Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kuil Suci Peselancar

Pantai di Nihiwatu Resort. Pada musim-musim tertentu, titik ini menjadi idola para selancar dari berbagai benua.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli

Pada sebuah dinding kamar tanpa televisi, tergantung potret muram seorang lelaki tua yang dibalut tenunan bermotif lurik. Di sisi yang lain, terpampang potret seorang kesatria sedang menghunus lembing dari atas kuda dalam perayaan Pasola. Di tempat tidur empuk yang menghadap ke laut selatan ini, saya duduk mengira-ngira: selain kuda, sabana, dan pantainya yang menawan, apa alasan yang memicu seseorang mendirikan resor di pulau terpencil bagian selatan Indonesia ini? Pada 1522, kapal-kapal Portugal mendarat di Sumba untuk pertama kalinya. Belanda, yang kemudian menjajah Indonesia, tidak begitu memperhatikan Sumba, hingga beberapa tahun sebelum abad ke-18 akhirnya menemukan nilai ekonomi dari sandalwood, kayu cendana yang tumbuh subur di Sumba. Atas alasan kayu pula, Belanda menstempel Sumba sebagai aset pemerintahan Kolonial pada 1866.

Semua catatan kejadian dari abad ke abad di tanah Sumba tidak membuat struktur sosial dan ajaran animisme lokal tergerus. Kepolisian hingga saat ini masih menyimpan tumpukan catatan kelam tentang kondisi keamanan di Sumba bagian barat, di mana hampir semua pria menyelipkan parang di pinggang. Pada 1992, Claude Graves asal Amerika membangun sebuah resor di sepetak tanah keramat atau daerah pamali, tempat persembahan dalam ritual-ritual purba kepercayaan Marapu. Setelah enam tahun konstruksi, resor ramah lingkungan itu resmi menerima tamu, yang rata-rata merupakan kaum pecandu selancar dari berbagai benua. Apa uniknya resor yang terletak di pedalaman Sumba ini?

Seorang pelayan resor membawakan es kelapa ke kamar Lantoro Family Villa, kamar terbaru di Nihiwatu Resort.

Tak satu pun rambu atau pelang yang menerangkan kalau di bawah sebuah tikungan curam, di sela pepohonan rimbun, berdiri sebuah resor. Selama sejam berkendara, saya melewati jalan kecil, kubur batu megalit purba, dan berbagai persimpangan yang menyesatkan untuk sampai ke Nihiwatu. Sebuah resor yang tersembunyi, dan sepertinya sengaja disembunyikan. Resor ini mengambil nama dari sebuah batu yang teronggok persis di hadapannya. Batu ini berceruk di tengahnya, seperti lesung yang dalam bahasa setempat disebut nihiwatu—batu mistis yang digunakan dalam ritual Manyawutu. Penganut Marapu percaya, pada setiap kematian yang tidak wajar—seperti tenggelam atau jatuh dari pohon—roh seseorang akan terkatung-katung di bulan dan matahari. Ia harus diturunkan dan diberi tempat yang layak. Di tempat penuh mitologi inilah Nihiwatu berdiri.

Kiri-kanan: Fasadnya benar-benar autentik Sumba; jangan bayangkan pelayanan resor ini buruk; para petugasnya telah menjalani pelatihan yang mumpuni.

“Bapak Claude itu telah 100 persen orang Sumba, dan ia sendiri yang memilih lokasi di tempat ini,” kata I Made Darsana, Manager Operasional Nihiwatu. Made menambahkan, pembangunan Nihiwatu tidak pernah lepas dari ajaran Marapu. Setiap memulai dan kelar membangun sebuah kamar, babi akan dibantai, lalu tanahnya dikucuri darah hewan sebagai sesembahan bagi Dewa Marapu yang menjaga bumi dan Dewi Nyale yang bersemayam di dasar lautan. Karena inikah Nihiwatu dibentuk sebagai resor privat yang susah dimasuki? “Lokasi ini privat, supaya lebih terjaga dari gejolak turisme,” kata Made. Claude juga mengontrak hampir 200 hektare tanah di sekitar kompleks resor. Tanah tersebut dibebaskan bagi warga untuk menanam apa saja. “Kita mengontrak tanah itu agar tidak dijual,” tambah Made.

Dorkas Lewa, gadis cantik Sumba, mengantar saya berkeliling kompleks. Kami mengitari 17 bangunan beratap ilalang. Ada 12 kamar dan tiga vila, ditambah 12 kamar lain yang kini sedang didirikan. Jalan kecil yang menghubungkan bangunan satu dengan lainnya dialasi batu yang seakan terbentuk oleh gesekan alam. Akar gantung beringin menjuntai seperti hendak menyapu batu-batu yang menutupi rute ke jungle spa, di mana saya sesekali mendengar nyanyian cenderawasih Sumba.

Area kolam renang dengan desain modern. (Foto: Nihiwatu Resort)

Resor yang pernah ditinggali bangsawan Eropa ini bukan hanya sulit dilacak, tapi juga sulit dipesan. Reservasi tak bisa dilakukan secara instan. “Bila ingin menginap, tamu biasanya booking jauh hari. Dan booking-nya harus lewat Bali,” jelas Made. Jumlah tamu yang menginap pun dibatasi: tak lebih dari 70 orang. Limitasi serupa diterapkan di laut. Dalam satu waktu, hanya 10 peselancar yang diizinkan menikmati ombak.

Kiri-kanan: Makanan dari laut menjadi menu utama di resor ini; sajian hasil laut karya koki di restoran Nihiwatu Resort.

Sumba merupakan tempat populasi yang menarik bagi malaria tropika, mimpi buruk bagi pelancong. Lima klinik pencegahan malaria didirikan Sumba Foundation, institusi yang dibidani Nihiwatu. Mereka juga mendirikan tempat penampungan air bersih di beberapa titik di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Air yang dulu harus didapat dengan berjalan berkilo-kilo meter, sekarang bisa diakses lebih mudah, walau sayangnya di beberapa tempat pompa air raib dicuri. Saya duduk di restoran berdinding tanah merah hasil lumuran langsung tangan lelaki Sumba (kata Claude suatu kali, sentuhannya akan berbeda jika bukan orang Sumba yang mengerjakan). Di restoran berlantai pasir dengan arsitektur adat Sumba yang dianggap sebagai bangunan adat terbesar di pulau sandalwood ini, saya menikmati prawn and scallop Provencal. Setelah meneguk air kelapa yang dihidangkan Dorkas, saya tidak lagi ingin bertanya kenapa di pedalaman tersembunyi ini seseorang mendirikan resor.

Pantai Nihiwatu, Desa Hobawawi; 0361/757-149; nihiwatu.com; mulai dari $550 per malam

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5