. Pada 2003, populasi turis di musim padat mencapai 2,3 kali lipat dari musim sepi. Pada 2017, gapnya cuma sekitar 1,7 kali lipat.
Soal kelakuan miring turis, pemerintah juga berupaya mengatasinya, walau jurus yang dipakainya relatif halus. Mereka bermitra dengan TripAdvisor untuk menyebar selebaran berisi etiket lokal via internet, hotel, toko, serta pusat informasi. “Ini adalah usaha kami untuk menciptakan harmoni antara turis dan warga lokal,” jelas Takuya.
Tak hanya pasrah pada upaya pemerintah, sejumlah orang yang bergerak di bisnis pariwisata turut mengambil langkah “moderasi.” Contohnya Mariko Kinoshita dan Yusuke Komori, pasutri muda pemilik Expo Hostel & Cottage. Terinspirasi pengalaman tinggal bersama keluarga asuh di Amerika Serikat, keduanya membuka penginapan yang mengusung se mangat kekeluargaan di Kyoto. “Saya ingin mengundang orang dari penjuru dunia untuk datang,” ujar Yusuke di lobi propertinya.
Expo Hostel bersarang di area perumahan yang mengalami persoalan klasik Jepang: ditinggalkan generasi muda dan didominasi manula. Melalui inisiatifnya, Yusuke dan Mariko berharap kaum pendatang bisa menyuntikkan jiwa muda ke area yang mulai lesu tersebut. Keduanya giat mengajak tamunya mengunjungi lokasi-lokasi unik, serta melakoni kegiatan-kegiatan khas lokal.
Layaknya institusi budaya, Expo Hostel juga mengajarkan etiket lokal kepada tamunya. Dan jika terjadi friksi, Yusuke bertindak layaknya juru damai dengan langsung mengatasinya di lapangan. Dia mengenal hampir semua warga di sekitar hostelnya. “Kami ingin menjadi jembatan antara warga dan turis,” lanjutnya.
Kendati begitu, Mariko dan Yusuke juga sadar turis tak melulu bisa dikontrol. Ada problem-problem kronis yang tak bisa diatasi lewat kelas sopan santun semata. Aturan simpel seperti membuang sampah saja kerap dilanggar. “Kastel Nijo sangat kotor!” keluh Mariko. “Saya pikir hal itu cukup mudah. Jika satu orang buang sampah, maka dia yang membersihkan. Sangat mudah, tetapi menjadi sangat susah.”
“Kamu penulis kan? Tolonglah sampaikan pesan ini ke semua orang, supaya mereka bisa paham,” pesan Mariko. Saya mengangguk sembari membatin: andai saja tulisan saya punya kekuatan sebesar itu.
Di tengah terjangan kanko kogai dari dunia luar, sebuah tren urban menggerogoti Kyoto dari dalam. Machiya, rumah tradisional yang membentuk wajah Kyoto, kini dalam kondisi darurat. Banyak rumah bersejarah ini ditinggalkan pemiliknya, atau dihancurkan dan diganti bangunan modern.
Membuka sejarah, machiya berakar di Periode Heian (794-1185). Dulu, rumah kayu ini lazim ditempati pedagang dan perajin, karena itulah banyak rumah merangkap fungsi sebagai toko atau bengkel kerja. Aset sejarah ini tak cuma membentuk aura guyub yang romantis di Kyoto. Machiya juga penting bagi identitas kota ini. Setidaknya kehadirannya membuat Kyoto terasa berbeda dari Tokyo yang metropolis.
Akan tetapi, sebagaimana rumah tradisional di banyak negara, machiya kepayahan beradaptasi dengan zaman. Interiornya yang langsing tak bisa menjawab pergeseran selera dan gaya hidup, misalnya kebutuhan untuk memiliki dapur besar atau ruang menonton televisi. Penghuni juga kesulitan memiliki privasi lantaran dinding rumah ini berbahan kayu dan kertas tipis.
Di bawah mendung, saya bersepeda bersama Kimiko Shiki, profesor planologi di Universitas Ritsumeikan. Berniat membantu saya memahami arti penting machiya, dia membawa saya ke Distrik Nishijin yang pernah menggeliat sebagai sentra industri tekstil.
Kami menyusuri gang-gang sempit yang dipenuhi machiya, sesekali berhenti untuk melihat rumah yang dibubuhi stempel “dilindungi” oleh pemerintah. “Machiya bukan cuma sebuah rumah, tapi juga tanda bahwa kawasan itu sudah berdiri selama ratusan tahun,” jelas Kimiko dengan sedikit terengah-engah.
Kami kembali mengayuh, lalu berhenti di seutas gang. Kimiko menunjuk selembar papan yang melekat pada dinding sebuah rumah jompo. “Tertulis machiya ini akan dikonversi menjadi guesthouse. Terkadang pemilik properti tak punya pilihan lain,” ujarnya.
Kondisi kawasan tua Kyoto kadang tak jauh berbeda dari kampung-kampung padat di Jakarta. Rumah-rumah di sini berukuran kecil dan ditata berdempetan di tepi gang-gang sempit yang hanya cukup menampung satu mobil. Machiya yang bernasib tragis biasanya berada di gang yang tak bisa dimasuki kendaraan. Sesuai aturan, rumah di lokasi seperti itu dilarang diubah jadi bangunan modern, sebab tak memenuhi syarat lebar jalan minimum empat meter di depannya. Dan karena tak bisa dirombak, keluarga-keluarga muda enggan menghuninya. Alhasil, banyak rumah terbengkalai dan lapuk.
Sebenarnya ada satu solusi untuk menjawab kebuntuan itu: pariwisata. Seperti yang diperlihatkan Kimiko, machiya bisa saja di alihfungsikan menjadi penginapan. Lagi pula, banyak turis menyukai pengalaman sarat nostalgia menginap di rumah tradisional. Tapi keputusan itu ternyata sering ditentang oleh para tetangga. Dan jika pun berhasil mendapatkan restu mereka, proses konversi rawan tersandung aturan hukum. Machiya umumnya sukar mendapatkan proteksi legal karena dianggap tak tahan gempa dan kebakaran— syarat wajib setiap bangunan di Jepang, seperti tertuang dalam undang-undang standar bangunan terbitan 1950.
Profesor Kimiko dan keluarga kecilnya menetap di machiya. Katanya, hidup di rumah renta tidaklah mudah, juga tidak murah. Dari segi operasional, machiya sangat boros. Pajaknya tinggi dan biaya renovasinya selangit. Berhubung dindingnya tipis dan memiliki banyak celah, suara langkah kaki atau kendaraan mudah merembes ke interior, begitu pula hawa dingin yang menusuk di musim salju. “Tapi mungkin kami mencintai rasa sakitnya,” Kimiko berkelakar.
Mungkin memang hanya rasa cinta pada bangunan kuno yang membuat Kimiko bertahan, walau untuk itu dia harus banyak beradaptasi. Misalnya dalam hal proses mandi. Pemilik rumah sebelumnya menempatkan kamar mandi di taman belakang, dengan begitu mereka tidak perlu ke onsen. Kimiko dan suaminya juga menambah lapisan dinding supaya rumah lebih tahan gempa. “Kami sedang membesarkan anak. Tentu tidak boleh mati, bukan?” tambahnya.
Bagaimanapun, Kimiko adalah kasus langka. Mayoritas machiya kini dihuni kaum lansia yang tak punya banyak energi untuk mengurus rumah. Dan setelah para penghuni sepuh itu mangkat, anak dan cucunya kerap enggan mewarisi kediamannya. Dalam sembilan tahun terakhir, jumlah machiya menyusut dari 48.000 menjadi 40.000 unit. Dari jumlah yang tersisa itu, sekitar 10 persennya kosong.
Mahal dan ringkih, machiya memang rumah yang merepotkan. Untungnya, tak semua orang pasrah pada kondisi itu. Sejumlah lembaga dan individu bergerak untuk menyelamatkan machiya. Geoffrey Moussas, arsitek asal Amerika Serikat, telah merenovasi lebih dari 30 machiya, di mana sebagian telah disewakan sebagai guesthouse. World Monuments Fund, organisasi nirlaba yang merawat warisan sejarah di 90 negara, juga mendukung proyek pelestarian machiya di Kyoto.
Usai tur sepeda bersama Kimiko, saya menemui Shimagaki Toru, anggota Kyoto Center for Community Collaboration (KCCC), sebuah yayasan yang bergerak di bidang preservasi machiya. Lembaga ini rutin menggelar kegiatan di machiya, sekaligus menawarkan dukungan kepada orang-orang yang bersedia menempatinya, misalnya dengan memperkenalkan mereka kepada perajin kayu tradisional dan pemangku kepentingan, serta membantu menjaring dana renovasi.
KCCC bergerak di ranah sosial. Lembaga ini bertekad menggairahkan kembali minat menghuni machiya. Di mata mereka, terbengkalainya banyak rumah tua acap disebabkan oleh ketidakpedulian pemiliknya. “Kalau ada anak muda yang punya warisan machiya dari orang tuanya, sementara dia sudah punya apartemen, maka dia akan memilih untuk menjual rumahnya,” jelas Shimagaki.
Satu hal yang kini mengkhawatirkan KCCC ialah tren bisnis properti yang mulai menyasar machiya. Turis ternyata tak hanya tertarik menghuninya, tapi juga memilikinya. “Banyak investor Tiongkok membeli machiya. Belinya bukan satu-satu, tapi satu blok. Dan mereka sering kali membayar tunai,” ujar Shimagaki sembari memeragakan gerakan menyerahkan koper uang layaknya adegan transaksi mafia.
Machiya rupanya tak cuma sukar dirawat, tapi juga sulit dijaga. Hunian yang merekam masa lalu kota ini sekarang terancam menatap masa depannya di tangan asing. Problem tersebut sekilas mengingatkan saya pada George Town dan Venesia. Di dua destinasi historis itu, banyak bangunan tua juga telah dikuasai investor asing. Seiring itu, harga properti meroket dan biaya hidup melonjak. Akankah Kyoto bernasib serupa?
Shimagaki percaya machiya punya prospek lebih cerah jika dihuni warga lokal. Tapi dia juga harus maklum, rumah-rumah ini dimiliki oleh individu, dan pihak pemilik berhak menentukan apa yang akan dilakukan pada asetnya. Satu solusi yang bisa diambil tentu saja terobosan hukum untuk melindungi cagar budaya, tapi Shimagaki menatap langkah itu dengan pesimistis. “Hukum pertanahan Jepang masih lemah. Warga setempat sebetulnya tidak mau tanah mereka dibeli asing,” keluhnya. Untuk soal machiya, berbeda dari kanko kogai, Kyoto agaknya tidak bisa lagi menyalahkan turis, melainkan diri sendiri.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2019 (“Perkara Populer”).